Para mahasiswa, termasuk Ridwan, S. Pd. I., MA., M. Pd.; Ahlul Fikri; Nazaruddin; Bahrullah; Fetti Eliayani; Syarifah Musanna; Maqfirah; Siti Haliman; dan Diana, tak hanya serius menyimak paparan Prof. Eka, namun juga larut dalam perenungan mendalam. Banyak di antara mereka yang tak kuasa menahan air mata, tergetar oleh kisah nyata dan renungan inspiratif yang membuka mata akan arti sejati pendidikan inklusi.
“Ini bukan sekadar kuliah buasa dengan Ibu Bu Prof. Eka,” ungkap Ridwan, terbata-bata, matanya berkaca-kaca. “Ini panggilan hati. Perkuliahan hari ini benar-benar menggugah semangat dan panggilan saya untuk belajar dan mengajar dengan hati, bukan sekadar mengejar gelar.” Kisah Ridwan hanyalah satu dari sekian banyak kesaksian yang menggetarkan hati dalam perkuliahan tersebut.Prof. Eka, dengan caranya yang khas, memulai perkuliahan dengan sebuah kisah inspiratif: Abdullah Ibnu Maktum, sahabat Nabi Muhammad SAW yang buta namun memiliki keimanan dan kecerdasan luar biasa. Kisah ini menjadi jembatan untuk membahas bagaimana Islam sejak awal sudah menghargai dan memuliakan setiap individu, tanpa membedakan latar belakang, kemampuan, dan kondisi fisik.
“Bayangkan, Abdullah Ibnu Maktum, seorang penyandang disabilitas, bukan hanya dihargai, namun juga diperlakukan setara oleh Rasulullah SAW,” ujar Prof. Eka, suaranya bergetar penuh emosional. “Hal ini membuktikan bahwa inklusi bukanlah hal baru, melainkan ajaran yang sudah tertanam dalam ajaran Islam sejak 14 abad yang lalu.”
Selanjutnya, Prof. Eka mengajak mahasiswa untuk merenungkan Surat Abasa, yang mengisahkan tentang Nabi Muhammad SAW yang mengabaikan seorang tunanetra. Ayat-ayat tersebut, bukan sebagai celaan, melainkan sebagai pengingat pentingnya memberikan perhatian kepada semua orang, terutama yang lemah dan membutuhkan. Dari sini, diskusi terarah pada pentingnya kesabaran dan empati dalam mendidik anak berkebutuhan khusus.
Sebagai penyeimbang, Prof. Eka juga mengaitkan materi dengan Surat Al-Hujurat ayat 13 yang menekankan persatuan dan persaudaraan dalam keberagaman suku dan bangsa. Konsep ini, ujarnya, harus diimplementasikan dalam pendidikan inklusif, dimana anak-anak dari berbagai latar belakang, kemampuan, dan budaya, diperlakukan setara dan dihargai perbedaannya.
“Bayangkan PAUD Harsya Ceria Jilingke yang di observasi,” kata Prof. Eka, mengarahkan diskusi ke hasil observasi mahasiswa. “Teman-teman menemukan praktik inklusi yang nyata di sana! Bagaimana cara mereka mengakomodasi kebutuhan belajar anak-anak dengan berbagai kemampuan?”
Diskusi yang menegangkan dan penuh haru pun berlanjut. Mahasiswa satu per satu bercerita tentang pengalaman observasi mereka, mengungkapkan tantangan dan keindahan mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus. Berbagai referensi yang menekankan pentingnya memperlakukan penyandang disabilitas dengan baik, juga dibahas untuk memperkuat landasan teologis pendidikan inklusi.
Maqfirah, salah seorang mahasiswa, menceritakan bagaimana ia menangis haru menyaksikan seorang anak berkebutuhan khusus akhirnya mampu mencapai kemajuan belajar yang signifikan berkat bimbingan guru yang penuh kesabaran dan kasih sayang.
“Air mata saya tumpah bukan karena sedih, tapi karena terharu melihat kegigihan anak itu dan dedikasi gurunya,” kata Maqfirah, suaranya terisak. “Saya baru menyadari betapa besar pengaruh guru dalam membentuk kehidupan anak-anak, terutama anak berkebutuhan khusus.”
Perkuliahan diakhiri dengan kesimpulan bahwa pendidikan inklusi bukan hanya sekadar metode pembelajaran, tetapi juga manifestasi dari nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan tertanam kuat dalam ajaran Islam. Para mahasiswa, dengan mata berkaca-kaca dan hati yang penuh semangat, berjanji untuk terus belajar dan mengabdikan diri untuk mewujudkan pendidikan inklusi yang lebih baik di Indonesia. Perkuliahan ini, bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi transformasi jiwa yang akan terus menginspirasi mereka dalam perjalanan panjang menjadi pendidik yang berdedikasi dan penuh kasih sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar