Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

Khazanah pemikiran islam; ISLAMISASI MENURUT ISMAIL ALFARUQI ; Ridwan, MA

BAB I
PENDAHULUAN

Nama besarnya telah membelah perhatian dunia intelektualisme universal. Konsep dan teorinya tentang penggabungan ilmu pengetahuan telah mengilhami berdirinya berbagai megaproyek keilmuan, semisal International Institute of Islamic Thougth (IIIT) di Amerika Serikat dan lembaga sejenis di Malaysia.
Berkat dia pula agenda besar ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ hingga kini tumbuh dan berkembang di berbagai negara, proyek Pan-Islamisme Jamaluddin Al Afghani pun dilanjutkannya, walau hasilnya tak optimal. Itulah antara lain kiprah Ismail Raji Al Faruqi. Sosok cerdik yang sangat dihormati dan disegani berbagai kalangan intelektual dan ilmuwan, Islam dan Barat.
Sudah tiba saatnya bagi cendekiawan muslim untuk meninggalkan metode-metode asal tiru dalam reformasi pendidikan islam. Reformasi pendidikan hendaklah islamisasi pengetahuan modern. Sebagai sebuah disiplin ilmu, maka sains-sains sastra, sosial, dan sains alam harus disusun dan dibangun ulang, diberikan dasar islam yang baru, dan diberikan tujuan-tujuan baru yang konsisten dengan islam. Setiap disiplin ilmu harus dituang kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip islam di dalam metodologinya, di dalam strateginya, di dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, problema-problemanya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.
Keprihatinan Faruqi terhadap kondisi umat Islam yang tenggelam dalam adopsi sistem pendidikan barat, maka menurutnya, tidak ada cara lain untuk membangkitkan Islam dan menolong nestapa dunia, kecuali dengan mengkaji kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini dan keilmuan barat, untuk kemudian mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan li al ‘alamin, melalui apa yang disebut “islamisasi ilmu” yang kemudian disosialisasikan lewat sistem pendidikan Islam yang integral.[1]
Dalam makalah ini akan kami sertakan biografi singkat dari Ismail Raji Al-Faruqi sebagai gambaran tentang latarbelakang kehidupannya, kemudian kami lengkapi dengan pemikiran-pemikirannya dalam islamisasi ilmu pengetahuan, pan-islamisme, dan pluralitas agama.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Biografi Singkat
Ismail Raji Al Faruqi dilahirkan di daerah Jaffa, Palestina, pada 1 Januari 1921, sebelum wilayah ini diduduki Israel.[2] Saat itu Palestina masih begitu harmonis dalam pelukan kekuasaan Arab. Al Faruqi melalui pendidikan dasarnya di College des Freres, Lebanon sejak 1926 hingga 1936. Pendidikan tinggi ia tempuh di The American University, di Beirut. Gelar sarjana muda pun ia gapai pada 1941. Lulus sarjana, ia kembali ke tanah kelahirannya menjadi pegawai di pemerintahan Palestina, di bawah mandat Inggris selama empat tahun, sebelum akhirnya diangkat menjadi gubernur Galilea yang terakhir. Namun pada 1947 provinsi yang dipimpinnya jatuh ke tangan Israel, hingga ia pun hijrah ke Amerika Serikat.
Di negeri Paman Sam itu garis hidupnya berubah. Dia dengan tekun menggeluti dunia akademis. Di negeri ini pula, gelar masternya di bidang filsafat ia raih dari Universitas Indiana, AS, pada 1949, dan gelar master keduanya dari Universitas Harvard, dengan judul tesis On Justifying The God: Metaphysic and Epistemology of Value (Tentang Pembenaran Kebaikan: Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Namun apa yang dicapai ini tidak memuaskannya, sehingga ia kemudian mendalami ilmu-ilmu keislaman di universitas al Azhar Cairo.[3] Sementara gelar doktornya diraih dari Universitas Indiana.
Tak hanya itu, Al Faruqi juga memperdalam ilmu agama di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir selama empat tahun. Usai studi Islam di Kairo, Al Faruqi mulai berkiprah di dunia kampus dengan mengajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada pada 1959 selama dua tahun. Pada 1962 Al Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan, karena terlibat kegiatan Central Institute for Islamic Research.
Setahun kemudian, pada 1963, Al Faruqi kembali ke AS dan memberikan kuliah di Fakultas Agama Universitas Chicago, dan selanjutnya pindah ke program pengkajian Islam di Universitas Syracuse, New York. Pada tahun 1968, ia pindah ke Universitas Temple, Philadelphia, sebagai guru besar dan mendirikan Pusat Pengkajian Islam di institusi tersebut.
Selain itu, ia juga menjadi guru besar tamu di berbagai negara, seperti di Universitas Mindanao City, Filipina, dan di Universitas Qom, Iran. Ia pula perancang utama kurikulum The American Islamic College Chicago. Al Faruqi mengabdikan ilmunya di kampus hingga akhir hayatnya, pada 27 Mei 1986, di Philadelphia.
B. Karya-Karya Ismail Raji Al-Faruqi
Faruqi mewariskan tidak kurang dari 100 artikel dan 25 judul buku, yang mencakup berbagai persoalan; etika, seni, sosiologi, kebudayaan, metafisika, dan politik. Di antara karyanya yang terpenting adalah: Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (1982) (diterjemahkan kedalam bahasa indonesia dengan judul Islamisasi Pengetahuan), A Historical Atlas of the Religion of The World (Atlas Historis Agama Dunia), Trialogue of Abrahamic Faiths (Trilogi Agama-agama Abrahamis), The Cultural Atlas of Islam (1986) (diterjemahkan dengan judul Atlas Budaya Islam; Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang ), Islam and Culture (1980) (Islam dan Kebudayaan), Al Tawhid; Its Implications for Thought and Life (1982), Islamic Thought and Culture, Essays in Islamic and Comparative Studies.[4]
C. Pemikiran Tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Ilmuwan yang ikut membidani berbagai kajian tentang Islam di berbagai negara –Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Mesir, Libya, dan Arab Saudi– ini sangat terkenal dengan konsep integrasi antara ilmu pengetahuan (umum) dan agama. Dalam keyakinan agamanya, ia tidak melihat bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena, katanya, ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yakni Alquran dan Hadis.
Al Faruqi menegaskan tiga sumbu tauhid (kesatuan) untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan. Pertama, adalah kesatuan pengetahuan. Berdasarkan kesatuan pengetahuan ini segala disiplin harus mencari obyektif yang rasional, pengetahuan yang kritis mengenai kebenaran. Dengan demikian tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa sains bersifat aqli (rasional) dan beberapa sains lainnya bersifat naqli (tidak rasional): bahwa beberapa disiplin ilmu bersifat ilmiah dan mutlak sedang disiplin lainnya bersifat dogmatis dan relatif.
Kedua, adalah kesatuan hidup. Berdasarkan kesatuan hidup ini segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan. Dengan demikian tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa disiplin sarat nilai sedang disiplin-disiplin yang lainnya bebas nilai atau netral.
Ketiga, adalah kesatuan sejarah. Berdasarkan kesatuan sejarah ini segala disiplin akan menerima sifat yang ummatis dan kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi kepada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah. Dengan demikian tidak ada lagi pembagian pengetahuan kedalam sains-sains yang bersifat individual dan sains-sains yang bersifat sosial, sehingga semua disiplin tersebut bersifat humanistis dan ummatis.[5]
Dalam kaitannya dengan islamisasi ilmu, maka setiap penelitian dan usaha pengembangan keilmuan harus diarahkan sebagai refleksi dari keimanan dan realisasi ibadah kepadaNya. Ini berbeda dengan prinsip keilmuan Barat, dimana sejak abad 15 mereka sudah tidak berterima kasih kepada Tuhan melainkan hanya pada dirinya sendiri. Mereka telah memisahkan ilmu pengetahuan dari prinsip teologis dan agama.[6]
Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang ia kemas dalam bingkai besar ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’, itu dituangkan dalam banyak tulisan, baik di majalah, media lainnya, dan juga buku. Lebih dari 20 buku, dalam berbagai bahasa, telah ditulisnya, dan tak kurang dari seratus artikel telah dipublikasikan.
Gagasan ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ tak hanya ia perjuangkan dalam bentuk buku, namun juga dalam institusi pengkajian Islam dengan mendirikan IIIT pada 1980, di Amerika Serikat, yang kemudian menerbitkan bukunya dengan judul “Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan” pada tahun 1982.
Tak cukup dengan IIIT saja, ia dirikan pula The Association of Muslim Social Scientist pada 1972. Kedua lembaga internasional yang didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu Sosial Islam.
Berbagai kegiatan ini ia lakukan semata didorong oleh pandangannya bahwa ilmu pengetahuan dewasa ini benar-benar telah sekuler dan karenanya jauh dari tauhid. Maka, dirintislah teori dan ‘resep’ pengobatan agar kemajuan dan pengetahuan tidak berjalan kebablasan di luar jalur etik, lewat konsep Islamisasi ilmu dan paradigma tauhid dalam pendidikan dan pengetahuan.
Al Faruqi memandang dalam prinsip-prinsip pokok metodologi Islam.[7] bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan, yang selanjutnya merupakan prasyarat untuk menghilangkan dualisme kehidupan, dan untuk mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi ummah, maka pengetahuan harus diislamisasikan. Islamisasi pengetahuan harus mengamati sejumlah prinsip yang merupakan esensi Islam. Dan untuk menuang kembali disiplin-disiplin dibawah kerangka Islam berarti membuat teori-teori, metode-metode, prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan tunduk kepada: 1) Keesaan Allah, 2) Kesatuan alam semesta, 3) Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, 4) kesatuan hidup, dan 5) Kesatuan umat manusia.
Rencana kerja islamisasi pengetahuan yang digagas oleh al Faruqi bertujuan untuk 1) penguasaan disiplin ilmu modern, 2) penguasaan khazanah Islam, 3) penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern, 4) pencarian sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu modern, dan 5) pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah Swt.[8]
Sedangkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai proses Islamisasi Pengetahuan adalah menurut Al-Faruqi ada 12 langkah,[9] sebagai berikut: 1) Penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris. 2) Survei disiplin ilmu. 3) Penguasaan khazanah Islam: sebuah Antologi.4) Penguasaan khazanah Islam tahap analisa. 5) Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu. 6) Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern: perkembangannya di masa kini. 7) Penilaian kritis terhadap khazanah Islam: tingkata perkembangannya dewasa ini. Survei permasalahan yang dihadapi umat islam. 9) Survei permasalahan yang dihadapi umat manusia. 10) Analisa kreatif dan sintesa. 11) Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka islam: buku-buku daras tingkat universitas. 12) Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.
Djakfar memandang bahwa langkah-langkah islamisasi ilmu seperti itu intinya adalah upaya untuk mempertemukan khazanah pengetahuan modern ke dalam kerangka Islam. Nampaknya pola pikir seperti ini yang ditantang keras oleh Ziauddin Sardar. Dalam hal ini Sardar bertolak dari paradigma yang berbeda. Bahwasanya bukan Islam yang perlu direlevansikan dengan ilmu pengetahuan modern. Justru sebaliknya, Islamlah yang harus dikedepankan, dalam arti ilmu pengetahuan modern yang dibuat relevan dengan Islam karena secara apriori Islam bersumber dari wahyu membawa kebenaran sepanjang masa.[10]
Lebih jauh Sardar mengemukakan agar pertama sekali yang harus dibangun adalah pandangan dunia Islam (islamic world view) atau agenda yang pertama kali harus dikedepankan bagaimana membangun epistemologi Islam yang berdasarkan al al-Qur’an dan hadits ditambah dengan memahami perkembangan dunia kontemporer.
Husni Rahim lebih jauh memandang bahwa menurut al Faruqi, proyek islamisasi ilmu pengetahuan harus dapat membangun kerangka filosofis baru yang berpusat pada konsep yang paling fundamental, yakni tawhid (keesaan Tuhan). Dalam pandangannya, basis tawhid itu dapat mengatasi sekaligus keterbatasan-keterbatasan, baik yang diderita oleh kerangka keilmuan modern maupun kerangka pemikiran klasik.[11]
Sulfikar Amir dalam menanggapi gagasan-gagasan Al Faruqi berpendapat bahwa keinginan atau obsesi akan bangkitnya kembali peradaban Islam secara jujur lahir dari bentuk romantisisme terhadap sejarah masa lampau. Walau begitu, keinginan itu tentunya sesuatu yang wajar. Bahkan menjadi kewajiban setiap muslim untuk dapat membangun suatu peradaban  yang berlandaskan nilai-nilai Islam.[12] Karena itu, catatan sejarah di atas akan membuat kita lebih bijak dalam melihat ke arah mana kita akan menuju. Satu hal yang jelas adalah sebuah peradaban baru dapat berdiri kokoh jika berhasil membangun suatu sistem pengetahuan yang mapan. Bangkitnya peradaban Islam akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam bidang sains melalui prestasi institusional dan epistemologis menuju pada proses dekonstruksi epistemologi sains moderen yang memungkinkan nilai-nilai Islam terserap secara seimbang ke dalam sistem pengetahuan yang dibangun tanpa harus menjadikan sains sebagai alat legitimasi agama dan sebaliknya. Ini sejalan dengan gagasan islamisasi pengetahuan yang pernah dilontarkan oleh Ismail Raji Al-faruqi.
Mengapa masyarakat Islam perlu melakukan reformasi sains moderen? Bukankah sains moderen telah begitu banyak memberikan manfaat bagi manusia?  Pernyataan ini mungkin benar jika kita melihat tanpa sikap kritis bagaimana sains moderen membuat kehidupan (sekelompok) manusia menjadi lebih sejahtera. Argumen yang masuk akal datang dari Sal Restivo yang mengungkap bagaimana sains moderen adalah sebuah masalah sosial karena lahir  dari sistem masyarakat moderen yang cacat. Secara historispun kita bisa memahami bagaimana sains moderen lahir sebagai mesin eksploitasi sistem kapitalisme. Paul Feyerabend bahkan mengkritik sains moderen sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi, kualitas hidup manusia, dan bahkan kelangsungan hidup bumi beserta isinya.  Dalam kondisisi seperti ini, Islam semestinya dapat menjadi suatu alternatif dalam mengembangkan sains ke arah yang lebih bijak.[13]
Walau begitu, islamisasi pengetahuan adalah sebuah proyek ambisius untuk tidak menyebutnya utopia. Proyek islamisasi pengetahuan yang sarat dengan nilai akan sangat sulit tercapai karena bertentangan dengan dogma sains moderen yang mengklaim dirinya sebagai “bebas” nilai sehingga bersifat netral dan universal. Klaim netralitas dan universalitas sains moderen itu sendiri pada dasarnya bermasalah. Netralitas justru menjadi tempat perlindungan bagi sains moderen dari kritik terhadap berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya. Sementara universalitas tidak lebih dari sekedar alat hegemoni sains moderen terhadap sistem pengetahuan yang lain. Studi sosial dan kultural terhadap sains moderen yang dilakukan beberapa sarjana memberi cukup bukti bahwa sains dan pengetahuan yang dihasilkannya selalu bersifat kultural, terkonstruksi secara sosial, dan tidak pernah lepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Inilah tantangan terbesar bagi saintis muslim dalam upaya membangun sistem pengetahuan yang islami.
Bisa dipahami di sini bahwa Al- Faruqi pada tahap ini masih sebatas menawarkan konsep Islamisasi Pengetahuan. Konsep-konsep tersebut kemudian bergulir di masyarakat muslim dan menimbulkan pro-kontra terhadap ide islamisasi pengetahuan tersebut. Di Universitas Islam Negeri Malang sendiri, searah dengan islamisasi pengetahuan itu, telah dimunculkan konsep pohon ilmu yang akan dikembangkan di kampus tersebut.

BAB III
PENUTUP

Gagasan Islamisasi Pengetahuan yang dilontarkan Ismail Raji al Faruqi patut dicermati oleh segenap cendekiawan muslim sebagai gagasan yang timbul karena sejarah umat islam sendiri yang mengalami pasang surut. Romantisme sejarah seakan menjadi pemicu utama munculnya gagasan ini. Dan kemudian, disinilah perlunya setiap muslim mengenal sejarah kebudayaan Islam.


DAFTAR PUSTAKA
Ziauddin Sardar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam, dalam Jihad Intelektual, terj. Priyono, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h. 44-45

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dan Fundamentalisme Modern hingga Post-Modernism, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 49

M. Bashori, Islamisasi Ilmu, (Jakarta: Harian Pelita, 1991), edisi 24 Nopember 1991

Kamaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: UI Press, 1995),  h. 113

Muhammad Djakfar, 2004, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Memadu Sains dan Agama; Menuju Universitas Islam Masa Depan, (Malang: UIN Press, 2004), h. 83

Husni Rahim, UIN dan Tantangan Meretas Dikhotomi Keilmuan, dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Malang: UIN Press, 2004),  h. 54

Sulfikar Amir. Mahasiswa Program PhD,  Department of Science and Technology Studies Rensselaer Polytechnic Institute, Amerika

Rifyal Ka’bah, Wawasan Islam KeIndonesiaan dalam Konteks Islam Universal, dalam Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), h. 24






[1] Ziauddin Sardar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam, dalam Jihad Intelektual, terj. Priyono, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h. 44-45

[2] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dan Fundamentalisme Modern hingga Post-Modernism, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 49
[3] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam…  h. 49
[4] M. Bashori, Islamisasi Ilmu, (Jakarta: Harian Pelita, 1991), edisi 24 Nopember 1991
[5] Dalam pengantar buku Islamisasi Pengetahuan. ini ditulis untuk menanggapi kenyataan sejarah umat islam yang sejak masa kemundurannya kemudian mengadopsi paham dikotomi ilmu.
[6] Kamaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: UI Press, 1995),  h. 113
[7] Ismail Raji Al Faruqi,  Islamisasi Pengetahuan… h. 55-96
[8] Ismail Raji Al Faruqi,  Islamisasi Pengetahuan… h. 98

[9] Ismail Raji Al Faruqi,  Islamisasi Pengetahuan…  h. 99-116
[10] Muhammad Djakfar, 2004, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Memadu Sains dan Agama; Menuju Universitas Islam Masa Depan, (Malang: UIN Press, 2004), h. 83
[11] Husni Rahim, UIN dan Tantangan Meretas Dikhotomi Keilmuan, dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Malang: UIN Press, 2004),  h. 54
[12] Sulfikar Amir. Mahasiswa Program PhD,  Department of Science and Technology Studies Rensselaer Polytechnic Institute, Amerika
[13] Rifyal Ka’bah, Wawasan Islam KeIndonesiaan dalam Konteks Islam Universal, dalam Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), h. 24

MSI Agama dan Ilmu Kemanusiaan; Ridwan, MA

Tugas Final

Nama                  : Ridwan                Mahasiswa PPs :   Pendidikan Islam II
Mata Kuliah        : Metodologi Studi Islam
Dosen Pengasuh : Prof. Drs. Yusny Saby, MA.Phd          

1.    Apa yang dimaksud dengan "ilmu-ilmu Kemanusiaan" dalam konteks disiplin ilmu-ilmu yang diajarkan di pasca IAIN? Uraikan!.
2.    Sejauh mana disiplin ilmu agama dan kenanusiaan dapat diharapkan untuk memahami lebih konperensif tentang bagaimana kaitan dan relevansi antara " ilmu agama" dengan ilmu-ilmu lain?
3.    Sejauh ini agama (misalnya agama islam) dipahami dan didekati lewat kajian ilu fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, balaghah, qira'ah, dan sejenisnya. Dapatkah pendekatan ini dipertahankan terus atau ada alternative lain yang lebih dapat melengkapi, sehingga agama dapat dipahami sebagai "realitas kehidupan " atau sebagai "hal lain" di luar kehidupan nyata? Uraikan.
4.    Sejauh mana dan bagaimana seharusnya "pemahaman dan pengamalan suatu agama"dapat memberi ethos kepada si pemeluknya?Ada orang yang melandasi hidupnya pada ethos agama, ada juga pada ethos lainnya?jelaskan dan berikan contoh apapun jawabannya.
5.    Bagaimana anda jelaskan ketika ada terma: "membudayakan agama atau meng-agamakan budaya." Apa makna terma tersebut? Mana yang efektif di antara kedusnya dan apa solusi anda.

Jawaban No. 1
Kemanusiaan adalah suatu nilai hidup pada daya akal dan daya rasa manusia. Hasil daripada kegiatan berfikir dan merasa manusia dalam bentuk perbuatan yang disebut cara. Pengertian yang luas meliputi bidang sosial, ekonomi, politik, ilmu dan seni falsafah yang merupakan satu cara hidup yang lahir dan menjelma daripada keimanan. Merangkap segala aspek sosial, politik, ekonomi, dan kesenian Islam. Merupakan manifestasi daripada keimanan dan ketakwaan.
Banyak gejala dan kebiasaan yang perlu kita perbaiki agar segalanya sejalan dengan acuan Islam. Kita tidak boleh memisahkan Islam dari kehidupan. Islam adalah segala-galanya, Islam adalah cara hidup! Bukan hanya Islam ketika majlis akad nikah, majlis bacaan Yaa Sin dan tahlil, ketika kematian, tetapi ia meliputi segala sistem, setiap inci dalam kehidupan dari sekecil-kecil perkara hingga ke sebesar-besarnya.
Tidak semua agama memiliki tuntunan tentang masalah Kemanusiaan. Islam jelas memiliki banyak tuntunan tentang sosial-hukum-politik-ekonomi tersebut, Cuma kadang sering diabaikan oleh orang Islam sendiri. Mengapa? Karena lebih percaya/yakin/iman pada produk-produk ilmuan sosial-politik yang bertebaran di mana-mana. Di sinilah sesungguhnya asal-muasal lahirnya ‘Pemikiran Sekuler’ dalam dunia umat Islam, yakni menolak (kafir) terhadap tuntunan sosial-hukum-politik-ekonomi Islam yang diajarkan Allah swt dan dicontohklan Nabi Muhammad saw dan lebih memilih tuntunan hasil kajian manusia. Siapa yang bisa mengoreksi penyimpangan fatal seperti itu? Mestinya Ulama dan Pemerintah, yang sadar bahwa tuntunan agama (Islam) itu terkait kehidupan sosial-politik juga, yang harus mengoreksi secara mendasar. Mana ada pemerintahan Negara yang dengan lantang akan mengevaluasi ‘kebenaran’ kandungan ilmu sosial-politik yang selama ini secara massif beredar dengan tingkat keyakinan tinggi di negerinya, dianut oleh banyak profesor, doktor, ilmuan, pakar, mahasiswa, untuk dikoreksi dengan ajaran al Qur’an dan Sunnah Nabi?
Iran diberitakan memulai rintisan ke arah itu. Atas perintah Ayatollah Ali Khameini, seorang Ulama besar, Penguasa Tertinggi Iran, maka akan dilakukan koreksi terhadap Kandungan Ilmu Sosial, antara lain: Hukum, Studi Perempuan, HAM, Manajemen, Ekonomi, Filsafat, Psikologi, dan Ilmu Politik. Ilmu-ilmu Sosial tersebut dikatakan akan ditinjau ulang kandungannya karena kajiannya didasarkan oleh budaya barat (Sekuler/ Non-Islam). Kandungan ilmu sosial tersebut akan diselaraskan dengan tuntunan Islam. Ayat al Qur’an dan Sunnah Nabi memiliki banyak tuntunan tentang masalah sosial-politik-ekonomi tersebut. Pemerintah Iran juga akan merombak kandungan kurikulum ilmu sosial yang ada di negerinya. (Lihat Republika 26 Oktober 2010).
Bagaimana Indonesia, masihkah akan memakai hasil kajian ilmu sosial-politik-ekonomi-budaya yang bersumber dari ajaran Barat yang Non-Islam itu dalam praktek pembuatan kebijakan nasionalnya? Manakah Ulama Besar Islam di negeri ini yang bersikap tegas mau mengoreksi kekeliruan ilmu sosial di negerinya untuk disesuaikan dengan tuntunan Islam bidang sosial-hukum-politik-ekonomi demi kejayaan umat dan bangsa.

Jawaban No. 2
Islam sebagai agama yang universal hubungan Agama dan IPTEK adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam adalah yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001). Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya) : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (QS Al-al-Alaq): Dalam konsep ajaran Islam, dipahami bahwa tanpa Ilmu pengetahuan, maka seseoran tidak akan dapat memeiliki ke-imanan. Iman akan lahir dari pengenalan, pemahaman, yang kemudian menumbuhkan keyakinan. “Tidak ada Iman tanpa Ilmu. Dengan demikian kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam menempati posisi tertinggi.

Jawaban No. 3
Setiap masyarakat dalam kehidupannya senantiasa dipenuhi oleh nilai-nilai, aturan-aturan, dan sistem kepercayaan yang mampu membentuk pola berfikir dan berperilaku para anggotanya. Dalam kehidupan sosial, biasanya seperangkat nilai, aturan, dan kepercayaan itu akan teralirkan dari satu generasi ke generasi melalui suatu proses sosialisasi yang pada akhirnya membentuk suatu tradisi di tengah masyarakat. Itu sebabnya, sebagai suatu konsep sosio-logis, tradisi biasa diartikan meliputi pandangan dunia (worldview) yang terkait dengan nilai-nilai, aturan-aturan, sistem kepercayaan, dan pola berfikir masyarakat dalam keseluruhan tata cara hidupnya.
Masyarakat muslim adalah suatu kelompok masyarakat yang dikenal memiliki akar-akar tradisi yang kokoh, karena Islam yang mereka peluk menjadi bagian dari mata rantai sistem kepercayaan universal yang telah ada--mungkin--ratusan abad sebelumnya, sejak masa Nabi Adam. Pandangan ini didasarkan pada penegasan berbagai surat di dalam al-Qur’an, bahwa para nabi dan rasul terdahulu mewariskan paham Ketuhanan Yang Maha Esa (tawhid) kepada umatnya masing-masing sebagaimana Nabi Muhammad mengajarkannya pada umat Islam. Kokohnya akar tradisi ini juga dikarenakan al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang Islam agar menjadikan tawhid sebagai titik temu (kalimah sawa’) dan pandangan hidup bersama di antara sesama agama samawi. Dengan kata lain, Tuhan menegaskan kepada umat Islam agar terus menghidupkan tauhid itu sebagai akar-akar tradisinya, yang menjadi sumber nilai, aturan, norma, dan landasan kepercayaan hidup di berbagai fase sejarah dan dalam sistuasi sosio-kultural apapun.
Bagi umat Islam, tauhid memang merupakan kesadaran beragama yang paling fundamental, sehingga aktivitas apapun dalam kehidupan mereka harus senantiasa dinafasi oleh prinsip dan semangat tersebut. Dalam banyak literatur sejarah disebutkan bahwa keberhasilan umat Islam mengembangkan dakwah dan kekuatan peradabannya pada abad ke 7–14 M. tidak terlepas dari kuatnya semangat mereka untuk mempertahankan citra tauhid tersebut. Sebaliknya, ketika pamor peradaban Islam pada akhir abad pertengahan telah meredup, bahkan sebagian orang mungkin menganggapnya telah mati, maka tidak sedikit para ahli dunia Islam yang melihat salah satu faktornya ialah karena melemahnya kekuatan tauhid itu dalam kesadaran hidup masyarakat muslim.
Sebagai pandangan dunia yang ditawarkan oleh Tuhan sendiri, tentu di dalam tauhid itu terdapat kekuatan yang maha dahsyat, apabila sejumlah nilai, ajaran, dan semangat yang ada di dalamnya dilaksanakan sepenuhnya dan sungguh-sungguh. Selain itu, Islam sebagai suatu agama yang secara tegas mendeklarasikan tauhid sebagai fondasi keimanan juga menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup seluruh umat manusia, ketika seluruh ajaran-ajarannya dilaksanakan secara konsisten. Perkembangan masyarakat muslim, sebagaimana ditengarai oleh para pemerhati dunia Islam, setidaknya bisa dijadikan saksi sejarah mengenai relevansi pandangan dunia tauhid sebagai kekuatan dalam peradaban umat manusia.
Bagi umat Islam, semangat tauhid yang terkemas dalam ungkapan persaksian berbentuk negasi-konfirmasi (la ilaha illallah, yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah) seharusnya memang dapat menjadi kekuatan mereka dalam menjawab berbagai tantangan sejarah dan problematika sosial, sebab ia memiliki makna esensial, yaitu membebaskan manusia dari berbagai bentuk otoritas dan petunjuk yang datang dari selain Allah.
Dengan mengatakan la ilaha illallah, maka yang semestinya ada dalam kesadaran seseorang adalah, bahwa hanya Allah yang memiliki kemutlakan dan segala bentuk nilai atau kualitas yang bukan milik-Nya adalah nisbi. Dengan kata lain, tauhid menghendaki kepada setiap muslim agar menjadikan Allah semata sebagai pusat kesadaran spiritual, individual, sosial, moral, maupun intelektualnya. Kesetiaannya kepada Allah seyogyanya melampaui segala-galanya. Ketaatan, kepasrahan, cinta, pengabdian, dan kemauan yang keras semuanya dialirkan sejalan dengan kehendak dan tuntunan-Nya.
Al-Faruqi setidaknya menemukan dalam pandangan dunia tauhid itu adanya tiga prinsip dalam memahami realitas, kebenaran, dan sejarah umat manusia. Pertama, bahwa yang ada (being) atau realitas itu secara umum hanya terdiri dari dari dua jenis, yaitu Tuhan dan selain Tuhan. Di dalam Islam, realitas yang pertama sudah jelas, Dia adalah Allah yang Mahamutlak, Mahakuasa, Mahaesa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Sedangkan realitas selain Tuhan yang dimaksudkan adalah segala ciptaan-Nya yang bersifat materi maupun immateri seperti manusia, tumbuhan, hewan, tata surya, jin dan malaikat, surga dan neraka, serta segala sesuatu yang bersifat menjadi, karena apa pun esensinya mereka itu adalah ciptaan. Dalam perspektif tauhid, kedua jenis realitas tadi sejauh menyangkut wujud, ontologi, atau eksistensinya adalah mutlak berbeda, sebab Pencipta secara ontologis tidak dapat dirubah menjadi makhluk, dan sebaliknya makhluk juga tidak dapat melampaui dan merubah dirinya menjadi atau merasa sebagai Pencipta. Inilah yang dimaksudkan oleh al-Faruqi dengan prinsip dualitas.
Kedua, Di antara kedua jenis realitas tersebut terdapat hubungan yang bersifat maknawi yang mensyaratkan adanya kekuatan pemahaman pada diri manusia untuk memahami kehendak mutlak Tuhan yang tertulis di dalam wahyu (al-Qur’an) maupun yang hanya dapat diketahui melalui pengamatan terhadap alam semesta. Manusia untuk keperluan ini sudah dibekali oleh Tuhan dengan suatu faklutas pengetahuan yang memiliki fungsi-fungsi gnosiologis seperti mengingat, membayangkan, membuat alasan, melakukan pengamatan merasakan, memahami, dan seterusnya. Inilah yang dimaksudkan dengan prinsip ideasional.
Ketiga, melalui pemahaman terhadap kehendak mutlak Tuhan yang tertulis dalam firman-Nya maupun yang terbentang nyata di alam raya seorang muslim diharapkan dapat menangkap hakekat makro-kosmos yang tidak lain adalah adanya tujuan (teleologis) yang mendasari keberadaannya. Bahwa segala yang ada dan gerak-gerak di alam semesta ini terlaksana demi melayani tujuan Penciptanya dan melakukannya sesuai rencana-Nya. Tanpa adanya prinsip teleologis tersebut maka tidak mungkin adanya segala sesuatu di alam ini berada pada kondisinya yang teratur, memiliki jarak dan ukuran yang tepat, serta sesuai dengan atau memenuhi kebutuhan manusia sepanjang sejarahnya. Atas dasar prinsip ini pula dunia disebut dengan “kosmos”, yakni ciptaan yang teratur, bukan “kekacauan”. Tertib di alam semesta ini, dalam logika kalam kaum Mu’tazilah, memberikan gambaran yang nyata tentang adanya ‘inayah al-Ilahiy yang dipandang sebagai manifestasi dari keadilan Tuhan kepada manusia. Jika demikian, maka harus pula disadari oleh setiap insan tauhid bahwa pemahaman terhadap hukum kosmos pada prinsipnya merupakan suatu keniscayaan guna menangkap pola-pola tujuan, kehendak, dan keadilan Tuhan yang menyatu dalam hakikat segala sesuatu di alam raya.
Al-Qur’an sejak 15 abad yang lalu menegaskan, bahwa penciptaan alam semesta dan pada segala sesuatu yang ada di dalamnya terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya. Satu di antara sekian banyak tanda-tanda itu adalah, bahwa alam semesta dalam realitasnya menampakkan adanya keterkaitan di antara unsur-unsurnya yang membentuk jaringan kesatuan dan kesimbangan melalui hukum-hukum kosmos. Jaringan kesatuan dan keseimbangan antar-anasir alam itu misalnya dapat kita saksikan dalam rotasi benda-benda angkasa yang beredar sesuai dengan orbit atau lintasannya. Bumi yang menjadi tempat tinggal makhluk hidup dan tata surya lainnya masing-masing bergerak saling mengitari pusatnya sejak milyaran tahun yang lalu. Sampai saat ini mereka masih saja beredar sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku bagi dirinya tanpa ada penyimpangan sedikitpun.
Menurut Ibnu Rusyd, saling keterkaitan dan kesesuaian hukum-hukum kosmos yang berlaku di alam itu meniscayakan adanya pencipta (fa’il) yang menghendaki tujuan tersebut, sebab tidak mungkin adanya kesesuaian itu terjadi secara kebetulan. Selain itu, seperti penuturan al-Faruqi di atas, al-Kindi jauh sebelumnya pernah menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tidak ada yang tercipta secara sia-sia dan bergerak tanpa adanya tujuan. Semuanya, menurut filosof muslim pertama di dunia Arab itu, tercipta dan bergerak sesuai dengan Hikmah al-Ilahiy dan ‘Illah Gha’iyah (sebab tujuan) tersebut, yakni Tuhan itu sendiri. Dari sini, dapat dipahami bahwa saling keterkaitan antar-anasir alam yang membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos itu tidak lain merupakan manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya, yaitu Allah Swt.
Oleh karena itu, bagi umat Islam semangat untuk menemukan kebenaran melalui ilmu pengetahuan dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kesadaran tawhid. Di sini, Ilmu pengetahuan diposisikan sebagai salah satu pendekatan yang dapat mengantarkan seseorang sampai pada Keesaan Realitas Transenden, sedangkan kesadaran tawhid merupakan paradigma dari metode ilmiah dalam seluruh wilayah ilmu pengetahuan umat Islam. Dengan demikian, relasi agama dan ilmu pengetahuan di dalam Islam bisa diibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda tetapi tidak dapat saling dipisahkan. Penggunaan rasio atau ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Allah Yang Transenden, dari ajaran-ajaran, aturan-aturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang diberitakan kepada manusia melalui wahyu Ilahi. Kecuali itu, ilmu pengetahuan juga dikembangkan dengan mewarisi keseluruhan budaya kemanusiaan setelah dipisahkan benar dari salahnya, baik dari buruknya, atau yang haq dari bathil-nya. Dengan lain ungkapan, sains di dalam Islam sangat memperhatikan agama demikian juga sebaliknya, karena sains merupakan jalan untuk memahami kesatuan realitas kosmos yang telah diberitakan agama.
Dengan kesadaran tawhid dan pendekatan ilmiah itu menjadikan Islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia yang secara gemilang mampu menjembatani wilayah-wilayah peradaban lokal menjadi peradaban mondial. Hal ini sebagaimana dinyatakan Nurcholish, bahwa masyarakat Islam adalah kelompok manusia pertama yang merubah ilmu pengetahuan dari sebelumnya bersifat parokialistik, bercirikan kenasionalan dan terbatas hanya pada daerah atau bangsa tertentu menjadi pandangan dunia yang kosmopolit dan universal. Ini terbukti betapa banyak para ilmuwan kelas dunia saat itu lahir dari dunia Islam yang karya-karyanya menjadi “bidan” bagi kelahiran ilmu pengetahuan dan peradaban Barat modern. Dalam hal ini Komaruddin mengingatkan bahwa filsafat Yunani dan kemajuan kajian ilmiah di Barat merupakan kontribusi penting intelektual muslim yang diakui dalam dunia kesarjanaan.
Tauhid sebagai prinsip yang paling utama dalam ajaran Islam memiliki implikasi yang sangat luas bagi keseluruhan pola dan tata cara hidup masyarakat muslim. Dia bukan saja menjadi kerangka keimanan (frame of faith) bagi umat Islam terhadap Allah Swt., tetapi juga merupakan kerangka pemikiran (frame of thought) dalam menemukan hakikat kebenaran mengenai segala yang ada di alam semesta ini pada seginya yang abstrak, potensial, maupun yang konkret. Dengan demikian, tauhid sebagai kerangka pemikiran merupakan suatu dimensi filosofis tersendiri yang sangat relevan dalam usaha memahami hakikat ilmu pengetahuan.
Pemahaman kembali terhadap hakikat ilmu pengetahuan sangat penting mengingat kehidupan umat manusia dewasa ini sedang berada dalam suatu ironi (keterbalikan) di mana kemiskinan, kelaparan dan kebodohan belum juga segera teratasi; jarak antara si kaya dan si miskin semakin tajam; keadilan dan kejujuran semakin menjadi barang langka; serta kebenaran semakin mudah direkayasa di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Fakta-fakta kemanusiaan ini tidak sejalan dengan cita-cita (das sollen) ilmu pengetahuan, karena semula ilmu pengetahuan dan teknologi itu dikembangkan justru demi upaya pembebasan dan memudahkan manusia dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah hidup mereka.

Jawaban No. 4
  1. Iman sebagai landasan bekerja
Bekerja adalah manifestasi keimanan. Dengan kata lain, poros dari kerja adalah tauhid. Hal ini didorong oleh firman Allah:
قل كل يعمل على شا كلته فربكم اعلم بمن هو اهدى سبيلا
Dalam ayat ini terkandung perintah (amar) yang berarti bahwa hal itu hukumnya wajib dilaksanakan. Ini artinya siapa pun mereka yang secara pasif berdiam diri, tidak mau berusaha untuk bekerja, maka dia telah menghujat perintah Allah, dan sadar atau tidak, sesungguhnya orang tersebut sedang menggali kubur kanistaan bagi dirinya sendiri. Iman kepada Allah mendasari setiap aktivitas kerja seseorang.
Landasan keimanan menghindarkan manusia untuk mengeksploitasi terhadap sumber-sumber alam dengan cara yang melampaui batas. Sesungguhnya rezeki Allah itu melimpah tak terbatas, namun Allah juga menetapkan takaran dan ukuran, sehingga manusia tidak bisa seenaknya saja melakukan eksploitasi melampaui batas. Hal ini bisa terjadi karena sifat manusia yang loba dan cenderung melampaui batas. Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Jika Allah melapangkan rezeki-rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, Padahal Allah mengatur apa yang dikehendakinya dengan ukuran-ukuran”. Oleh sebab itu, manusia harus bisa mengendalikan dirinya, antara lain dengan cara bersyukur yang berarti menyadari karunia Allah yang murah itu sehingga ia mampu bertindak rasional.

  1. Senantiasa Bersyukur
Manusia diperintahkan untuk senantiasa bersyukur atas rezeki yang diperolehnya, bersyukur karena terlepas dari mara bahaya dan dianugerahkan nikmat kehidupan. Manusia tidak boleh menyombongkan diri atas kelebihan-kelebihan yang telah diperolehnya, karena semua itu hanya titipan dari Allah yang diberikan kepadanya. Untuk mewujudkan rasa syukur itu, manusia diperintahkan untuk menunaikan shalat dan berkorban. Dari perspektif psikologis, perasaan bersyukur akan memberi kepuasan pada diri sendiri, selanjutnya akan menghilangkan rasa resah jika memperoleh sesuatu yang dicita-citakan. Islam juga mengajarkan agar manusia melihat ke bawah yaitu mereka yang kurang bernasib baik supaya jiwa mereka tenang. Pengaruh kejiwaan terbesar yang muncul dari rasa bersyukur adalah ketenangan jiwa yang tidak bisa dibeli atau dinilai dengan uang.

  1. Bekerja sebagai kewajiban
Islam mewajibkan manusia untuk bekerja. Bekerja bukanlah bertujuan untuk mendapatkan uang semata sehingga mampu belanja apa saja atau memaksimalkan konsumsi, akan tetapi bekerja merupakan media untuk membuktikan bahwa manusia itu adalah khalifatullah yang patuh mengikuti perintah Allah SWT. Dalam hadis disebutkan, yang artinya “Seseorang yang keluar mencari kayu bakar (lalu hasilnya dijual) untuk bersedekah dan menghindari ketergantungan kepada manusia, itu lebih baik dari seseorang yang meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau pun ditolak. Karena sesungguhnya tangan yang di atas (memberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (meminta).” (HR Muslim).

  1. Berusaha harus halal dan baik
Dalam hadis disebutkan bahwa bekerja mencari rezeki yang halal hukumnya adalah wajib. Ini dimaksudkan agar manusia dengan berbagai unsurnya yaitu jasmani dan rohani dapat hidup secara sehat. Untuk sehat jasmani dan rohani, antara lain makanan harus thayyib dan halal. Thayyib artinya baik, bersih, dan tidak basi, masih valid, dan sebagainya. Ini syarat untuk sehat jasmani. Sementara halal, makanan yang halal adalah syarat untuk menjadi sehat rohani.

  1. Menempuh jalan yang lurus (Sirat al-Mustaqim)
Pada umumnya setiap manusia memiliki tujuan mulia yaitu menjadi manusia bermanfaat dan hidup secara sempurna serta berkecukupan. Banyak ayat al-Quran yang mendorong manusia untuk mencapai kesuksesan dan kebenaran dengan senantiasa beramal baik menuju harapan dan cita-citanya. Dalam mewujudkan cita-cita, manusia harus tetap berpegang teguh pada jalan Allah yang merupakan jalan yang lurus. Allah berfirman yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus”. Jalan lurus yang dimaksud adalah “Jalan yang telah diberi nikmat Allah ke atas mereka, dan bukan jalan yang dimurkai, juga bukan jalan orang-orang yang sesat”.

  1. Berusaha dengan sabar
Sabar merupakan sifat terpuji yang sangat sering disebut dalam al-Quran. Dalam menjalani kehidupannya, manusia tentu akan menghadapi berbagai macam peristiwa, baik peristiwa yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Di antara peristiwa yang menyedihkan seperti kesempitan rezeki, kelaparan, bencana, dan lain-lain. Dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, manusia diminta bersabar. Jika manusia berduka cita menghadapi kesusahan-kesusahan, Allah memerintahkan mereka untuk menunaikan shalat, berdoa kepada Allah dan bersabar. Apabila ditimpa musibah, hendaknya mengucapkan dan menghayati firman Allah: ”Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jua kami kembali”. (QS al-Baqarah: 156).

Jawaban No. 5
Agama yang dibudayakan adalah ajaran suatu agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya sehingga menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang dibudayakannya itu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa membudayakan agama berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan manusia dan untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakekat perwujudan Tuhan.
Seperti dalam mengideologikan agama, pembudayaan suatu agama dapat mengangkat citra agama apabila pembudayaan itu dilakukan dengan tepat dan penuh tanggung jawab sehingga mampu mencer­minkan agamanya. Sebaliknya dapat menurunkan nilai agama apabila dilakukan  dengan tidak bertanggung jawab.
Sedangkan ideologi dan kebudayaan yang diagamakan maksudnya adalah suatu ideologi atau kebudayaan yang mempunyai nilai kebenaranatau dianggap benar atau dapat memberikan kepuasan. Ideologi atau kebudayaan itu diwariskan turun-temurun, disakralkan dan lebih dari itu dipercayainya sebagai doktrin yang harus diikuti. Inilah proses lahirnya agama budaya atau agama ardhi.
Maka dapat dijelaskan bahwa agama (wahyu) dapat dijadikan sebagai ideologi, melahirkan ideologi dan kebudayaan. Akan tetapi agama wahyu itu bukan ideologi dan bukan pula kebudayaan. Ideologi dan kebudayaan dapat merupakan pencerminan dari suatu agama apabila hal itu dilakukan oleh seorang yang taat beragama. Sebaliknya, tanpa wahyu pun manusia dapat menciptakan ideologi dan kebudayaan dan dapat pula melahirkan suatu agama yaitu agama budaya.
Ditinjau dari sumbernya, agama-agama yang dipeluk umat manusia di dunia ini dapat diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu agama wahyu dan agama budaya. Agama wahyu disebut juga dengan agama langit, agama profetis dan revealed relegion. Yang termasuk agama wahyu dapat disebutkan di sini misalnya agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Sedangkan agama budaya disebut juga sebagai agama bumi, agama filsafat, agama akal, non-revealed relegion dan natural relegion. Yang termasuk agama budaya dapat disebutkan di sini misal­nya: Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Shinto dan sebagainya, terma­suk aliran kepercayaan.
Ditinjau dari segi munculnya, agama-agama selain monoteisme murni merupakan hasil kontemplasi manusia, sedangkan monoteisme murni merupakan wahyu dan hasil ciptaan Tuhan (Satu zat yang diyakini keabsolutannya). Ragam agama yang terakhir ini merupakan jawaban dari pertolongan Tuhan terhadap manusia setelah “gagal” mencari kedamaian dan atau kebenaran hakiki melalui indera. Dapat dikatakan bahwa agama monoteisme murni merupakan jawaban yang paling tepat dan final dalam mencari agama serta kebenaran hakiki yang dicia-citakan.
Di sinilah letak urgensinya studi awal terhadap agama; menemukan agama monoteisme murni untuk dipeluk berarti telah memegang kunci kebenaran serta Kedamaian yang sebenarnya, sebab kunci itu milik dan datang dari pemilik kebenaran yang sebenarnya. Dialah Tuhan Yang Satu. Selanjutnya, meyakini, melakukan dan komitmen terhadap ajaran-ajaran agama berarti telah hidup sesuai dengan kehendak-Nya dan berada dalam kebenaran serta kedamaian-Nya. Inilah yang sebenarnya dicari-cari manusia (fitrah).
Bila kita amati secara obyektif, Islam telah memiliki ciri-ciri di atas, baik konsep Ketuhanan, Kerasulan dan ajaran-ajaran yang menunjukkan kesatuan (Tauhid) yang murni. Untuk membuktikan bahwa Islam tidak memiliki ciri-ciri khusus di atas sama sulitnya dengan membuktikan adanya ciri-ciri tersebut dalam agama selain Islam, bahkan tidaklah mungkin. Syarat  mencapai suatu kebenaran dan kedamaian yang sebenarnya haruslah terlebih dahulu mengenal Islam secara tepat dan benar. Kemudian, komitmen terhadap ajaran-ajarannya.
Para linguist bahasa Arab menyatakan bahwa kata “Islam” berasal dari kata “aslama”, berarti “patuh” dan “menyerahkan diri”. Kata ini berakar pada kata “slim”, berarti “selamat sejahtera”, mengandung pengertian “damai”. Orang yang menyatakan dirinya Islam atau berserah diri, tunduk dan patuh kepada kehendak penciptanya disebut “Muslim”. Kedua asal kata Islam yakni “aslama” dan “silm” mempunyai hubungan pengertian yang mendasar. Adanya kata pertama karena kata kedua, adanya penyerahan diri (= kata aslama) karena adanya tujuan hidup damai (= silm).
Terwujudnya suatu “kedamaian” apabila adanya penyerahan serta kepatuhan (Islam) terhadap Sang Pencipta. Dalam hal ini Allah telah berjanji kepada siapa pun yang menyerahkan diri disertai dengan amal saleh, akan mendapatkan kedamaian, sebab dalam penyerahan (Islam) ini terdapat konsekuensi sikap muslim yang logis, tidak pernah gentar, pesimis dan takut dalam hidupnya. Al Qur’an mempergunakan kata Islam di berbagai tempat dengan pengertian yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengarah pemahaman yang sama. Pengertian Islam secara umum: mengandung dimensi-dimensi iman yang tidak dikotori oleh unsur-unsur syirik, tunduk disertai dengan ikhlas hanya kepada Allah, berserah diri disertai dengan amal saleh serta sikap tegar dan optimistis. Jadi pengertian Islam secara lughowi pada prinsipnya: Penyerahan diri secara bulat kepada Allah yang melahirkan satu sikap hidup tertentu.
Para orientalis menyebut “Islam” dengan istilah “Muhammadan-isme” mereka mengasosiasikan sebutan ini dengan sebutan-sebutan bagi agama-agama selain Islam yang dianologikan pada pembawanya atau tempat kelahirannya. Agama Nasrani diambil dari negeri kelahirannya (Nazaret). Kristen, diambil dari nama pembawanya 0esus Kristus). Budha (Budhisme) dari nama pembawanya (Sang Budha Gautama), Zoroaster (Zoroasteranisme) dari pendirinya, Yahudi (Yuda-isme) dari negerinya (Yudea). Namun nama “Is­lam” mengandung pengertian yang mendasar. Agama Islam bukanlah milik pembawanya yang bersifat individual ataupun milik dan diperuntukkan suatu golongan atau negara tertentu. Islam sebagai agama universal dan eternal merupakan wujud realisasi konsep Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi seluruh umat). Istilah “Mohammadanisme” membuka peluang bagi timbulnya berbagai interpretasi serta persepsi terhadap Islam yang diidentikkan dengan agama-agama lain yang jelas berbeda konsepsi.
Sejak awal sejarah lahirnya manusia, terdapat satu bentuk petunjuk yang berupa wahyu ilahi melalui seorang rasul (agama Allah). Agama-agama Allah tersebut pada prinsipnya Agama Islam (= agama yang menyerahkan diri hanya kepada Tuhan Yang Satu). Kalau di sana terdapat perbedaan-perbedaan, karena perbedaan dalam memahami konsep-konsep yang bersifat umum dalam masalah-masalah mua’malah dan bukanlah masalah yang funda­mental.
Mengenai konsep Tuhan Yang Satu dan ajaran penyerahan diri kepada Allah, tetaplah sama. Hubungan semua rasul sejak Adam a.s. sampai Muhammad s.a.w., berdasarkan ajaran yang mereka bawakan, bagaikan mata rantai yang selalu datang berkesinambungan dan merupakan penyempurnaan ajaran sebelumnya sehingga agama Allah tersebut akan mampu menjawab seluruh hajat manusia di pelbagai zaman, kapan dan di mana saja. Mengenai konsep totalitas serta ke-sempurnaan agama Islam maupun keabsahannya dari agama-agama Allah yang lain yang datang sebelumnya.
Keberadaan Islam di Indonesia secara historis tidak terlepas dari sejarah Islam masuk Pertama kali di Tanah Jawa. Menurut salah satu Literatur dengan judul ” Jejak Kanjeng Sunan,  Perjuangan Wali Songo ”(1999)  yang diterbitkan oleh Yayasan Festival Walisongo; dalam sejarah Syeh Maulana Malik Ibrahim menceritakan bahwa masuknya Islam di Jawa Pertama kali dibawa oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim dan sebagai pendiri Pondok Pesantren Pertama di Indonesia.
Menurut buku ” Jejak Kanjeng Sunan,  Perjuangan Wali Songo ”(1999). Para ahli berpendapat bahwa sekitar tahun 1416 M agama Islam sudah mulai dikenal oleh masyarakat Jawa, bahkan menurut sumber Tiongkok, ketika perutusan Tiongkok datang ke Jawa Timur 1413 M, mereka melihat adanya tiga masyarakat, yaitu; 1). Orang – orang Islam yang berpakaian bersih, hidupnya teratur dan makanannya enak-enak. 2). Orang – orang Cina yang pola hidupnya hampir sama dengan orang Islam, bahkan di antara mereka banyak yang sudah muslim. 3). Penduduk setempat yang masih kotor-kotor, tidak bersongkok dan tidak bersepatu.
Pada masa itu, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut animisme dan dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama Hindu/Budha dan berada dibawah pemerintahan kerajaan Mojopahit. Masyarakat menganut struktur  sosial yang berkasta, yaitu kasta sudra, kasta waisya, kasta ksatria dan kasta brahmana. Model masyarakat inilah yang menjadi obyek dakwah para penyebar agama Islam, walaupun mereka bukan orang Jawa asli tetapi mampu mengantisipasi keadaan masyarakat yang dihadapinya.
Sebagaimana sudah menjadi wacana yang amat familiar dalam dunia akademik, Geertz menulis sebuah buku yang amat menggemparkan jagat akademik Indonesia: The Religion of Java. Dalam buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tentang Agama masyarakat Jawa ini, memaparkan tipologi atau kategori agama masyarakat Jawa melalui tiga varian yang disebutnya: Abangan, Santri, dan Priyayi,seperti yang dikutip diatas. Menurut Geertz, tiga varian keberagamaan masyarakat Jawa diambil dari istilah yang digunakan oleh orang Jawa sendiri ketika mendefinisikan kategori keagamaan mereka.
Deskripsi singkat dari tiap-tiap tipologi keagamaan tadi dapat dikemukakan demikian. Pertama, Abangan. Istilah ini didefinisikan oleh Geertz sebagai teologi dan ideologi orang Jawa yang memadukan atau mengintegrasikan unsur-unsur animistik, Hindu, dan Islam. Pengejawantahan dari kelompok sosial Abangan ini dapat dilihat dalam berbagai kepercayaan masyarakat Jawa terhadap berbagai jenis makhluk halus, seperti memedi (suatu istilah untuk makhluk halus secara umum), tuyul (makhluk halus yang menyerupai anak-anak, tapi bukan manusia), lelembut (makhluk halus yang mempunyai sifat kebalikan dari memedi, yaitu masuk ke dalam tubuh manusia dan menyebabkan seseorang jatuh sakit atau gila), dan sebagainya. Kalangan Abangan juga sangat rajin dalam mengadakan berbagai upacara slametan, seperti: Slametan kelahiran, Slametan khitanan, Slametan perkawinan, Slametan kematian, Slametan desa, Slametan Suro (bersih deso).
Kedua, Santri. Geertz mendefinisikan santri sebagai orang Islam yang taat pada ajaran-ajaran atau doktrin agama dan menjalankannya secara taat berdasarkan tuntunan yang diberikan agama. Dengan definisi itu, agaknya kata lain yang lebih cocok untuk menyubstitusi istilah santri adalah Muslim sejati. Berbeda dengan kalangan Abangan yang cenderung mengabaikan terhadap berbagai ritual Islam, kalangan santri ini justru sangat patuh terhadap doktrin Islam dan ritual, dengan titik kuat pada keyakinan dan keimanan.
Tampaknya, dalam penelitian Geertz, tipologi Santri ini juga mempunyai sub-sub tipologi atau subvarian, yaitu ada yang disebut santri konservatif dan santri modern. Santri konservatif atau santri kolot adalah kelompok santri yang cenderung bersikap toleran terhadap berbagai praktik keagamaan setempat yang merupakan warisan nenek moyang, seperti tradisi slametan. Santri konservatif ini juga diindikasikan dengan masih kuatnya mereka berpegang pada rujukan Kitab Kuning dalam kelompok santri konservatif ini. Sementara itu santri modern adalah mereka yang cenderung meninggalkan ritualitas konservatif tersebut.
Ketiga, Priyayi. Geertz mendefinisikan priyayi sebagai kelompok orang yang mempunyai garis keturunan (trah) bangsawan atau darah biru, yakni mereka yang mempunyai kaitan langsung dengan raja-raja Jawa dahulu. Tampaknya, varian ini mengalami pemekaran makna yang cukup signifikan. Saat ini, mereka yang mempunyai status sosial cukup tinggi, baik karena banyak harta atau mempunyai jabatan tertentu, dapat dikategorikan sebagai kalangan priyayi modern. Pengejawantahan dari kelompok sosial priyayi ini dapat dilihat dalam berbagai etiket, seni dan praktik mistik. Etiket di kalangan Priyayi menyangkut bahasa lisan dan bahasa sikap. Bahasa lisan terlihat dari tingkatan bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Sementara itu, aspek seni dan kepercayaan priyayi dinyatakan dalam berbagai manifestasi, seperti yang dinyatakan dalam bentuk tembang atau disebut juga dengan istilah wirama. Adapun aspek mistik merupakan kelanjutan dari aspek seni tadi. Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya praktik mistik ini adalah mencapai kejernihan pengetahuan yang dalam.



MSI agama sempalan, kekerasan modus agama dan peselisishan; Ridwan, MA

Tugas Final

Nama                   : Ridwan
Mahasiswa PPs    : Pendidikan Islam II
Mata Kuliah        : Metodologi Studi Islam
Dosen Pengasuh : Prof. Drs. Yusny Saby, MA.Phd          

1.    Anggapan "sempalan" ada pada setiap agama. Apa yang dimaksud dengan sempalan dalam studi agama? Bagaimana sebaiknya mensikapi "sempalan" ini dalam Islam? Uraikan dengan jelas!
2.    Sebelum sepuluh tahun terakhir ini dunia sangat menaruh harapan pada "Indonesia Muslim" termasuk "Malaisiya Muslim" mereka merasa sudah "jenuh" melihat Muslim Timur Tengah, khususnya Arab yang, persepsi mereka, sangat tidak toleran. Namun perkembangan suasana Indonesia dalam dekade terkhir ini (dengan meningkatnya kekerasan bermotif agama) telah mengubah persepsi tersebut. Bagaimana anda dapat jelaskan gejala ini?
3.    Bagaiamana memahami perbedaan atau persamaan antara sakral dan profane dalam pengamalan agama? Uraikan dengan contoh-contoh praktik di lapangan!
4.    Kalau agama terstruktur seperti yang kita pahami selama ini lambat laun tidak lagi mendapat kepercayaan sebagaian umat manusia, kemana arah pelampiasan spiritual akan akan tersalurkan? Jelaskan dengan rinci!.

Jawaban No. 1
Berbicara tentang "gerakan sempalan" berarti bertolak dari suatu pengertian tentang "ortodoksi" atau "mainstream" (aliran induk); karena gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Tanpa tolok ukur ortodoksi, istilah "sempalan" tidak ada artinya. Untuk menentukan mana yang "sempalan", kita pertama-tama harus mendefinisikan "mainstream" yang ortodoks. Dalam kasus ummat Islam Indonesia masa kini, ortodoksi barangkali boleh dianggap diwakili oleh badan-badan ulama yang berwibawa seperti MUI, kemudian Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU, dan sebagainya.
Istilah "gerakan sempalan" memang lazim dipakai, secara normatif, untuk aliran agama yang oleh lembaga-lembaga tersebut dianggap sesat dan membahayakan.Akan tetapi, definisi ini menimbulkan berbagai kesulitan untuk kajian selanjutnya. Misalnya, apakah Ahmadiyah Qadian atau Islam Jamaah baru merupakan gerakan sempalan setelah ada fatwa yang melarangnya? Atau, meminjam contoh dari negara tetangga, berbagai aliran agama yang pernah dilarang oleh Jabatan Agama pemerintah pusat Malaysia, tetap dianggap sah saja oleh Majelis-Majelis Ugama Islam di negara-negara bagiannya. Bagaimana kita bisa memastikan apakah aliran tersebut termasuk yang sempalan? Ortodoksi, kelihatannya, adalah sesuatu yang bisa berubah menurut zaman dan tempat, dan yang "sempalan"  pun bersifat kontekstual.
Pengamatan terakhir ini boleh jadi menjengkelkan. Dari sudut pandangan orang Islam yang "concerned", yang sesat adalah sesat, apakah ada fatwanya atau tidak. Dalam visi ini, Ahlus Sunnah wal Jama'ah merupakan "mainstream" Islam yang ortodoks, dan yang menyimpang darinya adalah sempalan dan sesat. Kesulitan dengan visi ini menjadi jelas kalau kita menengok awal abad ke-20 ini, ketika terjadi konflik besar antara kalangan Islam modernis dan kalangan "tradisionalis". Dari sudut pandangan ulama tradisional, yang memang menganggap diri mewakili Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kaum modernis adalah sempalan dan sesat, sedangkan para modernis justeru menuduh lawannya menyimpang dari jalan yang lurus.
Kalau kita mencari kriteria yang obyektif untuk mendefinisikan dan memahami gerakan sempalan, kita sebaiknya mengambil jarak dari perdebatan mengenai kebenaran dan kesesatan. Gerakan sempalan tentu saja juga menganggap diri lebih benar daripada lawannya; biasanya mereka justeru merasa lebih yakin akan kebenaran faham atau pendirian mereka. Karena itu, kriteria yang akan saya gunakan adalah kriteria sosiologis, bukan teologis. Gerakan sempalan yang tipikal adalah kelompok atau gerakan yang sengaja memisahkan diri dari "mainstream" umat, mereka yang cenderung eksklusif dan seringkali kritis terhadap para ulama yang mapan.
Dalam pendekatan sosiologis ini, "ortodoksi" dan "sempalan" bukan konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis. Ortodoksi atau mainstream adalah faham yang dianut mayoritas umat -- atau lebih tepat, mayoritas ulama; dan lebih tepat lagi, golongan ulama yang dominan. Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam faham dominan - pergeseran yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang tidak disetujui dicap sesat; gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan faham dominan dan sekaligus merupakan  protes sosial atau politik.
Faham aqidah Asy'ari, yang sekarang merupakan ortodoksi, pada masa 'Abbasiyah pernah dianggap sesat, ketika ulama Mu'tazili (yang waktu itu didukung oleh penguasa) merupakan golongan yang dominan. Jadi, faham yang sekarang dipandang sebagai ortodoksi juga pernah merupakan sejenis "gerakan sempalan". Bahwa akhirnya faham Asy'ari-lah yang menang, juga tidak lepas dari faktor politik. Kasus ini mungkin bukan contoh yang terbaik -- golongan Asy'ari tidak dengan sengaja memisahkan diri dari sebuah "mainstream" yang sudah mapan; faham yang mereka anut berkembang dalam dialog terus-menerus dengan para lawannya. Contoh yang lebih tepat adalah gerakan Islam reformis Indonesia pada awal abad ini (seperti Al Irsyad dan Muhammadiyah) yang dengan tegas menentang "ortodoksi" tradisional yang dianut mayoritas ulama, dan dari sudut itu merupakan gerakan sempalan. Sejak kapan mereka tidak bisa lagi dianggap gerakan sempalan dan menjadi bagian dari ortodoksi? Di bawah ini akan dibahas beberapa faktor yang mungkin berperan dalam proses perkembangan suatu sekte menjadi denominasi. Untuk sementara, dapat dipastikan bahwa penganut gerakan reformis pada umumnya tidak berasal dari kalangan sosial yang marginal, namun justru dari orang Islam kota yang sedang naik posisi ekonomi dan status sosialnya, dan bahwa dalam perkembangan sejarah telah terjadi proses akomodasi, saling menerima, antara kalangan reformis dan tradisional.
Apakah di antara "gerakan sempalan" masa kini ada juga yang berpotensi menjadi "ortodoksi" di masa depan? Tidak satu orang pun yang akan meramal bahwa aliran seperti Bantaqiyah bisa meraih banyak penganut di Indonesia. Perbandingan antara gerakan reformis, apalagi madzhab aqidah Asy'ari, dan gerakan sempalan yang disebut di atas, terasa sangat tidak tepat. Orang Islam pada umumnya merasa (kecuali para penganut gerakan tersebut, barangkali), bahwa mereka secara fundamental berbeda. Tetapi ... apa sebetulnya perbedaan ini, selain perasaan orang bahwa yang pertama mengandung kebenaran, sedangkan yang terakhir adalah sesat? Padahal, aliran tersebut menganggap dirinya sebagai pihak  yang benar, semntara yang lain sesat! Sejauhmana penilaian kita obyektif dalam hal ini?.
Memang di antara gerakan sempalan tadi terdapat aliran yang kelihatannya punya dasar ilmu agama yang sangat tipis. Penganut aliran itu biasanya juga orang yang marginal secara sosial dan ekonomi, dan berpendidikan rendah. Tetapi tidak semua gerakan sempalan demikian. Baik dalam Islam Jama'ah maupun gerakan Syi'ah Indonesia, malahan juga dalam Ahmadiyah dan gerakan tasawwuf wahdatul wujud terdapat pemikir yang memiliki pengetahuan agama yang cukup tinggi dan  pandai mempertahankan faham mereka dalam debat. Mereka sanggup menemukan nash untuk menangkis semua tuduhan kesesatan terhadap mereka, dan tidak pernah kalah dalam perdebatan dengan ulama yang "ortodoks" -- sekurang-kurangnya dalam pandangan mereka sendiri dan penganut-penganutnya. Mereka dapat dianggap "sempalan" karena mereka merupakan minoritas yang secara sengaja memisahkan diri dari mayoritas ummat. Sebagai fenomena sosial, tidak terlihat perbedaan fundamental antara mereka dengan, misalnya, Al Irsyad pada masa berdirinya. Dan perlu kita catat bahwa di Iran pun, Syi'ah berhasil menggantikan Ahlus Sunnah sebagai faham dominan baru kira-kira lima abad belakangan!.
Bagaimana dengan Darul Islam dan gerakan Usrah? Keduanya dapat dianggap gerakan sempalan juga, baik dalam arti bahwa mereka tidak dibenarkan oleh lembaga-lembaga agama resmi maupun dalam arti bahwa mereka memisahkan diri dari mayoritas. Namun saya tidak pernah mendengar kritik mendasar terhadap aqidah dan ibadah mereka. Yang dianggap sesat oleh mayoritas umat adalah amal politik mereka. Seandainya pada tahun 1950-an bukan Republik yang menang tetapiNegara Islam Indonesia'nya Kartosuwiryo, merekalah yang menentukan ortodoksi dan membentuk "mainstream" Islam. Seandainya itu yang terjadi, tidak mustahil sebagian "mainstream" Islam sekarang inilah yang mereka anggap sebagai "sempalan".

Jawaban No. 1
Aksi-aksi kekerasan bermotif agama, ada hal-hal yang menjadi perhatian pengamat, di antaranya, kemunculan politik Islam setelah kejatuhan Orde Baru, berkembangnya faham yang memilih cara-cara kekerasan, terjadinya kekerasan komunal seperti di Ambon dan Poso, serta munculnya beberapa kelompok radikal yang memilih cara kekerasan yang memiliki jaringan nasional, regional, dan global. Selain itu, studi-studi tentang terrorism financing juga memperkuat cara pandang itu, dengan berusaha mengerti bagaimana jaringan global terorisme saling mendukung dari sisi pembiayaan, termasuk dalam kasus Indonesia
Bagaimanapun, munculnya tindakan teror dan kekerasan komunal di Indonesia penting dilihat dari sisi warisan politik masa lalu dan kegagalan konsolidasi demokrasi. Politik yang terbuka berjalan seiring hukum yang bobrok, rendahnya penghormatan HAM, korupsi yang merajalela, dan pemerintah yang bangkrut dan terpecah-belah, serta rumitnya problem sosial ekonomi. Semua masalah ini berakar dalam tubuh pemerintah. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah mengembangkan perang melawan terorisme dari pendekatan yang terfokus di masyarakat ke pendekatan yang terpusat di dalam tubuh sendiri.
pemerintah harus mengontrol berbagai kekuatan dalam tubuh sendiri yang mengeksploitasi cara-cara kekerasan untuk berbagai tujuan politik. Hal itu karena kegagalan aparat keamanan bertahun-tahun mengakhiri teror dan kekerasan komunal bukan saja berasal dari ketidakmampuan menghentikan kekerasan, tetapi lebih karena terpecah-belahnya kepentingan dalam tubuh pemerintah. Bahkan, sudah bukan rahasia lagi kelahiran sejumlah kelompok sipil bersenjata berbendera agama dan suku di Indonesia justru terkait faksi-faksi yang terlibat dalam perebutan kekuasaan. Begitu juga, jatuhnya senjata api dan amunisi ke tangan sipil, bukan saja karena merajalelanya pasar gelap yang melintasi tapal batas negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga bersumber dari stockpile milik aparat keamanan.
Kita harus menelusuri praktik korupsi dengan tindakan terorisme. Sebagai contoh, di daerah konflik, dana pemerintah yang hilang melalui korupsi pejabat dan pengusaha yang menyandarkan diri ke sumber pembiayaan pemerintah mengalir melalui berbagai jalan untuk membiayai kekerasan. Di sini, tindak kekerasan terorisme harus dijelaskan sebagai buah kombinasi antara pejabat yang korup, pengusaha yang mencari untung, dan pelaku teror dengan beragam motif.  UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dapat menjadi dasar untuk melihat kaitan itu. Pemerintah seharusnya menegakkan kedua UU ini dalam kerangka kontra pembiayaan terorisme (countering the financing of terrorism). Investigasi mendalam terhadap hubungan antara terorisme dan korupsi harus dilakukan, dengan melacak sumber pembiayaan setiap tindakan kekerasan itu.

Jawaban No. 1
Sakral dan profan tidak bisa terlepas dari diri manusia. Karena manusia adalah makhluk sosial yang serba berubah dan suka mencoba sesuatu hal yang belum diketahuinya yang biasa juga disebut dengan trial and arror atau mencoba-coba sesuatu. Rasa ingin tahu manusia sampai kepada sesuatu hal yang sakral atau yang dia anggap sakral. Ketika sesuatu itu di luar kemampuannya dan mereka tidak sanggup menembusnya, lalu mereka anggap suci, maka mereka anggaplah itu sesuatu yang sakral, namun apabila masih dapat dijangkaunya, dia menganggap sesuatu itu biasa-biasa saja. Sikap sakral dan profan ini terus menjalar dalam kehidupan manusia, sehingga pemahaman tentang sesuatu yang disakralkan itu menyimpang dari ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Hal ini terjadi disebabkan mereka yang beragama ardhi (bumi) masuk ke dalam agama Islam, namun ajaran-ajaran atai ritual-ritual yang ada di dalam agama mereka terikut dalam praktek ibadah mereka sehari-hari, ditambah lagi dengan pengetahuan umat Islam yang kurang tentang pemahaman akidah sehingga praktek-praketk adat yang salah yang berlaku dikalangan mereka, mereka masukkan dalam praktek ibadah mereka. 
Jadi mereka salah atau keliru dalam memandang sesuatu itu, yang profan dan anggapan mereka adalah suci, itulah yang sakral, dan sebaliknya sesuatu yang sakral dianggap hanya profan (duniawi) saja. Sampai saat sekarang ini sebagian orang atau masyarakat menganggap sesuatu yang sakral itu profan (duniawi), bahkan yang nyata-nyata profan (duniawi) malah mereka menganggapnya sakral. Penghormatan yang berlebihan terhadap seseorang juga merupakan pensakralan yang menyimpang dari ajaran Islam. Pandangan ini sangat keliru sekali dan merupakan pola piker yang salah yang harus dibetulkan.
Sakral adalah sesuatu yang keramat atau suci, sedangkan profan adalah sesuatu yang bersifat duniawi dijadikan sakral. Kadang dalam kehidupan sehari-hari banyakkita jumpai hal-hal yang bersifat sakral dianggap profan dan yang profan dianggap sakral. Kaum sekuler berangkat dari anggapan bahwa agama dan kehidupan duniawi tidak bisa dibaurkan. Dengan demikian, nilai-nilai keagamaan tidak bisa digunakan untuk mengatur kehidupan duniawi. Alasannya sangat klasik, yaitu agama bersifat sakral, sedangkan kehidupan duniawi bersifat profan. Demikian pula sebaliknya, tidak satu pun institusi duniawi, termasuk negara, berhak mengatur kehidupan keagamaan. Tentu saja yang dimaksud dalam hal ini adalah sisi ritual agama itu.
Dalam Islam, tidak ada pandangan tentang pemisahan kehidupan agama dari duniawi, sebagaimana perbedaan antara sakral dan profan. Islam justru merupakan agama yang boleh dikatakan sangat peduli pada kehidupan duniawi (yang profan?). Sebagian besar ajaran Islam berisi cara menata kehidupan duniawi dengan tata nilai agamawi. Para intelektual Islam mana pun pasti mengetahui itu, meskipun belum pasti menghayati pemahaman itu.
Sebagian orang berpandangan bahwa perempuan telah dipenjarakan oleh dunia profan dan dunia sacral, sehinggaga perempuan tidak bisa mengekpresikan keinginannya. Jadi tubuh perempuan itu milik siapa? Milik perempuankah atau milik laki-laki hidung belang? Ketahuilah sesungguhnya kehidupan diawali oleh tubuh perempuan. Bayangkan bila seorang bayi tidak menyusu. Dari mana lagi ia harus mengenal kehidupan? Sejarah payudara, sejarah tubuh perempuan adalah sejarah umat manusia. Tetapi kemudian kehidupan telah memenjarakannya ke dalam dua dunia yang berbeda, dan celakanya keduanya sama-sama tidak menguntungkan, yaitu dunia profan dan dunia sakral.
Dunia sakral atau ‘kesucian’ menjerat perempuan pada proteksi terhadap tubuh karenanya harus ditutupi setiap bagiannya agar tidak tersentuh agar tetap menjadi bersih. Dunia sakral atau kesucian begitu mengagungkan ‘keperawanan’, sebuah tanda mati lambang kejujuran perempuan lajang dalam memasuki perkawinan dan hanya dengan selaput tipis itu para suami mengukur dan menilai kejujuran sang istri. Dunia profan atau kebejatan sebaliknya, mengadili tubuh perempuan sebagai godaan sekaligus hinaan, oleh karena itu bila tubuhnya telihat begitu indah, ia harus ditangkap. Karena dari payudaranya ia meracuni kesusilaan, dari kedua pahanya dan selangkangannya ia membuat lelaki tergiur memperkosa, dan dari tatapan serta bibirnya ia membuat jantung lelaki berdebar keras dan segera meninggalkan istri-istri mereka.
Adapun hal-hal yang bersifat sacral di antranya adalah perkawinan dan hubungan seksual. Perkawinan merupakan kondisi antara dua jenis kelamin manusia yang beradab, suatu hubungan sakral yang seharusnya dijaga dari unsur pengaruh lingkungan yang nuansanya negatif. Orang tua dulu berkata, bahwa setiap pertemuan antara dua jenis manusia, yang bermufakat hendak mendirikan rumah tangga, merupakan suatu niat yang beradab. Hubungan antar mereka dijaga benar dengan rasa kasih sayang yang sangat tinggi, dan tidak dipengaruhi oleh persoalan fisik dan biologis. Bahwa untuk mendapatkan keturunan, kita sepertinya kembali pada nilai seperti hewan, memang sudah merupakan Ciptaan dari Yang Maha Pencipta. Kita termasuk spesis kehidupan didalam bumi, tapi yang diberkati dengan akal, pikiran, kebebasan menentukan keinginan yang berbeda dari makhluk yang mempunyai kesadaran terbatas, sehingga bergerak melalui insting dan bukan intuisi.

Jawaban No. 4
Betapapun sulitnya melanggengkan qiyamullail sambil pula mewujudkan sifat wara’ dan tetap menggeluti dunia ilmu dengan mengarang, menulis dan berkreasi. Betapa menyesalnya ketika aku tidak mampu menyempatkan diri berkhalwat menyendiri bermunajat kepada Allah karena disibukkan oleh urusan mengajar dan berbaur dengan sesama manusia. Betapa lemahnya sifat wara’ ketika dicampuri dengan mencari nafkah untuk keluarga.
Manusia menjalani hidup dengan berbagai kecenderungan dan hasrat. Keduanya merupakan software penting bagi manusia yang telah dianugerahkan oleh Allah swt. Pertanggung jawaban amal manusia di hari akhir, sangat berhubungan erat dengan benar atau tidaknya ia mengarahkan kecenderungan dan hasrat itu. Ketika kecenderungan dan hasrat – atau apapun dengan bahasa yang serupa dengan keduanya – itu hilang dalam diri manusia, maka saat itu pula ia berubah menjadi robot. Setiap orang tentu memiliki cita-cita dan tujuan hidup masing-masing dan ia akan berusaha memenuhi dan mewujudkan cita-cita dan tujuan hidup itu. Apapun motifnya baik yang mengharapkan ridha Allah maupun yang mencintai dunia.
Begitupun kalimat diatas. Kalimat tersebut secara implisit menunjukkan betapa pentingnya menyeimbangkan antara berbagai kecenderungan dalam diri. Seorang ulama salaf shaleh terkemuka, Imam Ibnu Jauzi dalam buku “Shaidul Khatir” mengungkapkan hal tersebut.
Bagi seorang muslim, kecenderungan-kecenderungan ke arah kebaikan tumbuh menjamur seiring berkembangnya pemahaman terhadap Islam. “Cita-citaku adalah keinginan hidup yang tidak terbatas.”, begitu Imam Hasan Al Banna menggambarkan tingginya cita-cita seorang Muslim, baik terhadap diri, ummat dan dien Islam tercinta. Namun tentu cita-cita, kecenderungan dan hasrat tadi harus mampu direalisasi secara adil, proporsional dan seimbang. Sebab kemenangan da’wah tidak hanya disebabkan oleh Qiyamulail dan munajat tanpa menuntut ilmu, bekerja dan berinteraksi dengan manusia.
Sebagai manusia biasa, seorang Muslim memiliki At Tanaazu’ yaitu ketertarikan, hasrat, merindukan atau condong kepada sesuatu. Oleh karena itu antara diri dan nafsunya, timbullah keinginan untuk merealisasikan kecenderungan-kecenderungan tersebut.
Dalam diri seorang Muslim kecenderungan-kecenderungan ke arah kebaikan tumbuh menjamur seiring dengan semakin dalam pemahamannya terhadap Islam. Oleh karenanya disinilah perbedaan antara seorang muslim dengan non muslim, dimana kecenderungan yang hadir selalu dalam bingkai kebaikan dan mengharapkan kedekatan serta keridhaan Allah SWT.
“At Tanaazu’ wa tawaazun fii Hayatil Muslim” ada beberapa kecenderungan pada diri seorang Muslim yang tetap harus dijaga sisi-sisi tawaazun dari kecenderungan-kecenderungan itu. Hal tersebut antara lain : kecenderungan menuntut ilmu, kecenderungan memperbanyak kuantitas dan persentase ibadah, kecenderungan berda’wah dan berjihad di jalan Allah, kecenderungan mencari dan meraih harta yang banyak. Tak pelak lagi semua kecenderungan inilah yang akhirnya bisa mewujudkan kemenangan da’wah bila dipadukan dan diaplikasikan secara baik, adil, bijaksana dan seimbang.
Dalam kecenderungan menuntut ilmu, seorang muslim harus menjaga keseimbangan antara semangat menuntut ilmu dengan menyucikan hati. Keduanya jelas memiliki manfaat yang besar bagi seorang muslim. Namun, bila tidak dijaga keseimbangannya bisa menimbulkan efek yang ekstrim. Melulu menuntut ilmu tanpa menata dan mengelola hati akan membuat hati menjadi keras, menumbuhkan kesombongan dan lambat laun akan meremehkan ibadah. Sedangkan terlalu tekun melunakkan hati akan mewarisi sifat penakut dan malas yang kadang kala membuat orang cepat merasa puas.
Selain itu dalam menuntut ilmu harus pula dijaga keseimbangan antara menuntut ilmu syar’i (hukum-hukum Islam) dengan ilmu lain yang bermanfaat. Karena hakikat ilmu adalah harta kaum muslimin yang hilang maka ambillah dimana pun ia berada. Dalam beribadah kepada Allah swt, seorang muslim harus memprioritaskan pelaksanaan ibadah fardhu, karena ibadah fardhu ini tidak boleh ditinggalkan kecuali ada udzur syar’i. Selain itu seorang muslim juga tidak bisa meninggalkan ibadah-ibdah sunnahnya (sesuai dengan kemampuannya) karena ibadah sunnah merupakan harta karun peninggalan Rasulullah saw yang selalu dicari oleh pemburu kemuliaan dari Allah swt.
Di sisi lain menumbuhkan kemauan yang kuat untuk melaksanakan ibadah adalah syarat awal bagi kelanggengan pelaksanaan ibadah-ibdah tersebut pada hari-hari yang kita lalui. Namun jangan pula terlalu bersemangat beribadah yang akan mengesampingkan hak-hak orang lain disekitar kita, misalnya keluarga kita. Kisah sahabat Rasulullah saw, Abu Darda yang diigatkan – karena terlalu semangat beribadah – bahwa Allah, diri dan keluarga mempunyai hak atas dirinya yang harus dipenuhi secara adil.
Merealisasikan keseimbangan dalam diri adalah sebuah pekerjaan yang sulit. terkadang kita tidak bisa mengetahui apakah kita sudah berada pada titik tengah atau belum. Bahkan kita sendiri tidak mampu menjaga kecenderungan-kecenderungan yang luapannya terlalu besar agar bisa diarahkan pada porsi-porsi yang adil. Malah yang perlu dikhawatirkan bahwa kita terlalu putus asa untuk mewujudkan keseimbangan itu dalam diri kita.
Para sahabat Rasulullah saw telah banyak yang mampu memadukan secara baik dan adil berbagai kecenderungan beramal dalam diri mereka. Lihatlah bagaimana Umar bin Khattab seorang Khalifah yang memimpin ummat, namun kehidupannya begitu zuhud. Perilakunya tegas saat memutuskan sesuatu, tapi di sudut lain ia menangis khawatir keputusannya keliru. Atau seorang tabi’in Imam Baqiy bin Mukhalid yang mengkhatamkan Al Quran setiap malam dalam tiga belas rakaat. Siangnya sholat sebanyak seratus rakaat, melanggengkan puasa dan dikenal sebagai ahli hadits. Disisi lain beliau pernah mengikuti peperangan sebanyak 72 kali.
Walaupun sulitnya keseimbangan itu terwujud, namun hendaknya proses berusaha pada diri kita untuk mewujudkan dan melanggengkan keseimbangan itu tidak pernah pudar. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan kaidah dalam usaha menjaga keseimbangan kita. Pertama, optimalisasi penggunaan waktu dan cita-cita yang tinggi. Permasalahan awal dari ketidakmampuan kita menjaga keseimbangan adalah buruknya manajemen waktu pribadi dan rendahnya kemauan dan cita-cita kita. Jiwa thumuh(dorongan berprestasi) belum merasuk dalam diri kita. Rasa puas dan cukup dengan kondisi keimanan dan kualitas diri sekarang adalah suatu yang harus kita buang jauh-jauh. “akulah jiwa perindu. setiap kali ia sampai pada satu tingkat, setiap itu pula ia merindukan tingkat yang lebih tinggi...” demikian Umar ibn Abdul Aziz menuturkan.
Kedua, mengetahui skala prioritas. Mengetahui urutan amal dan prioritas serta mengklasifikasi berbagaimasalah adalah faktor penting dalam membentuk pribadi tawazun. Dengan adanya skala prioritas akan menghindarkannya dari ketidakteraturan kegiatan. Ketiga, tidak isti’jal (terburu-buru) mengharap terwujud mengharap sesuatu. Menelusuri jalan dengan tidak tergesa-gesa dan berdasar pada ketenangan jiwa yang stabil adalah landasan penting dalam mewujudkan keseimbangan yang dikehendaki. Jarak yang akan  ditempuh ratusan mil oleh seseorang harus dimulai dengan langkah pertama. Memang harus dibedakan antara ketergesa-gesaan dan semangat, militansi dan etos kerja. Oleh karenanya agar semangat yang sudah menggebu dalam diri kita tidak berubah menjadi isti’jal maka harus diimbangi dengan pemahaman dan kesabaran. Keempat, melihat secara utuh setiap persoalan. Setiap orang yang menginginkan keseimbangan dalam hidupnya, ia harus menyelamatkan akalnya dari cara pandang yang parsial, sebab akan melemahkan fungsi akal sendiri. Cara berfikir yang parsial akan mematikan daya kreatifitas manusia dan menyeretnya kepada jalan taqlid serta menghalanginya untuk memperoleh manfaat dari orang lain.
Seorang mukmin, bila diibaratkan seekor elang maka kepakan sayapnya adalah cermin kekhusyu’an, paduan antara keseriusan, kerja keras, kesungguhan dan konsentrasi yang mendalam. Tak adalagi ruang kosong antara idealisme dan realitas, karena ujung tali keduanya telah tersimpul dalam ikatan thumuh. Thumuh mereka telah menjelma menjadi padang luas yang kelelahan mengitarinya. “Bila jiwa itu besar. raga akan lelah mengikuti kehendaknya.




MSI firqah Ahmadiyah dan fenomenanya; Ridwan, MA

Resume: Abu Asiah, Konsep Ajaran Ahmadiyah, (Jakarta: Majalah Fatawa Vol. 06. Th. 2004)
Nama         : Ridwan               Mahasiswa      PPs      :  Pendidikan Islam II
Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam          

Konsep Ajaran Ahmadiyah


(Urdu: احمدیہ Ahmadiyyah) atau sering pula ditulis Ahmadiyah, adalah sebuah gerakan keagamaan Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889, di sebuah kota kecil yang bernama Qadian di negara bagian Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid, al Masih dan al Mahdi.
Ahmadiyah Kelompok Pengekor Nabi Palsu, Ketika Mirza Ghulam Ahmad masih juga belum kembali kepada petunjuk kebenaran, Syaikh Abul Wafa’ mengajaknya ber-mubahalah (berdoa bersama), agar Allah mematikan siapa yang berdusta di antara mereka, dan yang benar tetap hidup. Tidak lama setelah bermubahalah, Mirza Ghulam Ahmad menemui ajalnya tahun 1908M.
Pada awalnya Mirza Ghulam Ahmad berdakwah sebagaimana para da’i Islam yang lain, sehingga berkumpul di sekelilingnya orang-orang yang mendukungnya. Selanjutnya dia mengklaim bahwa dirinya adalah seorang mujaddid (pembaharu). Pada tahap berikutnya dia mengklaim dirinya sebagai Mahdi Al-Muntazhar dan Masih Al-Maud. Lalu setelah itu mengaku sebagai nabi dan menyatakan bahwa kenabiannya lebih tinggi dan agung dari kenabian Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pemikiran dan Keyakinan Ahmadiyah, pertama Meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Al-Masih yang dijanjikan, kedua Meyakini bahwa Allah berpuasa dan melaksanakan shalat, tidur dan mendengkur, menulis dan menyetempel, melakukan kesalahan dan berjimak. Mahatinggi Allah setinggi-tingginya dari apa yang mereka yakini, ketiga Keyakinan Ahmadiyah bahwa tuhan mereka adalah Inggris, karena dia berbicara dengannya menggunakan bahasa Inggris, keempat Berkeyakinan bahwa Malaikat Jibril datang kepada Mirza Ghulam Ahmad, dan memberikan wahyu dengan diilhamkan sebagaimana Al-Qur’an, kelima Menghilangkan aqidah/syariat jihad dan memerintahkan untuk mentaati pemerintah Inggris, karena menurut mereka pemerintah Inggris adalah waliyul amri (pemerintah Islam) sebagaimana tuntunan Al-Qur’an, keenam Seluruh orang Islam menurut mereka kafir sampai mau bergabung dengan Ahmadiyah. Seperti bila ada laki-laki atau perempuan dari golongan Ahmadiyah yang menikah dengan selain pengikut Ahmadiyah, maka dia kafir, ketujuh Membolehkan khamer, opium, ganja dan apa saja yang memabukkan. Kedelapan Mereka meyakini bahwa kenabian tidak ditutup dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi terus ada. Allah mengutus rasul sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Dan Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi yang paling utama dari para nabi yang lain, kesembilan Mereka mengatakan bahwa tidak ada Al-Qur’an selain apa yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad. Dan tidak ada Al-Hadits selain apa yang disampaikan di dalam majelis Mirza Ghulam Ahmad. Serta tidak ada nabi melainkan berada di bawah pengaturan Mirza Ghulam Ahmad.