Total Tayangan Halaman

Kamis, 13 Maret 2025

Mufti Masuk Medsos! Doktor Muda Mesir Guncang Dunia Akademisi, Seruan "Digitalisasi Fatwa" Picu Debat Sengit di Pascasarjana UIN Ar-Raniry

Banda Aceh, 18 Oktober 2025 –  Suasana Aula Sidang umum Utama Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh mendadak riuh, bukan karena keributan, melainkan karena presentasi yang  menggemparkan dari Dr. Sara Atha Muhammad, LC., MA., seorang Doktor Hukum Islam muda asal Mesir. Kuliah umum internasional bertajuk "Media Sosial: Arena Baru Pembentukan Hukum Islam" yang diselenggarakan hari ini telah  memicu perdebatan sengit di kalangan akademisi, dan dan masyarakat umum. Inti dari presentasi Dr. Sara yang mencengangkan sekaligus revolusioner: para Mufti harus aktif di media sosial untuk memenuhi tuntutan "konsumen fatwa" di era digital. 


Dr. Sara, yang namanya kini menjadi trending topic di berbagai platform media sosial,  membuka presentasinya dengan data statistik yang mengejutkan.  Ia memaparkan  peningkatan eksponensial penggunaan media sosial di dunia Muslim,  menunjukkan bagaimana platform-platform ini telah membentuk opini publik, termasuk dalam pemahaman dan penerapan hukum Islam.  Angka-angka yang disajikan,  yang menunjukkan  peningkatan signifikan pencarian informasi keagamaan melalui media sosial,  membuat para hadirin tercengang.  Bahkan beberapa dosen senior terlihat terpaku,  mencatat setiap poin penting yang disampaikan. 


"Media sosial bukan sekadar tempat berbagi foto makanan atau video OTW lucu," tegas Dr. Sara, suaranya bergema di ruangan yang penuh sesak.  "Ini adalah medan pertempuran baru dalam pembentukan opini publik,  termasuk dalam hal pemahaman dan penerapan hukum Islam.  Kita tidak bisa mengabaikan kenyataan ini." 

Intinya,  Dr. Sara  mengungkapkan pergeseran paradigma dalam pencarian fatwa.  Di era digital ini, akses instan terhadap informasi telah mengubah cara masyarakat Muslim mencari panduan hukum agama.  Mereka tak lagi hanya mengandalkan ulama setempat atau lembaga fatwa resmi,  melainkan aktif mencari penjelasan dan pendapat dari berbagai sumber online – mulai dari akun pribadi ulama,  lembaga dakwah,  hingga akun-akun individu yang mengaku sebagai ahli agama. 

"Ini adalah pisau bermata dua,"  jelas Dr. Sara,  menjelaskan inti argumennya.  "Di satu sisi,  akses mudah ini memudahkan masyarakat mendapatkan informasi hukum dengan cepat dan efisien.  Namun di sisi lain,  ini meningkatkan risiko terpapar informasi yang tidak akurat,  menyesatkan,  bahkan berbahaya." 

Puncak presentasi Dr. Sara adalah seruannya yang kontroversial sekaligus inovatif:  para Mufti dan lembaga fatwa resmi harus aktif di media sosial.  Bukan sekadar untuk  membangun  citra positif,  melainkan sebagai kebutuhan mutlak untuk memenuhi tuntutan "konsumen fatwa" yang semakin melek digital.  Argumentasinya sederhana namun berbobot: jika ruang digital ditinggalkan kepada pihak-pihak yang tidak kompeten,  maka  kontrol atas narasi hukum Islam akan hilang.  Media sosial, menurutnya, bisa menjadi maslahah (kemanfaatan) besar jika digunakan dengan bijak dan bertanggung jawab, namun sebaliknya bisa menjadi musibah yang menghancurkan jika disalahgunakan atau dipolitisir. 

"Bayangkan," kata Dr. Sara dengan nada bersemangat,  "Mufti yang hanya bersembunyi di balik kitab kuning sementara jutaan orang mencari fatwa di dunia maya.  Ini adalah kegagalan komunikasi yang fatal.  Kita harus menjembatani kesenjangan ini!" 

Pernyataan ini langsung memicu reaksi beragam dari hadirin.  Beberapa dosen senior terlihat mengangguk setuju,  sementara yang lain terlihat berpikir keras.  Bahkan diantara peserta umum terlihat diskusi kecil yang cukup hangat membahas poin penting yang disampaikan Dr. Sara. 

Dr. Sara juga menyoroti fenomena "konsumerisme fatwa" di media sosial.  Banyak pengguna, menurutnya, cenderung mencari pendapat yang sesuai dengan keinginan atau kepentingan mereka,  bukan kebenaran itu sendiri.  Mereka akan berpindah dari satu akun ke akun lain hingga menemukan interpretasi yang mereka sukai, tanpa mempertimbangkan otoritas dan validitas sumber informasi. 

"Mereka lebih mencari pembenaran, bukan kebenaran," tegas Dr. Sara.  "Ini tantangan besar bagi para Mufti dan ulama dalam berinteraksi di media sosial.  Mereka harus mampu menyampaikan hukum Islam dengan cara yang mudah dipahami,  tetapi tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama dan kaidah-kaidah fiqih." 

Setelah presentasi,  sesi tanya jawab berlangsung sangat hidup.  Para peserta berlomba-lomba mengajukan pertanyaan yang cukup kritis.  Suasana auditorium semakin hangat, dengan diskusi yang membahas berbagai aspek kompleks penggunaan media sosial dalam konteks hukum Islam.  Dr. Sara menjawab setiap pertanyaan dengan sabar dan lugas,  memberikan pandangan yang mencerahkan dan kadang mengagetkan. 

Kesimpulannya, kuliah umum Dr. Sara telah memicu diskusi yang sangat berharga tentang peran media sosial dalam konteks hukum Islam.  Presentasinya yang berani dan mengungkapkan realitas yang seringkali diabaikan telah membuka mata banyak orang tentang tantangan dan peluang yang terkandung dalam penggunaan media sosial di era digital.  Ia telah memaksa kita untuk memikirkan ulang bagaimana hukum Islam bisa diakses dan dipahami oleh generasi masa kini yang akrab dengan teknologi.  Mufti masuk medsos, sebuah gagasan yang mungkin tampak radikal,  tetapi dalam konteks era digital saat ini,  tampak semakin relevan dan mendesak.  Pernyataan Dr. Sara tentang pencarian pembenaran, bukan kebenaran,  menjadi  tantangan serius bagi semua pihak untuk memastikan informasi yang bertanggung jawab dan kredibel tersebar luas di media sosial. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar