Banda Aceh, 15 Maret 2025 – Ruang kuliah Pascasarjana UIN Ar-Raniry mendadak berubah menjadi arena debat intelektual yang seru dan menggelitik siang ini. Bukan sekadar kuliah biasa, presentasi disertasi Bapak Bahrullah, S. Ag., M. Pd., tentang diskursus Tawasut (moderasi) menurut Ibnu Miskawaih dalam filsafat pendidikan, sukses menyulut semangat diskusi yang luar biasa. Dipandu oleh dosen pengasuh terhormat, Prof. Dr. Warulwalidin AK, kuliah yang dihadiri hanya 10 mahasiswa S3 ini justru memunculkan perdebatan sengit dan penuh pertanyaan cerdas, bahkan memecahkan rekor jumlah pertanyaan dalam sejarah kuliah tersebut. Salah satu mahasiswa, Ridwan, S.Pd.I., MA., M.Pd., dengan pertanyaan-pertanyaannya yang tajam seakan menjadi 'jagoan' debat hari ini.

Bahrullah, dalam presentasinya yang berdurasi hampir dua jam, dengan piawai memaparkan pemikiran Ibnu Miskawaih yang jauh dari kesan kuno dan kaku. Ia berhasil "menghidupkan" filsafat Ibnu Miskawaih, menunjukkan betapa relevannya konsep Tawasut—yang oleh Bahrullah dijabarkan sebagai "jalan tengah"—dalam menghadapi tantangan pendidikan modern. Bahrullah menjelaskan bahwa Tawasut menurut Ibnu Miskawaih bukan sekadar kompromi atau sikap pasif, melainkan upaya aktif untuk menemukan keseimbangan optimal dalam berbagai aspek kehidupan.
"Bayangkan, seperti naik sepeda," kata Bahrullah dengan gaya presentasi yang lugas dan menarik. "Jika terlalu miring ke kiri, kita jatuh. Terlalu miring ke kanan, kita juga jatuh. Tawasut adalah keseimbangan untuk tetap tegak dan melaju dengan stabil." Analogi sederhana ini langsung menarik perhatian para mahasiswa.
Namun, yang lebih menarik lagi adalah sesi tanya jawab. Kesepuluh mahasiswa, dengan semangat yang membara, bergantian melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis dan menggelitik. Salah satu sorotan utama tertuju pada Ridwan, S. Pd. I., MA., M. Pd., yang pertanyaan-pertanyaannya menunjukkan pemahaman mendalam tentang filsafat Ibnu Miskawaih serta ketajaman analisisnya yang luar biasa.
Ridwan, dengan mimik wajah serius nan penasaran, mengajukan pertanyaan yang mengarah pada relevansi Tawasut dalam menghadapi ekstremisme dan polarisasi agama di zaman modern. "Bagaimana konsep Tawasut Ibnu Miskawaih dapat diaplikasikan dalam konteks pendidikan agama yang seringkali diwarnai oleh interpretasi agama yang keras dan intoleran?" tanyanya.
Pertanyaan Ridwan ini mengarahkan diskusi ke arah yang lebih kompleks dan menantang. Bahrullah, dengan teliti dan sistematis, menjawab pertanyaan Ridwan dengan memperjelas bahwa Tawasut bukanlah sekadar "jalan tengah" yang pasif, tetapi juga suatu proses dinamis yang memerlukan kemampuan berpikir kritis dan pengembangan intelektual yang komprehensif. Ia menekankan pentingnya mencari ilmu secara mendalam, mengerti konteks, dan menghindari generalisasi yang dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Diskusi semakin memanas ketika Ridwan kembali bertanya, "Apakah konsep Tawasut Ibnu Miskawaih bersifat universal, atau hanya relevan dalam konteks sejarah dan budaya tertentu?" Pertanyaan ini mengarah pada debat tentang universalitas nilai-nilai dan prinsip-prinsip agama. Prof. Dr. Warulwalidin AK pun turut menambahkan pendapatnya, menjelaskan bahwa konsep Tawasut memiliki prinsip-prinsip yang universal, namun aplikasinya harus disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan zaman.
Tidak hanya Ridwan, mahasiswa lainnya juga turut aktif dalam diskusi. Mereka mengajukan pertanyaan tentang hubungan Tawasut dengan pluralisme beragama, peran pendidikan dalam mencegah ekstremisme, serta tantangan dalam mengaplikasikan konsep Tawasut dalam praktik pendidikan sehari-hari.
Suasana ruangan menjadi semakin hidup dan dinamis, dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang cerdas, argumentasi yang sistematis, dan tanggapan yang objektif. Prof. Dr. Warulwalidin AK pun tampak terkesan dengan kesungguhan para mahasiswa dalam mendalami materi. Beliau beberapa kali menambahkan pendapat dan memandu diskusi agar tetap konstruktif.

Pada akhirnya, kuliah yang seharusnya berakhir pada pukul 11.00 WIB berlangsung hingga pukul 12.30 WIB. Kesepuluh mahasiswa tampak kehabisan tenaga, namun wajah-wajah mereka mencerminkan kepuasan dan kebanggaan telah terlibat dalam diskusi yang sangat bermakna. Bahrullah, sang pemakalah, juga terlihat lega dan bangga karena presentasinya mampu menimbulka diskusi yang sedemikian sehat dan produktif. Bahkan Prof. Dr. Warulwalidin AK, menyatakan bahwa kuliah ini akan menjadi referensi dan contoh bagaimana kuliah S3 seharusnya berlangsung. Para mahasiswa ini, dengan semangat intelektualnya, telah membuktikan bahwa filsafat Ibnu Miskawaih masih sangat relevan untuk dipelajari dan diaplikasikan di zaman modern, khususnya dalam konteks pendidikan agama yang moderat dan inklusif.