Total Tayangan Halaman

Jumat, 11 April 2025

Jadikan Dirimu Mesin Keberhasilan: Niat Ikhlas dan Empat Pilar Motivasi: Rahasia Menggerakkan Diri Menuju Kesuksesan Motivasi Islami Al-Hajis hingga Al-'Azmu sebagai Penggerak Menuju Cita-cita

Banda Aceh. Aceh (12-04-2025) Dalam era modern yang penuh persaingan, kunci kesuksesan tidak hanya terletak pada kecerdasan intelektual semata, tetapi juga pada kekuatan motivasi dan niat yang tulus.  Konsep motivasi dalam Islam, khususnya prinsip Al-Hajis (semangat), Al-Khathir (keinginan kuat), Al-Hazmu (ketegasan), Al-'Azmu (keputusan teguh), dan  Niyyah Ikhlas (niat yang ikhlas),  memberikan pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana  menggerakkan perilaku menuju pencapaian tujuan. 

Prof. Warul Walidin. AK menjelaskan bahwa Al-Hajis merupakan  semangat awal yang mendorong seseorang untuk memulai suatu aktivitas.  Semangat ini kemudian diperkuat oleh Al-Khathir,  yakni  keinginan yang kuat dan tak kenal lelah untuk mencapai tujuan.  Namun,  semangat dan keinginan tersebut  perlu diimbangi oleh  Al-Hazmu (ketegasan) dan Al-'Azmu (keputusan teguh) agar  tidak mudah goyah di tengah  tantangan.  Ketegasan dalam mengambil keputusan dan keteguhan hati  akan  membantu seseorang untuk  mengatasi rintangan  dan  terus  berjuang menuju  tujuan. 


Yang terpenting dari semua itu adalah Niyyah Ikhlas.  Niat yang tulus dan ikhlas untuk mencari ridha Allah SWT akan menjadi  energi  pendorong yang paling dahsyat.  Tanpa niat ikhlas,  semua usaha  akan menjadi sia-sia.  Motivasi  yang  berasal dari  tujuan  duniawi  mungkin  akan  cepat  padam,  sementara  motivasi  yang  berasal  dari  niat  ikhlas  akan  memberikan  tenaga  yang  tak  terbatas. 

Ridwan, S. Pd. I., MA., M. Pd salah seorang mahasiswa S3 Pascasarjan UIN Ar-Raniry Banda Aceh mengaku terinspirasi "Penerapan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari Dengan memahami dan mengamalkan konsep motivasi ala Islam ini, kita dapat  memanfaatkan potensi diri secara optimal dan  mencapai kesuksesan yang bermakna, baik di dunia maupun di akhirat".

Ridwan menambahkan "Di era modern yang serba cepat dan kompetitif, kunci keberhasilan tak hanya terletak pada kecerdasan intelektual semata.  Lebih dari itu, dibutuhkan kekuatan pendorong internal yang mampu menggerakkan individu untuk mencapai potensi maksimalnya.  Konsep motivasi dalam Islam, khususnya integrasi antara niat ikhlas dan empat pilar motivasi – al-Hajis, al-Khathir, al-Hazmu, dan al-‘Azmu – menawarkan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami dan memaksimalkan energi perilaku manusia". 

Ridwan menambahkan "Konsep ini bukan sekadar teori abstrak, melainkan panduan praktis yang telah diuji selama berabad-abad.  Empat pilar motivasi tersebut saling berkaitan dan berjenjang, layaknya fondasi bangunan yang kokoh.  Al-Hajis, sebagai semangat awal, merupakan percikan api yang membangkitkan keinginan untuk bertindak.  Ini adalah dorongan pertama yang muncul dari dalam diri, sebuah hasrat untuk memulai suatu perjalanan menuju tujuan.  Bisa jadi, al-Hajis ini dipicu oleh mimpi, ambisi, atau bahkan panggilan hati.  Namun, al-Hajis semata tidak cukup". 

Di sinilah peran al-Khathir menjadi krusial.  Al-Khathir adalah keinginan yang kuat dan gigih, tekad yang membara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.  Jika al-Hajis adalah percikan api, maka al-Khathir adalah bara yang menyala terus menerus, bahkan di tengah badai kesulitan.  Keinginan ini bukan sekadar keinginan sesaat, melainkan komitmen jangka panjang yang  terus menyulut semangat dan menepis rasa ragu.  Ia merupakan energi yang berkelanjutan yang mendorong individu untuk tetap fokus dan pantang menyerah. 

Namun, semangat dan keinginan kuat saja masih belum cukup.  Al-Hazmu, atau ketegasan, bertindak sebagai penentu arah.  Ketegasan diperlukan dalam pengambilan keputusan, penetapan strategi, dan implementasi rencana.  Tanpa ketegasan, semangat dan keinginan yang kuat dapat terhambat oleh keraguan dan penundaan.  Al-Hazmu membantu individu untuk mengambil langkah berani, menentukan prioritas, dan mengatasi hambatan yang mungkin muncul di sepanjang perjalanan. 

Puncak dari rangkaian motivasi ini adalah al-‘Azmu, atau tekad yang bulat.  Tekad ini merupakan hasil integrasi dari semangat, keinginan kuat, dan ketegasan.  Ia adalah  keputusan yang teguh untuk mencapai tujuan, terlepas dari rintangan dan tantangan yang ada.  Al-‘Azmu  menunjukkan  kekuatan mental dan ketahanan diri yang luar biasa,  kemampuan untuk  terus maju meskipun  dihadapi  dengan  kesulitan  dan  kegagalan. 

Namun, keempat pilar motivasi ini hanya akan efektif jika diiringi oleh niyyah ikhlas, atau niat yang tulus.  Niat ikhlas merupakan  energi penggerak utama yang memberikan makna dan tujuan sejati pada setiap tindakan.  Niat yang tulus untuk mencari ridho Allah SWT akan memberikan kekuatan batin yang tak terhingga,  menjadikan  setiap  kesulitan  sebagai  ujian  yang  menguji  keimanan  dan  kesabaran.  Motivasi  yang  berlandaskan  niat  ikhlas  akan  lebih  berkelanjutan  dan  berdampak  positif,  baik  bagi  diri  sendiri  maupun  bagi  orang  lain. 

Dengan demikian,  integrasi al-Hajis, al-Khathir, al-Hazmu, al-‘Azmu, dan niyyah ikhlas membentuk sebuah sistem motivasi yang kuat dan berkesinambungan.  Kelima elemen ini saling mendukung dan memperkuat satu sama lain, membentuk energi perilaku yang dahsyat untuk mencapai kesuksesan di berbagai bidang kehidupan.  Bukan sekadar sukses materi, tetapi juga sukses dalam meraih kebahagiaan dan keberkahan hidup di dunia dan akhirat.  Kelima elemen tersebut menjadi pondasi yang kokoh untuk mencapai potensi terbaik diri dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. 

Mencegangkan Ternyata Belajar "Lepas Dahaga Ilmu", Bukan "Dahaga Gelar" Ahlul Fikri Kuliah Mahasiswa S3 UIN Ar-Raniry Ajak Mahasiswa Hayati Filsafat Pendidikan Az-Zarnuji "Petik Hikmah Kitab Ta'alim Al-Muta'alim"

Banda Aceh - Aceh (12-04-2025) Kuliah S3 Pascasarjana UIN Ar-Raniry  kembali menyita perhatian. Bukan karena gedung megah atau fasilitas canggih, melainkan karena pesan inspiratif yang disampaikan Ahlul Fikri, S.Pd.I., M.Pd, Mahasiswa presentasi artikel, menekankan pentingnya niat yang tulus dalam menuntut ilmu, melampaui ambisi semata untuk meraih gelar akademik. 

Dalam kuliah yang membahas kitab Ta'alim al-Muta'allim karya Az-Zarnuji, Ahlul Fikri mengajak para mahasiswa doktoral untuk merenungkan makna sejati pendidikan Islam.  "Jangan sampai dahaga akan gelar menutupi dahaga akan ilmu," tegasnya di hadapan para mahasiswa yang serius menyimak. 


Presentasi tersebut  tak sekadar memaparkan isi kitab Ta'alim al-Muta'allim, tetapi  juga membedah  nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.  Az-Zarnuji, seorang ulama besar, dalam kitabnya menekankan pentingnya niat ikhlas, kesungguhan, dan adab dalam menuntut ilmu.  Prof. Warul Walidin  menambahkan,  gelar akademik hanyalah konsekuensi dari proses belajar yang sungguh-sungguh, bukan tujuan utama. 


"Banyak yang mengejar gelar S3, tetapi  ketika ditanya tentang substansi ilmunya,  mereka  kesulitan menjelaskan," ungkap Prof. Warul Walidin.  Beliau menganalogikannya seperti seseorang yang haus,  kemudian minum air hanya sedikit,  lalu langsung terburu-buru pergi,  padahal dahaganya belum terpuaskan. 

Kajian ini menambah suasana kampus UIN Ar-Raniry Banda Aceh semarak dengan nuansa intelektual yang kental.  Bukan sekadar hiruk pikuk perkuliahan biasa, namun sebuah pengingat mendalam tentang esensi menuntut ilmu.  Ahlul Fikri,  dengan bimbingan Prof. Dr. Warul Walidin AK., menghadirkan  kajian filsafat pendidikan Islam yang unik dan inspiratif,  berangkat dari kitab klasik Ta'alim Al-Muta'alim karya Imam Az-Zarnuji.  Lebih dari sekadar pemaparan teks, presentasi ini  mengajak para mahasiswa untuk merenungkan kembali niat dan tujuan mereka dalam mengejar pendidikan tinggi. 

Ahlul Fikri dalam presentasinya yang memikat perhatian para hadirin.  Ia menekankan pesan inti dari Ta'alim Al-Muta'alim yang sering terlupakan di tengah derasnya arus  pengejaran status sosial.  Kitab karangan Imam Az-Zarnuji yang ditulis abad ke-15 ini, menurut Ahlul Fikri,  merupakan  pedoman komprehensif bagi para penuntut ilmu, bukan hanya sekadar panduan praktis, tetapi juga  refleksi spiritual yang mendalam. 

Az-Zarnuji, melalui karyanya,  tidak hanya memberikan instruksi teknis tentang bagaimana cara belajar yang efektif – mulai dari memilih guru yang tepat hingga tata cara menghafal –  namun juga menekankan pentingnya niat yang ikhlas dan tulus.  Mencari ilmu semata-mata demi memperoleh gelar atau status sosial, menurut pandangan Az-Zarnuji,  merupakan tindakan yang sia-sia dan bahkan berbahaya.   

"Bayangkan, kita mengejar gelar doktor hanya untuk dipamerkan, untuk  meningkatkan gengsi, atau mendapatkan posisi yang lebih tinggi.  Apakah itu benar-benar mencerminkan semangat menuntut ilmu yang sejati?"  tanya Ahlul Fikri retoris, mengundang renungan dari para mahasiswa.  Ia melanjutkan,  "Az-Zarnuji mengingatkan kita bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diiringi niat yang tulus untuk mengabdi kepada Allah SWT dan  memberikan manfaat bagi sesama." 

Presentasi Ahlul Fikri  tidak sekadar membacakan terjemahan Ta'alim Al-Muta'alim.  Ia  dengan mahir  mengabungkan  pemahaman teks klasik dengan konteks kekinian.  Ia  mengungkapkan bagaimana  nilai-nilai yang diajarkan Az-Zarnuji, seperti  kesabaran, ketekunan,  dan  kejujuran,  masih sangat relevan  dalam menghadapi tantangan pendidikan di era modern.  Bahkan,  di tengah  kemajuan teknologi informasi yang luar biasa,  pesan-pesan  Az-Zarnuji tentang pentingnya memilih guru yang berkualitas dan  mencari ilmu dari sumber yang terpercaya,  tetap  sangat relevan. 

Prof. Dr. Warul Walidin AK., sebagai pembimbing Ahlul Fikri,  menambahkan  perspektifnya  dengan menekankan pentingnya  mengembangkan  intelektualitas  yang  berbasis  nilai-nilai  agama.  Menurutnya,  pengejaran ilmu pengetahuan  tidak boleh dipisahkan dari  pengamalan nilai-nilai  keislaman.  "Kita  harus  menjaga  integritas  dan  akhlak  dalam  mengejar  ilmu,"  ujarnya.  Ia  menganggap  presentasi Ahlul Fikri  sebagai  suatu  upaya  yang  sangat  berharga  untuk  mengingatkan  para  mahasiswa  tentang  esensi  pendidikan  yang  sesungguhnya. 

Ridwan, S. Pd. I., MA., M. Pd salah seorang mahasiswa kuliah S3 mengaku haru, "ini  tidak hanya  bermanfaat  bagi  para  mahasiswa  S3, tetapi juga  menjadi  inspirasi  bagi  seluruh  civitas akademika UIN Ar-Raniry, bahkan masyarakat luas.  Presentasi ini  menjadi  suatu  peristiwa  unik,  di mana  kajian  filsafat  pendidikan  Islam  disampaikan  dengan  cara  yang  menarik  dan  menginspirasi,  jauh  dari  kesan  kaku  dan  formal.  Para  mahasiswa  diajak  untuk  tidak  hanya  mencari  gelar  akademik, tetapi  juga  mencari  kebaikan  dan  hikmah  dari  proses  menuntut  ilmu" pungksnya. 

Ridwan menambahkan "Di penghujung presentasi,  suasana menjadi lebih hangat dan interaktif.  Para mahasiswa  aktif bertanya dan berdiskusi dengan Ahlul Fikri dan Prof. Warul Walidin.  Pertanyaan-pertanyaan  yang  diajukan  menunjukkan  betapa  presentasi  tersebut  telah  mendorong  mereka  untuk  merenungkan  kembali  tujuan  dan  niat  mereka  dalam  mengejar  pendidikan  tinggi". 

Keberhasilan kuliah S3 ini  bukan  hanya  terletak  pada  ketajaman  analisis  dan  pemahaman  kitab Ta'alim Al-Muta'alim, tetapi  juga  pada  kemampuan  Ahlul Fikri  untuk  menghubungkan  teks  klasik  dengan  realita  kehidupan  sekarang.  Ia  telah  berhasil  mengingatkan  kita  semua  bahwa  pendidikan  yang  sesungguhnya  bukan  hanya  tentang  gelar,  tetapi  tentang  transformasi  diri  dan  pengabdian  kepada  Allah  SWT  dan  umat.  Kuliah ini  menjadi  suatu  peristiwa  yang  berharga,  mengingatkan  kita  pada  esensi  pengejaran  ilmu  yang  benar-benar  bermakna.  Semoga  inspirasi  ini  terbawa  oleh  para  mahasiswa  dan  menjadi  motivasi  dalam  menjalani  perjalanan  akademik  mereka.

Kamis, 03 April 2025

Dari Teunom Aceh ke Jurnal Internasional: Penelitian Peusijuek Ridwan Raih Pengakuan Global Analisis Ritual Peusijuek: Variasi dan Kekayaan Makna di Teunom Vs Daerah Lain di Aceh.

Aceh Jaya, Aceh –  Dunia akademik kembali dihebohkan oleh pencapaian membanggakan dari Aceh.  Ridwan, S.Pd.I., MA., M.Pd., seorang mahasiswa program doktoral (S3) berhasil menembus publikasi internasional. Karya ilmiah berjudul "Analisis Ritual Peusijuek: Variasi dan Kekayaan Makna di Teunom Vs Daerah Lain". Keberhasilan ini menjadi sorotan karena  penelitian tersebut mengupas  ritual Peusijuek,  upacara penyucian dan pemberkatan  khas Aceh,  dengan pendekatan ilmiah mendalam dan inovatif.  Lebih dari sekadar  dokumentasi ritual,  penelitian ini  mengungkap  lapisan makna kaya  serta variasi praktik Peusijuek di berbagai daerah di Aceh,  sekaligus menggarisbawahi  peran pentingnya dalam kehidupan masyarakat Aceh. 

“Kami sangat bersyukur atas pencapaian ini,” ujar Ridwan saat dihubungi melalui telepon. “Penelitian ini merupakan hasil kerja keras, Kami berharap  hasil penelitian ini dapat  memberikan kontribusi bagi  peningkatan pemahaman  tentang budaya Aceh dan  melestarikan warisan leluhur kita.” Ridwan,  menambahkan, “Penelitian ini  menunjukkan  potensi besar  dari tradisi lokal Aceh untuk  dieksplorasi secara ilmiah.  Peusijuek  bukan sekadar ritual  seremonial,  tetapi  sebuah sistem  nilai dan  kepercayaan   mendalam,    berperan penting  dalam  menjaga  kesatuan dan  keharmonisan  masyarakat.”

Penelitian  menggunakan  teori semiotik  dan metode  deskriptif kualitatif  untuk  menganalisis  ritual Peusijuek.  Temuan bahwa meskipun  inti ritual—memberkati seseorang atau  benda dengan tepung beras—tetap sama  di seluruh Aceh,  variasi  pelaksanaannya  sangat  menarik.  Penelitian  ini  khususnya  mengungkap perbedaan  signifikan  antara  praktik Peusijuek  di Teunom, Aceh Jaya,  dengan  daerah lain di Aceh. Di Teunom,  Peusijuek  terintegrasi  sangat  erat  dengan kehidupan sehari-hari.  Hampir semua kegiatan adat diiringi ritual ini,  menjadi perekat sosial   kuat.  Berbeda dengan daerah lain di Aceh,  di mana Peusijuek  mungkin  lebih dikaitkan  dengan peristiwa-peristiwa khusus  seperti kelahiran, pernikahan,  atau  keberangkatan perjalanan.  Hal ini  menunjukkan  adaptasi  budaya lokal   fleksibel  dan  dinamis.


Penelitian ini juga mengungkap  dua makna simbolik  dalam ritual Peusijuek: makna umum dan makna khusus.  Makna umum  merujuk pada  simbol material  seperti tepung tawar, beras,  dan nasi ketan,   melambangkan  perpindahan sifat  benda kepada manusia.  Makna ini  umum dipahami di seluruh Aceh  dan  melambangkan syukur,  kebahagiaan, dan  kesuksesan. Namun,  penelitian  menemukan perbedaan  dalam penekanan makna tersebut.  Di Teunom,  penekanan  pada syukur dan  berbagi lebih  kuat, mencerminkan  kebersamaan dan  kepedulian  antar anggota  komunitas.  Di daerah lain,  fokusnya mungkin  lebih pada  keberhasilan individu  atau keluarga.

Makna khusus  melibatkan interpretasi  spesifik  terhadap  masing-masing bahan   digunakan dalam  ritual Peusijuek,  seperti sirih,  nasi ketan,  dan manisan kelapa.  Meskipun  interpretasi dasar  mungkin  serupa di beberapa daerah,  detailnya  bisa berbeda.  Sebagai contoh,  penelitian menemukan  bahwa di Teunom,  seikat dedaunan  melambangkan  pentingnya kerukunan dan  persatuan.  Di daerah  lain,  simbol   digunakan  bisa berbeda,  menunjukkan  penekanan  pada nilai-nilai  lain seperti  keberanian, kekuatan,  atau  kehormatan. Penelitian ini juga mengkaji  peran tokoh adat dan agama dalam ritual Peusijuek.  Di Teunom,  keduanya memiliki  peran   setara dan  saling melengkapi,  sedangkan di daerah  lain,  perannya  bisa berbeda  tergantung pada  struktur sosial  dan  kepercayaan lokal.

Lebih jauh lagi,  penelitian ini  menunjukkan  perbedaan dalam  jenis acara   diiringi  Peusijuek.  Di Teunom,  hampir semua  kegiatan adat  diiringi  ritual ini,  sedangkan di  daerah lain,  Peusijuek  lebih  dikaitkan dengan  momen-momen  khusus.  Hal ini  menunjukkan  tingkat  integrasi  Peusijuek  dalam kehidupan  masyarakat. Terakhir,  penelitian  ini  menemukan  perbedaan  dalam  penggunaan  bahasa dan doa   diucapkan  selama  ritual.  Meskipun  inti doa  mungkin  sama,  nuansa dan  ungkapannya  bisa berbeda,  menunjukkan  kekayaan  bahasa  dan adaptasi  lokal.

Pencapaian  Ridwan merupakan  bukti  nyata bahwa  penelitian    mendalam  tentang  budaya lokal  dapat  mendapatkan  pengakuan  internasional.  Penelitian  ini  bukan hanya  memberikan  kontribusi  bagi  dunia  akademik,  tetapi juga  memberikan  inspirasi bagi  peneliti  lain  untuk  terus  mengeksplorasi  kekayaan  budaya  Indonesia.  Semoga keberhasilan ini  mendorong  generasi muda  Aceh untuk  terus  menjaga  dan  melestarikan  budaya  leluhur.  Penelitian ini telah  menempatkan  Aceh  di  peta  dunia  sebagai  daerah    kaya  akan  budaya  dan  tradisi    berharga.

Meskipun inti ritual peusijuek relatif sama di seluruh Aceh, pelaksanaannya di Teunom menunjukkan variasi signifikan dalam konteks, simbolisme, dan peran tokoh-tokoh adat dan agama. Penelitian ini menyoroti pentingnya pemahaman konteks lokal dalam menganalisis makna dan fungsi ritual peusijuek. Perbandingan lebih luas dengan praktik peusijuek di daerah lain di Aceh akan memberikan wawasan lebih kaya tentang kekayaan dan dinamika budaya Aceh. Penelitian lebih lanjut komprehensif dan membandingkan berbagai daerah di Aceh sangat diperlukan untuk mengungkap kekayaan dan keragaman praktik peusijuek ini secara lebih menyeluruh.

Ritual Peusijuek di daerah lain dalam berbagai studi tentang ritual peusijuek telah menarik perhatian banyak peneliti mengkaji dari berbagai aspek, antara lain: Tradisi Peusijuek Sebagai Sarana Mediasi Ditengah Syariat Islam Di Aceh (Prayetno, 2021), Makna Tradisi Peusijeuk dan Peranannya dalam Pola Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat di Kota Langsa (Hariadi et al., 2020), Indigenous Ritual as Adhesive Social Harmonization: The Meaning of ‘Peusijuek’ for Young People of Aceh, Indonesia (Suprijono et al., 2018), Kontruksi Makna Tradisi Peusijuek dalam Budaya Aceh (Riezal et al., 2019), The Ritual of Marriage (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh) (Abdul Manan, 2014), Tradisi Peusijuek dalam Masyarakat Aceh Integritas Nilai-Nilai Agama dan Budaya (Asiva Noor Rachmayani, 2015), Psikosufistik Tradisi Peusijuek: Harmoni Syukur, Zikir, dan Akulturasi Diri Masyarakat Aceh (Comission, 2016), dan Integritas Kearifan Lokal Budaya Tradisi Peusijuk (Noviana, 2018).


Reference

Abdul Manan. (2014). THE RITUAL OF MARRIAGE (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh). Ilmiah Peuradeun, II, no. 02, 27.

Asiva Noor Rachmayani. (2015). TRADISI PEUSIJUEK DALAM MASYARAKAT ACEH: Integritas Nilai-Nilai Agama dan Budaya. 3, 6.

Comission, E. (2016). Psikosufistik Tradisi Peusijuek: Harmoni Syukur, Zikir, dan Akulturasi Diri Masyarakat Aceh. 4(1), 1–23.

Hariadi, J., Fadhillah, M. A., & Rizki, A. (2020). Makna Tradisi Peusijeuk dan Peranannya dalam Pola Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat di Kota Langsa. JURNAL SIMBOLIKA: Research and Learning in Communication Study, 6(2), 121–133. https://doi.org/10.31289/simbollika.v6i2.3993

Noviana, N. (2018). Integritas Kearifan Lokal Budaya Tradisi Peusijuk. DESKOVI : Art and Design Journal, 1(1), 29–34. https://e-journal.umaha.ac.id/index.php/deskovi/article/view/283/190

Prayetno, N. S. (2021). Tradisi Peusijuek Sebagai Sarana Mediasi Ditengah Syariat Islam Di Aceh. Abrahamic Religions: Jurnal Studi Agama-Agama, 1(2), 172. https://doi.org/10.22373/arj.v1i2.10727

Riezal, C., Joebagio, H., & Susanto, S. (2019). Kontruksi Makna Tradisi Peusijuek Dalam Budaya Aceh. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 20(2), 145. https://doi.org/10.25077/jantro.v20.n2.p145-155.2018

Suprijono, A., Sarmini, & Ridwan. (2018). Indigenous Ritual as Adhesive Social Harmonization : 108(SoSHEC 2017), 146–150.

Senin, 31 Maret 2025

Momen Idul Fitri Silaturahmi Menuju Keajaiban: Ridwan, S.Pd.I., MA., M.Pd., Terkesima di Rumah Ruqyah Ustaz Aan Cot Pluh, Keajaiban dari Jawa Timur, Bukannya Bangunan Sederhana Terbayangkan, Tetapi Sebuah Oasis Peradaban yang Menawan

Aceh Barat, Aceh – Senin, 31 Maret 2025, Sebuah silaturahmi yang berawal dari niat suci berbuah kisah inspiratif yang mencengangkan. Ridwan, S.Pd.I., MA., M.Pd., Kepala SMP Swasta Darun Nizham dan  mahasiswa S3 Pascasarjana UIN Ar-Raniry, baru-baru ini melakukan perjalanan yang tak terduga ke sebuah lokasi yang bagai surga tersembunyi di Aceh Barat.  Rumah Ruqyah Ustaz Aan Cot Pluh, sebuah tempat yang  jauh melebihi ekspektasinya,  lebih mirip sebuah taman wisata alam yang indah dan ranum. Bukannya bangunan sederhana yang tergambarkan, justru bagai sebuah oasis peradaban yang menawan yang mengobati bukan hanya raga, tetapi juga jiwa.

Kesan pertama Ridwan begitu mendalam.  Ia menggambarkan Rumah Ruqyah Ustaz Aan Cot Pluh bukan sebagai bangunan megah, melainkan sebuah tempat yang nyaman dan asri,  dikelilingi oleh hamparan hijau yang menentramkan.  Suasana tenang dan damai langsung terasa begitu melangkahkan kaki ke area tersebut.  Keindahan alam sekitar seolah menjadi terapi tambahan bagi pasien yang datang untuk menjalani ruqyah.  Ridwan mendeskripsikan  keindahannya yang tak terduga,  seperti sebuah oase di tengah hiruk pikuk kehidupan modern. 


Yang lebih mencengangkan lagi adalah pendekatan holistik yang diterapkan oleh Ustaz Aan dan timnya.  Mereka tidak hanya fokus pada pengobatan ruqyah semata, tetapi juga memperhatikan aspek psikologis dan sosial pasien.  Ridwan menyaksikan bagaimana Ustaz Aan dan Nyai Mak Yeuk dengan sabar dan penuh empati mendengarkan keluhan pasien,  memberikan nasehat, dan bahkan menyediakan tempat tinggal sementara bagi mereka yang membutuhkan.  Suasana kekeluargaan begitu terasa,  menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi pasien untuk bercerita dan menjalani proses penyembuhan. 
Metode ruqyah yang digunakan pun patut diapresiasi.  Ridwan mengamati secara langsung bagaimana Ustaz Aan dan timnya menjalankan ruqyah dengan metode syar’i yang benar,  menjauhi praktik-praktik yang menyimpang dan bertentangan dengan ajaran Islam.  Mereka menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai panduan utama,  sehingga proses ruqyah yang dijalankan terbebas dari unsur-unsur sihir atau khurafat. 
Keahlian Ustaz Aan dan timnya dalam menangani berbagai kasus ruqyah sungguh luar biasa.  Ridwan menyaksikan bagaimana mereka berhasil mengatasi berbagai gangguan ruhani,  mulai dari pengaruh jimat dan sihir,  hingga dampak dari paket kiriman yang mengandung energi negatif.  Bahkan, kasus-kasus stres dan gangguan psikologis yang berkaitan dengan masalah ruhani pun berhasil ditangani dengan baik melalui pendekatan ruqyah yang terintegrasi dengan terapi psikologis. 

Rumah ruqyah Ustaz Aan Cot Pluh bukanlah sekadar tempat praktik pengobatan ruqyah, melainkan sebuah komunitas yang solid,  dibangun di atas fondasi keimanan,  kepedulian, dan keahlian yang luar biasa.  Kolaborasi harmonis antara Ustaz Aan, sang pemimpin yang bijaksana,  Nyai Mak Yeuk,  sang istri yang penyayang,  dan murid-murid mereka,  menciptakan atmosfer yang begitu menenangkan dan inspiratif. 
Kesan pertama Ridwan begitu mendalam.  Bukannya bangunan megah yang terbayang,  ia mendapati tempat yang nyaman dan asri,  dikelilingi hamparan hijau yang menentramkan.  Udara segar dan pemandangan alam yang indah seolah menjadi terapi tambahan bagi para pasien yang datang untuk menjalani ruqyah.  Ridwan menggambarkan suasana tersebut sebagai “oase di tengah hiruk pikuk kehidupan modern,”  tempat di mana jiwa dapat menemukan kedamaian dan ketenangan.  Keindahan alam sekitar seakan-akan menjadi bagian integral dari proses penyembuhan,  menciptakan aura positif yang mendukung keberhasilan terapi ruqyah. 
Namun,  keajaiban Rumah Ruqyah Ustaz Aan Cot Pluh bukan hanya terletak pada keindahan fisiknya.

Mereka menyediakan layanan kunjungan rumah hadir langsung ke tempat pasien sesuai kebutuhan.  Sikap ramah dan familier yang mereka tunjukkan menghilangkan rasa canggung dan ketakutan yang seringkali dialami pasien.  Sejak tahun 2002,  mereka telah membantu ribuan pasien dari berbagai daerah,  meliputi Aceh Barat, Aceh Jaya, Nagan Raya,  hingga Sumatera Utara.  Jangkauan pelayanan yang luas ini mencerminkan komitmen mereka dalam menyebarkan kebaikan dan membantu orang-orang yang membutuhkan. 
Rumah Ruqyah Ustaz Aan Cot Pluh tak hanya menjadi tempat pengobatan,  tetapi juga media dakwah untuk pemurnian aqidah dan penyelamatan syariat.  Ustaz Aan dan timnya dengan sabar membimbing pasien yang terpengaruh keyakinan pada kekuatan jimat atau hal-hal sejenisnya yang mengarah pada kesyirikan.  Mereka mengembalikan keyakinan pasien kepada Allah SWT semata Maha Berkuasa,  sekaligus menanamkan pemahaman yang benar tentang ajaran Islam.  Metode ruqyah yang mereka gunakan dijamin aman,  tanpa efek samping,  dan dijalankan dengan penuh keikhlasan. 
Pengalaman Ridwan di Rumah Ruqyah Ustaz Aan Cot Pluh lebih dari sekadar perjalanan silaturahmi.  Ia adalah sebuah pembelajaran berharga tentang keikhlasan,  kepedulian, dan keahlian dalam menjalankan praktik ruqyah yang benar sesuai syariat Islam.  Ia pulang dengan hati penuh kekaguman dan inspirasi,  bertekad untuk menyebarkan kisah inspiratif ini dan  mendalami lebih lanjut metode ruqyah syar’i yang efektif dan holistik seperti yang diterapkan di tempat tersebut.  Rumah Ruqyah Ustaz Aan Cot Pluh menjadi bukti nyata bagaimana keahlian dan keikhlasan dapat bersinergi untuk menciptakan keajaiban dan memberikan harapan bagi mereka yang membutuhkan pertolongan.  Semoga kisah ini menginspirasi banyak orang untuk berbuat kebaikan dan membantu sesama. 
Berikut Lokasi akurat Rumah Rukyah Cot Pluh
https://maps.app.goo.gl/h13oxxpUUC2NzbLR8

Minggu, 30 Maret 2025

Santri Cilik Sampaikan Pidato Inspiratif Menggetarkan Hati Cerita Nabi Menahan Lapar yang Dahsyad Juri Menangis di Festival Anak Shaleh


Teunom, Aceh –  Festival Anak Shaleh TPA Darul Istiqamah Desa Gampong Baroe, Kecamatan Teunom, dihebohkan oleh sebuah pidato inspiratif yang disampaikan oleh Nasyifa Radhida, seorang santri cilik berusia sembilan tahun.  Pidato yang memukau tersebut,  buah karya sang ayah, Ridwan, S.Pd.I., MA., M.Pd., Kepala SMP Swasta Darun Nizham dan sekaligus mahasiswa S3 Pascasarjana UIN Ar-Raniry,  bukan hanya mencuri perhatian para juri, tetapi juga menggetarkan hati seluruh hadirin yang hadir. 

Mukaddimah pidato Nasyifa begitu sederhana namun penuh makna. Dengan suara lantang dan penuh percaya diri, ia mengawali penampilannya dengan ucapan syukur kepada Allah SWT dan salam takzim kepada Nabi Muhammad SAW. Namun, yang mencengangkan adalah isi pidato yang ia sampaikan.  Nasyifa tidak sekadar bercerita tentang kegembiraan mengikuti lomba, tetapi ia membawakan sebuah kisah haru biru yang penuh makna tentang pengorbanan dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. 


Dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami, Nasyifa mengisahkan tentang  kehidupan Rasulullah SAW yang  tidak selalu dipenuhi dengan kemewahan.  Ia menceritakan bagaimana Nabi Muhammad SAW,  seorang pemimpin yang  sempurna dalam mengurus keluarga,  pernah mengalami kelaparan yang sangat hebat.  Kisah tersebut bukan hanya sekedar narasi sejarah,  melainkan sebuah gambaran nyata tentang  kepemimpinan yang didasarkan pada pengorbanan dan keikhlasan yang luar biasa. 

Nasyifa menceritakan bagaimana Rasulullah SAW,  dalam keadaan serba lapar,  bahkan sampai mengikat batu di perutnya untuk mengurangi rasa lapar yang menyiksa.  Bayangkanlah, Nabi Muhammad SAW,  teladan bagi seluruh umat manusia,  menahan lapar yang hebat bukan karena ketidakmampuan mencari nafkah, tetapi karena beliau ingin meringankan beban umatnya.  Beliau sangat khawatir akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak,  "Mengapa engkau, wahai Nabi, membiarkan umatmu kelaparan sementara engkau memiliki kekayaan?" 

Puncak pidato Nasyifa yang sungguh mencengangkan terungkap ketika ia menggambarkan  suasana saat shalat Ashar.  Nasyifa dengan sangat detail menggambarkan bagaimana suara perut Rasulullah SAW yang berkeroncongan terdengar jelas di telinga para sahabatnya.  Suara itu menggema, menjadi saksi bisu atas penderitaan yang ditanggung oleh pemimpin umat yang begitu dicintainya.  Bayangan Rasulullah SAW yang menahan lapar, sambil memimpin shalat, tergambar begitu hidup dalam setiap kata yang diungkapkan Nasyifa. 


Reaksi para sahabat Rasulullah SAW pun dikisahkan Nasyifa dengan begitu emosional.  Ia menggambarkan bagaimana para sahabat menangis tersedu-sedan.  Tangisan mereka bukanlah sekadar tangisan belas kasih, tetapi juga rasa bersalah dan ketidakmampuan mereka untuk sepenuhnya meringankan beban junjungan mereka.   "Bagaimana kami bisa menjawab pertanyaan Allah SWT kelak, jika Nabi-Nya, di tengah-tengah kami, mengalami kelaparan? Bukankah kami, para sahabat, telah bersumpah untuk mengorbankan harta benda bahkan nyawa untuk Nabi?"  demikian pertanyaan yang tersirat dalam  kisah pilu yang disampaikan Nasyifa. 

Pidato Nasyifa tidak hanya mengisahkan penderitaan Rasulullah SAW, tetapi juga menggarisbawahi  keikhlasan dan kepedulian para sahabat.  Mereka rela berkorban harta, waktu, bahkan nyawa, demi tegaknya agama Allah SWT dan kesejahteraan umat.  Nasyifa berhasil menghubungkan kisah masa lalu dengan realita kehidupan masa kini,  mengajak seluruh hadirin untuk meneladani keikhlasan dan pengorbanan Rasulullah SAW serta para sahabatnya. 

Usai pidato, suasana haru dan kagum menyelimuti seluruh hadirin.  Banyak yang meneteskan air mata, terharu oleh keindahan dan kedalaman pesan yang disampaikan Nasyifa.  Pidato tersebut tidak hanya inspiratif, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya kepedulian dan pengorbanan dalam kehidupan.   Nasyifa, si santri kecil,  telah berhasil menyampaikan pesan moral yang begitu dalam dan menggugah nurani.  Keberhasilan ini tentu juga menjadi kebanggaan bagi sang ayah, Ridwan, S.Pd.I., MA., M.Pd., yang telah membimbing dan menyiapkan putri kecilnya dengan begitu luar biasa.  Pidato Nasyifa menjadi bukti nyata bahwa pendidikan agama yang baik dapat melahirkan generasi muda yang cerdas, beriman, dan penuh dengan nilai-nilai luhur. 

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, ...

    الْحَمْد لِلَّه إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ ،َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ , وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ

Buat langkah pertama dan yang paling utama kita penjatkan puja dan puji kehadirat sang Rabbi. Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, yang kita memuja dan memuji-Nya sebagai hamba Allah, memohon pertolongan kepada-Nya sebagai hamba yang lemah, memohon ampun kepada-Nya sebagai hamba berlumur dosa berharap ridha Allah, dan kita berlindung kepada Allah dari kelemahan diri kita dan dari keburukan yang tersembunyi atau yang nyata.

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ  Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tak seorangpun dapat menyesatkannya, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tak seorangpun mampu memberinya petunjuk.

Allah penggenggam langit dan bumi, penggenggam jiwa raga seluruh isi langit dan bumi, geu hias langet geutabu bintang geu hias insan Muhammad suri tauladan. geu hias laot dengan gelombang, geu hias alam penuh isinya, geu peu jeut lat batat kayei batei, rimueng cagai, cangguek purai asei meurua, trok bak lubeng, si seuk bak batei, ulat lam kayei, bermacam jenis ungkot mulai dari ungkot yai trok bak jenis udeng sabei na Allah peujeut bandum ji meu silaweut ke junjungnan Nabi Muhammad saw.    

Shalawat dan salam sajan-sajan urau ngon malam kita hidangkan kepangkuan Nabi besar Muhammad Saw. إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّوْنَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ Sesungguhnya Allah dan para Malaikat bershalawat kepada Nabi. Berikutnya Allah menyeru orang beriman

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا Wahai Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (Qur’an Surat: Alahzab ayat 65) beliau pemuda padang pasir gigih berjuang bersama ahli dan sahabatnya siring bahu seayun langkah, kejurang sama menurun ke gunung sama mendaki demi tegaknya kalimah suci

لَا إِلٰهَ إِلَّا الله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Nabi Muhammad utusan Allah. Tidak ada waktu terbuang percuma, tidak ada kata yang sia-sia gapah lubeng gadeng cangguek, asap bu sijuek dan gup u muda. Dalam hadist maja yang laen umpung kumoto bek tajak lhue, bek tayue drop cangguek bak ureng buta, bak leuk dua guk bak boh keu peu gantoe, kubeu pok talau bek ta peulara.

Do’a restu kepada para alim ulama, yang mutaqaddimin dan yang mutaakhirin yang muktabar keduanya. Peran ulama nyoe keuh ibarat lampu dikala malam gelap, jeut keu tungkat di tanah yang licin, oh watei ujeun jeut keu payong, jeut keu pelampong oh wate banjir raja, yang peseulamat syari’at, peutupat hukom, yang peuturi soe droe, toh Allah, soe Nabi? Sehingga sape uroe nyoe geu tanyoe ka ta turi poma dengon ayah kelhe dengon gure ureng nyan ban lhe meu bek ta dhot-dhot, menyoe na salah meah ta lakei peu meyup ulei semah bak teot…

Kata-kata takzim ulon tuan, Yang mulia Tgk Dewan Juri yang cukop cermat dan bijak bak polpen geu peu nari keu bandum peserta FASI Fertival Anak Shaleh tahun ini,

Yang terhormat dan yang mulai pimpinan TPA Darul Istiqamah beserta Tgk Ustaz pengasuh yang cukop hek bak geu peutimang kamoe tiep-tiep malam hana pre-pre kecuali hujan,

Yang kami hormati hadirin hadirat yang dirahmati Allah SWT,

Yang kami banggakan para orang tua wali santri TPA Darul Istiqamah Desa Gampong Baroe

Yang teristimewa kepada seluruh peserta Festival Anak Shaleh TPA Darul Istiqamah Desa Gampong Baroe, Kecamatan Teunom.

Hadirin dan dewan juri yang saya hormati,

Izinkan sejenak Saya, Nasyifa, salah satu santri TPA Darul Istiqamah, menyampaikan pidato berjudul “Kisah Haru Teladan Rasul” saya merasa sangat bersyukur dalam kesempatan yang berbahagia ini.  Keikutsertaan saya dalam Festival Anak Shaleh ini merupakan sebuah kesempatan belajar, jika ada kekurangan atau kesilapan saya, mohon diperbanyak maaf.

Mari kita merenung sejenak kisah pilu dan pahitnya perjuangan baginda Nabi Muhammad saw. Saya ingin mengajak merenung kisah sedih dengan mata hati kita semua, diantara sekian banyaknya saya ingin fokus perenungan pada sebuah kisah yang begitu menyentuh, sebuah kisah yang mungkin akan membuat hati kita bergetar dan meneteskan air mata.  Kisah ini bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi sebuah pelajaran berharga tentang pengorbanan, keikhlasan, dan kepemimpinan sejati yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang mulia.

Hadirin sekalian, kita buka mata hati kita, melakukan perjalanan batin menuju sang Nabi. Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai teladan terbaik bagi seluruh umat manusia. Beliau adalah pribadi yang paling sempurna akhlaknya,  paling bijaksana dalam mengambil keputusan, dan paling penyayang kepada keluarga dan umatnya. Sampai penghujung hayat sekalipun Nabi Muhammad memanggil kita... “ummati... ummati... ummati...” umatku... umatku... umatku... Lalu bagaimana dengan kita? Shalawat saja bisa terburu-buru!... bahkan keti mendengar Nama Nabi Muhammad sekalipun kita enggan bershalawat... Nabi bersabda “umatku yang paling pelit suatu masa nanti, dia enggan menjawab saw”. Dalam Al-Qur’an Surat Alahzab ayat 65 jelas dikatakan “Allah dan para malaikatnya bershalawat kepada Nabi..”

Hadirin yang saya hormati, kesempatan ini renungan mendalam kita pada kisah yang  mencengangkan, kisah yang penuh dengan pengorbanan dan perjuangan yang luar biasa. Kisah yang paling menyentuh hati adalah kisah tentang kelaparan yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad SAW.  Kita sering mendengar betapa beliau adalah pemimpin yang adil dan bijaksana, yang selalu mengutamakan kepentingan umatnya.  Namun, tahukah kita bahwa di tengah perjuangan menegakkan agama Islam, beliau juga pernah mengalami lapar yang sangat berat?  

Bayangkanlah,  Rasulullah SAW,  pemimpin umat, Sayyidah Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah sering membantu istrinya dalam beberapa pekerjaan rumah tangga, seperti menjahit baju yang sobek, menyapu lantai, memerah susu kambing, belanja ke pasar, membetulkan sepatu dan kantung air yang rusak, atau memberi makan hewannya.

عَنِ الأَسْوَدِ، قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ: مَا كَانَ يَصْنَعُ النَّبِـيُّ فِي أَهْلِهِ؟ فَقَالَتْ: كَانَ يَكُوْنُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ خَرَجَ.

“Diriwayatkan oleh Aswad, dia mengatakan aku bertanya kepada Aisyah: Apa yang dikerjakan Nabi pada keluarganya? Aisyah pun menjawab: Beliau membantu pekerjaan keluarganya, kemudian apabila waktu shalat tiba, beliau keluar.” (H.R. Bukhari)

Hadirin yang saya muliakan, lebih dalam kita merenung kisah pilu Nabi, pernah di suatu hari waktu dhuha Nabi dalam keadaan lapar kembali dari berdakwah pulang ke rumah Sayyidah Aisyah. Sesampai di rumah ternyata tidak ada lagi perbekalan yang dapat dimakan, Sayyidah Aisyah hendak berbelanja… Rasullullah dengan senyuman berkata “Ya Khumaira (sebutan wahai yang kemerah-merahan kepada Sayyidah Aisyah) hari ini saya berpuasa saja” Sayyidah Aisyah dengan rasa bersalah menjadi salah tingkah. Teladan Rasulullah sebagai seorang suami menampilkan sikap tawadhu di hadapan keluarganya dengan cara tidak membebankan isterinya sendiri. Beliau membantu pekerjaan rumah yang menjadi tanggung jawab bersama. Apapun akan beliau lakukan, tanpa membebankan segala pekerjaan domestik kepada istri semata.

Sayyidah Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah selalu berdoa dan memohon kepada Allah untuk dirinya dan keluarganya agar terhindar dari mara bahaya. Rasulullah juga sosok yang pengasih dan dekat dengan anak cucunya, ia tidak segan untuk menggendong, mengusap, dan mencium dengan penuh kasih sayang. Kendati anak-anak biasa merengek dan mengeluh serta banyak tingkah, tetapi beliau tidaklah marah, membentak, ataupun menghardik. Rasulullah selalu berlaku lemah lembut dan bersikap tenang dalam menghadapi anak-anak. Dalam riwayat, beliau tidak segan untuk bermain kuda-kudaan dengan kedua cucunya, Hasan dan Husain. Ketika shalat jamaah bersama para sahabat Rasulullah juga sering datang membawa cucu perempuannya, Umamah.

Rasulullah memberikan nasihat kepada para sahabat dan umumnya beliau mewasiatkan bahwa sebagai seorang suami semestinya bersikap lemah lembut terhadap istri dan anak-anaknya.

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي

“Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarga. Dan aku adalah yang terbaik kepada keluarga.” (H.R. at-Tirmidzi)

Suatu hari Rasul meimami shalat ashar di mesjid Madinah, beliau sedang mengalami kelaparan yang sangat hebat, bahkan sampai mengikat batu di perutnya untuk mengurangi rasa lapar yang sangat menyiksa.  Betapa pedihnya rasa lapar itu!  Apalagi bagi beliau, yang senantiasa beribadah dan berdakwah,  menjalankan amanah sebagai Rasul Allah SWT. Dalam keadaan lapar yang demikian hebat,  Rasulullah SAW tetap menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin.  Seketika saat memimpin shalat Ashar,  terdengar suara menggerutup di setiap gerak rasul dalam shalat perut yang berkeroncongan.  Suara itu menggema di telinga para sahabat yang menyaksikan langsung.  Mereka mendengar dengan jelas setiap gerak Rasulullah SAW,  suara seperti otot sendi yang terpisah yang tak mampu disembunyikan itu menjadi saksi bisu atas penderitaan kelaparan yang beliau alami.

Hadirin yang saya hormati,

Bayangkanlah betapa pedihnya peristiwa itu!  Nabi Muhammad SAW,  teladan bagi seluruh umat,  menahan lapar, bukan karena ketidakmampuan mencari nafkah,  tetapi karena beliau tidak ingin membebankan orang lain dan umatnya.  Beliau sangat khawatir dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.  "Mengapa engkau, wahai Nabi, membebankan uatmu yang kamu pimpin?",  jika beliau tidak berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi ujiannya terlebih dahulu.

Rasulullah SAW menunjukkan keteladanannya untuk tidak membebani umatnya meskipun harus menahan lapar yang berat. Kondisi ini diketahui Umar bin Khattab RA, menurut Umar, setiap gerakan Rasulullah SAW terkesan berat dan sukar. Ada bunyi cukup keras seperti persendian yang saling gesek. Sholat saat itu, terasa lebih lama dibanding biasanya.

Usai sholat, Umar mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk menanyakan kondisinya. Umar duduk di sebelah Rasulullah SAW dan tetap hati-hati. "Ya Rasulullah, kami melihat seolah engkau menanggung penderitaan yang amat berat. Sakitkah engkau ya Rasul?" kata Umar. Saat itu, Rasulullah SAW menyambut Umar dengan senyum. Nabi kemudian menjawab pertanyaan umar sambil menggeleng. "Tidak, wahai Umar. Alhamdulillah, aku sehat," kata Nabi Muhammad SAW.

Umar sedih berat kemudian menahan air matanya dan berkata pelan-pelan meskipun ekspresi Umar terlihat sangat prihatin dan khawatir dengan kondisi Nabi Muhammad SAW. "Mengapa tiap kali engkau menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah sendi di tubuhmu bergesekan? Kami yakin engkau sedang sakit," kata Umar.

Nabi Muhammad SAW kembali tersenyum menanggapi Umar. Namun Nabi menjawab tidak, aku baik-baik saja. Rasulullah mengangkat jubahnya di depan para sahabat, hingga bagian perutnya terlihat. Para sahabat sangat kaget, terkejut dan bahkan sahabat sekuat Umar pun tak sanggup membendung air mata, menangis sedih, tersedu-sedu melihat perut Rasulullah SAW terlihat sangat kempis. Nabi kemudian melilit perutnya dengan kain yang membuntal. Kain tersebut ternyata berisi kerikil untuk mengganjal rasa lapar yang berat. Dalam suasana yang hening para sahabat tidak satupun yang tidak menangis, Rasul menjelaskan kerikil inilah yang menimbulkan suara berisik saat sholat tadi.

Saat itu juga, para sahabat Nabi SAW menangis tersedu-sedan. Tangisan mereka bukan hanya karena melihat Nabi SAW kelaparan, tetapi juga karena rasa bersalah dan ketidakmampuan mereka untuk sepenuhnya meringankan beban junjungan Nabi.  Mereka bertanya dalam hati, "Bagaimana kami bisa menjawab pertanyaan Allah SWT kelak, jika Nabi-Nya, di tengah-tengah kami, mengalami kelaparan? Bukankah kami, para sahabat, telah bersumpah untuk mengorbankan harta benda, bahkan nyawa kami demi beliau?"

Umar sambil mengusap air mata yang merasa sangat kasihan, kembali bertanya pada Nabi Muhammad SAW "Ya Rasul, apakah jika engkau mengatakan sedang lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan menyediakannya untuk engkau?" kata Umar. Rasulullah menutup perutnya dengan jubah. Saat itu, Rasul menatap Umar dan sahabat Nabi lainnya sambil memberikan jawaban.

"Tidak Umar. Aku tahu, apa pun akan kalian korbankan demi aku. Tetapi, apa yang harus aku katakan di hadapan Allah SWT nanti jika sebagai pemimpin aku harus menjadi beban bagi umatku? Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah dari Allah SWT untukku agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia, terlebih di akhirat," ujar Nabi Muhammad SAW.

Jawaban Rasulullah SAW menambah tumpah air mata Abubakar, Usman dan Ali menimbulkan rasa haru pada sahabat Nabi yang menyaksikan. Umar pun tidak memaksa Nabi mengikuti kemauannya. Umar memilih diam dan terus menangis mengusap airmatanya karena kelalaian, ketidak mampuannya memberikan makan Rasul dan membiarkan waktu berlalu sambil menagis pilu, Umar merasa malu dihadapan Allah nantinya bagaimana menjawab ini semua, seorang rasul junjungan kami bisa kelaparan di tengah-tengah kami.

Betapa besarnya pengorbanan dan keikhlasan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW!  Beliau rela menahan lapar dan dahaga yang sangat hebat,  hanya demi umatnya yang tercinta.  Beliau mengutamakan kepentingan umatnya daripada kepentingan pribadi.  Kepemimpinan beliau bukanlah kepemimpinan yang didasarkan pada kekuasaan dan kemewahan, tetapi kepemimpinan yang lahir dari keikhlasan,  pengorbanan,  dan rasa tanggung jawab yang sangat besar.

Para sahabat Nabi SAW, yang menyaksikan sendiri penderitaan yang dialami oleh Nabi mereka,  juga menunjukkan keikhlasan dan kepedulian yang luar biasa.  Mereka rela berkorban harta benda,  waktu,  bahkan nyawa demi tegaknya agama Allah SWT dan kesejahteraan umat. Mereka saling membantu,  saling menguatkan,  dan saling berbagi dalam suka dan duka.  Mereka menyadari bahwa perjuangan menegakkan agama Islam bukanlah perjuangan yang mudah,  tetapi mereka tetap teguh pendirian dan tak kenal menyerah.

Hadirin yang dimuliakan Allah SWT,

Kisah haru biru ini, kisah yang mencengangkan dan meneteskan air mata,  bukan hanya sekadar cerita masa lalu.  Kisah ini merupakan pelajaran berharga bagi kita semua,  khususnya bagi generasi muda seperti kami,  para santri TPA Darul Istiqamah.  Kita harus belajar dari keteladanan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.  Kita harus meneladani keikhlasan,  pengorbanan,  dan kepedulian mereka terhadap sesama.

Dalam kehidupan kita sehari-hari,  kita mungkin sering kali dihadapkan pada berbagai macam cobaan dan tantangan.  Kita mungkin merasa kesulitan,  kecewa,  atau bahkan putus asa.  Namun,  kita harus selalu ingat akan kisah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.  Kita harus belajar untuk tetap teguh pendirian,  sabar dalam menghadapi cobaan,  dan ikhlas dalam berbuat baik.

Meski lapar hingga harus mengganjal perutnya dengan batu, Nabi Muhammad SAW masih melanjutkan aktivitasnya. Usai sholat, Rasulullah SAW menerima tamu seorang pria yang membawa berita dari Abbas. Abbas adalah paman Nabi yang tinggal di Makkah. Tamu yang memacu kudanya siang dan malam tersebut memberi kabar pergerakan Abu Sufyan yang berencana menyerang Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya. Setelah menerima kabar tersebut, Nabi tidak menunjukkan ekspresi yang mencolok. Nabi tak terlihat emosi atau marah hingga bisa terbaca para sahabatnya. Informasi serangan dan rasa lapar tidak mempengaruhi Nabi Muhammad SAW tetap menjadi pemimpin yang tidak ingin memberatkan dan selalu mementingkan umatnya. Sehingga membuahkan hasil Fathun Mekkah Penaklukan Kota Mekah yang Abu Sufyan sendiri menjadi takluk mengikuti Nabi.

Teman-teman seperjuangan yang saya hormati,

Prestasi yang kita raih,  gelar juara yang kita sandang jika menjadi juara,  semuanya hanyalah sebagian kecil dari ujian hidup.  Yang jauh lebih penting adalah keikhlasan kita dalam beribadah,  kepedulian kita terhadap sesama,  dan kesungguhan kita dalam meneladani akhlak Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Semoga kisah haru ini menjadi cambuk bagi kita semua untuk senantiasa berbuat baik, menolong yang membutuhkan, dan selalu mengutamakan kepentingan orang lain. Semoga kita semua dapat meneladani keteladanan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Amin.

Sekian pidato dari saya, mohon maaf apabila ada kesalahan. 

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.