Total Tayangan Halaman

Jumat, 14 Februari 2025

Perang Gagasan di Kampus: Al-Ghazali vs. Ibnu Rusyd, Sebuah Pergulatan Filsafat Pendidikan yang Memukau Mahasiswa S3 UIN Ar-Raniry bersma Prof. Warul Walidin AK

Banda Aceh, Aceh (15 Februari 2024) – Gedung Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh bergema, bukan karena meningkatnya mahasiswa, melainkan karena pertarungan gagasan yang menegangkan, namun penuh kehangatan intelektual. Kuliah filsafat pendidikan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Warul Walidin AK, pakar pendidikan Islam ternama, telah sukses mengubah ruang kuliah menjadi arena pertarungan pemikiran antara dua raksasa filsafat Islam: Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd (Averroes). Lebih dari sekadar kuliah, acara ini menjadi sebuah "perang gagasan" yang menarik minat ratusan mahasiswa dan dosen.

Tema kuliah, “Harmoni Akal dan Wahyu: Menjelajah Filsafat Pendidikan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd,” merupakan pemilihan yang cerdas. Kedua tokoh ini, meskipun hidup di era yang berbeda, mewakili dua pendekatan mendasar dalam memahami peran akal dan wahyu dalam pendidikan Islam. Al-Ghazali, dengan pendekatan sufistik dan penekanannya pada penyucian jiwa (tasfiyah al-nafs), beradu argumen dengan Ibnu Rusyd, yang lebih menekankan penggunaan akal (rasionalitas) dalam memahami agama dan dunia. Perbedaan ini memicu diskusi yang kaya dan dinamis di kalangan pelajar.

Prof. Warul Walidin, dengan kepiawaiannya memadukan keahlian akademik dengan kemampuan presentasi yang memikat, berhasil membawa peserta kuliah ke dalam memikirkan intelektual yang menarik. Ia tidak sekadar memaparkan pemikiran kedua tokoh secara pasif, tetapi menciptakan dialog imajiner di mana Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd seolah-olah sedang menonton di hadapan para mahasiswa. Teknik ini berhasil membangkitkan antusiasme dan membuat materi kuliah yang kompleks terasa lebih mudah dipahami.

Al-Ghazali, dalam presentasi Prof. Warul Walidin, digambarkan sebagai sosok yang mengutamakan pendidikan spiritual dan pembentukan karakter yang kokoh. Pendidikan, menurut Al-Ghazali, bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga proses penyucian jiwa dan pembinaan akhlak mulia. Proses ini terjadi pada saat pentingnya praktik spiritual, seperti dzikir, tafakur, dan riyadhah, untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan dan mengembangkan potensi spiritual individu. Mahasiswa diajak memikirkan bagaimana pendidikan dalam perspektif Al-Ghazali bertujuan untuk membentuk insan kamil, manusia yang utuh dan seimbang dalam aspek spiritual dan duniawi.

Ibnu Rusyd, di sisi lain, dibentangkan sebagai tokoh yang menekankan pentingnya akal dan rasio dalam pendidikan. Ia menampilkan bagaimana pemahaman yang mendalam tentang filsafat Aristotelian dapat memperkuat pemahaman agama dan membuka pintu menuju pengetahuan yang lebih luas. Ibnu Rusyd percaya bahwa akal dan wahyu bukanlah dua entitas yang berlawanan, tetapi justru saling melengkapi dan mendukung. Akal, dia, berfungsi sebagai alat untuk memahami dan menghayati wahyu secara lebih mendalam. Pendidikan, dalam perspektif Ibnu Rusyd, harus memadukan pendidikan agama dengan ilmu-ilmu lainnya, menghasilkan individu yang cerdas, kritis, dan beriman.

Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada penekanannya. Al-Ghazali cenderung menekankan dimensi spiritual dan batiniah, sedangkan Ibnu Rusyd lebih fokus pada dimensi rasional dan intelektual. Namun, Prof. Warul Walidin berhasil menunjukkan bahwa perbedaan ini bukan berarti pertentangan yang tak terdamaikan. Justru di situlah letak kekayaan pemikiran Islam, sebuah tradisi yang mampu mengakomodasi berbagai perspektif dan pendekatan dalam memahami kebenaran.

Puncak acara kuliah ini terjadi pada sesi diskusi. Ruang auditorium yang tadinya hening berubah menjadi hiruk pikuk yang diselenggarakan. Mahasiswa dari berbagai latar belakang – baik mereka yang berlatar belakang keagamaan yang kental maupun yang lebih sekuler – berlomba-lomba menyampaikan pendapat dan mengajukan pertanyaan yang kritis dan tajam. Beberapa mahasiswa menyimpulkan relevansi pendekatan Al-Ghazali di era modern yang serba cepat dan kompleks. Lainnya memperdebatkan bagaimana cara mengintegrasikan pendekatan Ibnu Rusyd dengan pendidikan agama yang menekankan nilai-nilai moral dan spiritual.

Prof. Warul Walidin dengan sabar dan bijaksana memandu diskusi tersebut. Ia tidak memberikan jawaban yang pasti, tetapi hanya mendorong pelajar untuk mencari jawaban sendiri berdasarkan pemahaman mereka tentang kedua pemikiran tersebut. Ia mengajak mahasiswa untuk melakukan sintesis, mencari keseimbangan yang tepat antara pengembangan spiritualitas dan pengembangan akal dalam konteks pendidikan Islam modern.

Acara kuliah umum ini bukan hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga proses pembelajaran yang bermakna dan interaktif. Siswa tidak hanya menerima informasi, tetapi juga diajak untuk berpikir kritis, menganalisis, dan berdiskusi. Prof. Warul Walidin telah sukses menciptakan sebuah lingkungan belajar yang dinamis dan inspiratif, di mana perbedaan pendapat bukan menjadi penghalang, tetapi justru menjadi bahan bakar untuk memperkaya pemahaman dan menemukan keseimbangan yang tepat dalam filsafat pendidikan Islam. Semoga semangat pergulatan gagasan ini terus berlanjut dan menginspirasi generasi muda untuk terus menimba ilmu dan mengembangkan pemikiran kritis mereka. Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, meskipun sudah berabad-abad lalu, terus berdebat dan memberi inspirasi di kampus-kampus Islam modern.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar