Intinya, Dr. Sara mengungkapkan pergeseran paradigma dalam pencarian fatwa. Di era digital ini, akses instan terhadap informasi telah mengubah cara masyarakat Muslim mencari panduan hukum agama. Mereka tak lagi hanya mengandalkan ulama setempat atau lembaga fatwa resmi, melainkan aktif mencari penjelasan dan pendapat dari berbagai sumber online – mulai dari akun pribadi ulama, lembaga dakwah, hingga akun-akun individu yang mengaku sebagai ahli agama.
"Ini adalah pisau bermata dua," jelas Dr. Sara, menjelaskan inti argumennya. "Di satu sisi, akses mudah ini memudahkan masyarakat mendapatkan informasi hukum dengan cepat dan efisien. Namun di sisi lain, ini meningkatkan risiko terpapar informasi yang tidak akurat, menyesatkan, bahkan berbahaya."
Puncak presentasi Dr. Sara adalah seruannya yang kontroversial sekaligus inovatif: para Mufti dan lembaga fatwa resmi harus aktif di media sosial. Bukan sekadar untuk membangun citra positif, melainkan sebagai kebutuhan mutlak untuk memenuhi tuntutan "konsumen fatwa" yang semakin melek digital. Argumentasinya sederhana namun berbobot: jika ruang digital ditinggalkan kepada pihak-pihak yang tidak kompeten, maka kontrol atas narasi hukum Islam akan hilang. Media sosial, menurutnya, bisa menjadi maslahah (kemanfaatan) besar jika digunakan dengan bijak dan bertanggung jawab, namun sebaliknya bisa menjadi musibah yang menghancurkan jika disalahgunakan atau dipolitisir.
"Bayangkan," kata Dr. Sara dengan nada bersemangat, "Mufti yang hanya bersembunyi di balik kitab kuning sementara jutaan orang mencari fatwa di dunia maya. Ini adalah kegagalan komunikasi yang fatal. Kita harus menjembatani kesenjangan ini!"
Dr. Sara juga menyoroti fenomena "konsumerisme fatwa" di media sosial. Banyak pengguna, menurutnya, cenderung mencari pendapat yang sesuai dengan keinginan atau kepentingan mereka, bukan kebenaran itu sendiri. Mereka akan berpindah dari satu akun ke akun lain hingga menemukan interpretasi yang mereka sukai, tanpa mempertimbangkan otoritas dan validitas sumber informasi.
"Mereka lebih mencari pembenaran, bukan kebenaran," tegas Dr. Sara. "Ini tantangan besar bagi para Mufti dan ulama dalam berinteraksi di media sosial. Mereka harus mampu menyampaikan hukum Islam dengan cara yang mudah dipahami, tetapi tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama dan kaidah-kaidah fiqih."
Setelah presentasi, sesi tanya jawab berlangsung sangat hidup. Para peserta berlomba-lomba mengajukan pertanyaan yang cukup kritis. Suasana auditorium semakin hangat, dengan diskusi yang membahas berbagai aspek kompleks penggunaan media sosial dalam konteks hukum Islam. Dr. Sara menjawab setiap pertanyaan dengan sabar dan lugas, memberikan pandangan yang mencerahkan dan kadang mengagetkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar