Kuliah ini bukan sekadar ceramah. Sebuah dialog, pertukaran gagasan yang kaya, menghubungkan teori akademik dengan realita lapangan. Dr. Nurshiah, MA., ahli pendidikan inklusif yang juga aktivis perempuan, menambahkan dimensi penting pada kuliah ini: proporsionalitas dalam penulisan ilmiah. “Tulisan ilmiah harus seimbang,” tegasnya. “Dari pendahuluan hingga kesimpulan, setiap bagian harus terukur dan fokus pada kebaruan yang ditawarkan. Kita perlu menelaah tinjauan pustaka secara kritis, mengetahui apa yang sudah ditulis orang lain, dan dari sisi mana kita bisa menyumbangkan perspektif baru.” Pesan ini bukan hanya untuk para mahasiswa, tetapi juga sebuah pengingat bagi semua peneliti untuk menjaga integritas dan kualitas riset.
Kuliah ini diramaikan oleh tiga presentasi yang menggugah hati, berbasis riset mendalam di Sekolah Inklusi Harsya Ceria Banda Aceh, merupakan bukti nyata komitmen untuk mengikis kesenjangan pendidikan. Tiga praktisi pendidikan berbagi pengalaman berharga mereka, menunjukkan bahwa pendidikan inklusif bukan sekadar mimpi, melainkan realita yang dapat diraih.
Presentasi pertama, oleh Ahlul Fikri, S.Pd.I., M.Pd., Menunjukkan strategi pengelolaan kelas PAUD Harsya Ceria Banda Aceh yang inovatif. Ia membongkar selubung mitos seputar pendidikan inklusif, mengungkapkan detail praktis — modifikasi ruang kelas, penyesuaian materi ajar, peran guru pendamping — yang mampu menciptakan lingkungan belajar nyaman dan efektif bagi semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Ahlul Fikri tak hanya berbagi metode, tetapi juga berbagi rasa dengan detil yang besar maknanya: bagaimana sebuah sentuhan sederhana dapat membuat perbedaan besar dalam hidup seorang anak. Presentasinya merupakan artikel yang siap untuk dipublikasikan di jurnal pendidikan.
Diana, S.Pd.I., M.Pd., Mengkaji sisi Sekolah Islam SD Karakter Harsya Ceria Banda Aceh, menawarkan perspektif yang seringkali terabaikan: pendidikan karakter dalam konteks inklusi. Presentasinya menekankan pentingnya membangun karakter siswa yang inklusif, menumbuhkan empati, dan penerimaan terhadap perbedaan. Ia menunjukkan bagaimana nilai-nilai keagamaan dan pendidikan karakter dapat menciptakan lingkungan sekolah yang toleran dan menghargai keunikan setiap individu. Diana mengarahkan kita untuk melihat pendidikan inklusif sebagai proses holistik, yang tak hanya memperhatikan aspek akademis, tetapi juga pembentukan karakter yang utuh. Penelitian mendalamnya tentang pendidikan karakter di sekolah inklusif juga menjadi bahan diskusi yang sangat berharga.
Syarifah Musanna, S.Pd.I., MA, Mengkaji sisi TK Harsya Banda Aceh, menambahkan suara penting lain: pendidikan inklusif sejak usia dini. Presentasinya menunjukkan bahwa fondasi inklusi harus ditegakkan sejak awal perkembangan anak. Ia mengungkapkan tantangan dan strategi dalam menangani ABK di TK, serta bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan holistik setiap anak. Syarifah Musanna mengajak kita untuk memperluas pandangan tentang pendidikan inklusif, menempatkan anak sebagai pusat perhatian, dan melihat potensi yang dimiliki oleh setiap anak tanpa pandang beda.
Ketiga presentasi ini bukan sekadar berbagi pengalaman, melainkan menyatukan cita-cita yang sama: mewujudkan pendidikan inklusif di Aceh. Mereka menunjukkan bahwa pendidikan inklusif bukan utopia, tetapi kenyataan yang dapat diwujudkan dengan komitmen, inovasi, dan kolaborasi. Mereka jujur mengungkapkan kendala yang dihadapi, seperti keterbatasan sumber daya dan kurangnya pelatihan guru, menunjukkan bahwa jalan menuju inklusi masih panjang dan memerlukan dukungan dari semua pihak.
Salah seorang peserta kuliah, Ridwan, S.Pd.I., MA., M.Pd., mengungkapkan inspirasi yang mendalam. Sebagai kepala sekolah, ia mengatakan, kuliah ini menggugahnya untuk lebih peduli dan memberikan pelayanan pendidikan yang lebih berkualitas bagi peserta didik dengan berbagai kebutuhan dan kemampuan. Kesaksian Ridwan merupakan bukti nyata bahwa kuliah ini bukan hanya sebuah acara akademik, tetapi sebuah gerakan yang menginspirasi dan menggerakkan hati.
Siti Halimah, S.Pd.I., M.Pd mempertanyakan dan menguatkan kehadiran pendidikan dengan hati "qalbun salim" mempertajam kolaborasi praktisi pendidikan dalam kuliah ini menunjukkan komitmen yang kuat terhadap pendidikan inklusif di Aceh. Konsep bersama-sama menunjukkan bahwa pendidikan inklusif bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga pendidikan, tetapi tanggung jawab bersama. Kuliah ini adalah jembatan yang menghubungkan teori dan praktik, akademisi dan praktisi, untuk bersama-sama membangun pendidikan Aceh yang lebih adil, berkeadilan, dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak, tanpa terkecuali. Semoga semangat yang tercipta di kuliah ini terus menyala, menyulam harapan untuk masa depan pendidikan Aceh yang lebih inklusif.
Super mantap lanjutkan
BalasHapus