Total Tayangan Halaman

Selasa, 08 Desember 2015

Filsafat Pendidikan Mede kritik. Ridwan, MA

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam dunia Islam, pemikiran yang menggunakan paradigma positivisme dan empirisme tidak mendapat tempat secara proporsional karena alur pemikiran selama ini masih berpusat pada pemikiran teologikal klasik. Pemikiran positivis-empiris sering dianggap berkonotasi negatif bagi kaum agamawan.[1] Kaum cendikiawan muslim yang berfikiran dengan pendekatan positivis selalu dicurigai sebagai agen orientalis atau bagian dari Barat yang berupaya melakukann sekulerisasi atau westrenisasi.
Bagaimana mungkin kaum cendikiawan muslim mampu membangkitkan gairah intelektual jika tidak mau menggunakan pendekatan yang positivis-empiris dan juga rasional. Walaupun kita berhak mengkritisi dua pendekatan tersebut. Bukankah dalam epistemologi Islam ada trilogi sumber penegtahuan, yaitu bayani, irfani dan burhani yang juga memasukkan pendekatan rasional dan empiris. [2]
Apapun yang selama ini selalu kita banggakan sebagai bentuk “romantisme sejarah”, gerak laju perubahan dan perkembangan pemikiran dalam Islam belum bisa mencapai proses renaisans dan aufklarung. Salah satu penyebabnya, umat Islam belum membudayakan tradisi “kritik epistemologis” (epistemological critique) dalam menalar keilmuan secara filosofis-rasional. Kaum teolog dan fuqaha Islam klasik yang masih mendominasi pemikiran Islam dengan memenangkan atas pemikiran yang filosofis menyebabkan hilangnya gairah intelektual kritis dan konstruktif. Hal ini menyebabkan umat Islam tidak mampu membedakan mana aspek yang dianggap normatif dan mana saja yang dianggap sebagai pemikiran manusia biasa yang sebenarnya masih bersifat relatif dan perlu pengujian histories, maka sangat penting Dalam makalah ini penulis mebahas Epistemologi Islam Metode Naqdi (kritik).


















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian
Metode naqdi (kritik) yaitu metode untuk menggali pengetahuan dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi ilmu kemudian menawarkan solusi-solusinya. Metode ini bisa dikatakan dengan washiyah atau nasehat, sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-'Ashr ayat 1-3
ÎŽóÇyèø9$#ur ÇÊÈ ¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ
Artinya: 1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

B.  Tradisi Kritik Epistemologi
Tradisi kritik epistemologi adalah model yang pada gilirannya telah membuka landscape pemikiran baru dalam perkembangan pemikiran yang bercorak empiris dan historis dalam hubungannya dengan realitas masyarakat. Upaya ini lebih mendamaikan polarisasi antara sains modern yang didominasi dan dikuasai Barat dengan wacana keIslaman yang masih berada pada titik inferioritas peradaban global.[3]
Kritik epistemologi, adalah berangkat dari proses “obyektivikasi Islam” yang pernah digagas oleh Kuntowijoyo. Upaya obyektivikasi Islam merupakan proses dinamisasi agama yang diarahkan menuju pada ilmu yang kemudian terjadi dialektika antara agama dengan sains modern. Sebenarnya, langkah dan strategi Islamisasi ilmu lebih mengarah pada dehegemoni pengetahuan Barat. Dalam wilayah ilmu-ilmu sosial, hal demikian sangat memungkinkan karena sesungguhnya ilmu-ilmu Barat yang selama ini sudah mapan adalah upaya Barat sendiri untuk “menguasai” pengetahuan yang lain. Dengan klaim universalitas dan obyektivitas Barat ingin “meniadakan” ruang-ruang bagi kemungkinan kebenaran ilmu dari yang di luar Barat. Ada campuran kepentingan antara penmgetahuan, ideologi, dan kekuasaan yang merupakan bagian kolonialisme Barat.[4]
Pada dasarnya epistemologi adalah cara untuk mendapatkan yang benar. Nilai kebenaran akan lebih baik dan lebih tepat apabila dilandasi dengan upaya pemahaman kritis. Krititisme adalah sebuah pendekatan kritik epistemologis yang merupakan pemikiran dari Immanuel Kant (1724-1804 M).[5] Kant menganggap aufklarung adalah sebagai “jalan keluar” untuk membebaskan manusia yang masih menggantungkan diri pada otoritas di luar dirinya. Kant menyatakan bahwa harus ada upaya untuk menentukan batas-batas kemampuan dan syarat kemampuan rasio agar kita bisa menentukan apa yang mungkin kita ketahui, kita kerjakan, dan kita gantungi harapan. Inilah kritisme yang dimaksud Kant.
Pemahaman Islam layak untuk dikritisi agar maknanya bisa didekati secara rasional menurut kebutuhan masa kini.[6] Menurut tahapannya jenis pengetahuan itu ada tiga macam, yaitu : ontologi (apa), epistemologi (bagaimana), dan aksiologi (untuk apa). Keterkaitan itu akan saling memberikan makna. Ontologi akan menentukan epistemologi; epistemologi juga menentukan aksiologi. Epistemologi adalah proses utamanya.
Epistemologi kemudian terbagi menjadi tiga, yaitu : empiris, rasional, dan intuitif. Pendekatan empiris menekankan pada pencapaian ilmu melalui data dan fakta yang ada dalam wilayah empirik. Sedangkan pendekatan rasional mengambil ilmu melalui akal budi dan rasio manusia bahwa sesuatu itu bisa dinalar dan dipahami. Sedang intuitif lebih melihat pada kemampuan “rasa” diri manusia atau melalui wahyu dan intuisi di luar dirinya. Dalam Islam, epistemologi seperti ini dirangkum oleh para cendekiawan muslim, yang kemudian dikembangkan oleh M. Abed Al-Jabiry, menjadi: Bayani, ‘Irfani, dan Burhani. Bayani (deskriptif) itu mirip dengan empirik, ‘Irfani itu mirip dengan intuitif, dan Burhani itu bisa disamakan dengan rasional.[7]

C.      Kritik Al-Ghazali Terhadap Filsafat
Kritik al-ghazali terhadap filsafat tertumpu atas penyimpangan para filosof yang mempunyai pemikiran yang dapat menyesatkan.Kira-kira satu generasi setelah Ibnu Sina, tampil al-Ghazali, seorang pemikir yang dengan dahsyat dan tandas mengkritik filsafat, khususnya Neo-platonisme al-Farabi dan Ibnu Sina. Beliau diakui sebagai salah seorang pemikir yang paling hebat dan paling orisinal tidak saja dalam Islam tapi juga dalam sejarah intelektual manusia, al-Ghazali, di mata banyak sarjana modern Muslim maupun bukan Muslim, adalah orang yang sangat berpengaruh dalam perkembangan ajaran Islam.[8]
Al-Ghazali juga dikenal sebagai seorang yang mengkritik filsafat dalam karyanya Tahafuz al-Falasifah. Dengan banyak alasan, beberapa tokoh pemikir Islam menyatakan bahwa salah satu faktor kemandegan produktifitas pemikiran ummat Islam pada masa klasik adalah pengaruh dari kritik tersebut. Adalah menarik untuk mengkaji kritikan al-Ghazali terhadap filsafat. Makalah ini akan menguraikan tentang beberapa masalah yang menjadi fokus kritikan al-Ghazali terhadap filsafat.[9]

1.    Kritik Terhadap Persoalan Metafisik
Al-Ghazali menolak kompetensi “filosofik” untuk memahami kebenaran-kebenaran metafisis. Bagian yang signfikan dari pengetahuan tentang hal-hal seperti kenabian dan psikologis spritual baginya hanyalah kebenaran pinjaman yang diambil dari nabi dan orang suci.[10] Al-Ghazali berusaha membuktikan keterbatasan metode “filosofik”. Dia berpendapat bahwa ilmu-ilmu metafisis para filosof di tercemari oleh kesesatan-kesesatan dan ketidak-konsistenan.[11] Kekeliruan dan ketidak-konsistenan ini, kata al-Ghazali memperlihatkan kemustahilan mencapai keyakinan akan kebenaran-kebenaran metafisis melalui “filosofik”. Tiga pikiran filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat bertentangan dengan Islam, dan karena itu para filosof harus dinyatakan sebagai orang ateis, ialah; "Qadimnya Alam".
Para Filosof berbeda pendapat tentang eternitas (kekekalan) alam. Tetapi kebanyakan filosof, yang terdahulu maupun selanjutnya, menyetujui pendapat bahwa alam ini kekal (qadim); dan (sepakat) mengatakan bahwa alam ini selalu ada (mawjud) bersama Allah SWT serta terjadi bersamaan dengan-Nya, sebagai akibat ada-Nya,secara temporal- sebagaimana kebersamaan temporal sebab akibat, dan sebagaimana (kebersamaan) cahaya dengan Matahari. Dan keterdahuluan Allah atas alam ini, bukan secara temporal adalah keterdahuluan zat atau esensi-Nya- sebagaimana keterdahuluan sebab atas akibat.
Menurut Plato “alam ini temporal”. Tetapi beberapa (filosof) memberi interpretasi yang berbeda denga Plato, dengan menolak bahwa alam ini temporal (hadis).Dalam karya Galen, (berjudul) “Bagaimana keyakinan Galen” diterangkan bahwa Plato pada akhir hayatnya cenderung bersikap netral dalam masalah tersebut.[12] Dia beralasan, barangkali karena karakter alam ini memang mustahil dikaji- bukan karena sifat- kurang pada alam itu sendiri, melainkan lebih disebabkan rumitnya masalah, yang memang merupakan karakter khasnya, yang memusingkan pemikiran.


a.       Alasan pertama
Sesuatu yang temporal (hadis) mustahil terjadi dari suatu yang eternal, kekal (qadim). Karena, seandainya kita, misalnya mengandaikan yang eternal (al-qadim) itu sudah ada pada suatu masa, mengapa alam ini belum muncul (ada), maka alasan mengapa alam belum muncul itu harus disebabkan belum adanya faktor penentu (murajjih) bagi eksistensinya; dan karena eksistensi alam ini tidak lain hanya sekedar kemungkinan semata (artinya bisa muncul dan bisa tidak muncul). Maka, ketika alam ini terwujud, tentu kita harus memilih dua alternatif; yaitu apakah faktor penentu tersebut telah, atau belum muncul. Seandainya faktor penentu belum muncul, tentu alam ini masih dalam kemungkinan semata sebagaimana ia ada sebelumnya. Tetapi seandainya faktor penentu itu telah muncul, maka siapa yang mula-mula yang memunculkan faktor penentu itu sendiri; dan mengapa ia baru muncul sekarang, bukan sebelumnya? Nah munculnya faktor penentu itu sendiri sekarang menjadi masalah.[13]
Demi terincinya argumen di atas mari kita pertanyakan: mengapa Tuhan tidak menciptakan alam ini sebelum waktu penciptaannya? Tidak mungkin dijawab, karena Tuhan tidak mampu menciptakan alam, atau karena alam ini mustahil untuk diciptakan, sungguh jawaban ini hanya memberi arti bahwa Tuhan telah berubah dari lemah menjadi kuasa, dari yang tidak mampu menjadi mampu. Kedua jawaban itu mustahil bahkan sangat tidak mungkin untuk mengatakan bahwa “Tuhan bermaksud menciptakan alam sebelum waktunya, dan maksud tersebut baru muncul kemudian. Tidak mungkin juga mengatakan bahwa “tidak terciptanya alam ini sebelum penciptaannya secara aktual dari satu sisi, karena tidak adanya sarana, dan di sisi lain karena adanya sarana itu sendiri. Tetapi paling mudah untuk di bayangkan adalah perkataan bahwa Tuhan tidak menghendaki adanya alam ini sebelum ia ada. Masalahnya, dengan perkataan ini seseorang harus juga mengatakan bahwa “ adanya alam ini merupakan produk dari setelah Tuhan menghendaki keberadaannya, dimana sebelumnya Tuhan tidak menghendaki adanya alam ini.
Apabila alam (wujud temporal) dianggap ada karena diciptakan oleh Allah, pertanyaannya: mengapa baru sekarang dan mengapa bukan sebelumnya, apa karena tidak ada sarana, atau tidak ada kekuasaan. Jelaslah bahwa terjadinya (prosesi) wujud yang temporal (hadis) dari wujud yang kekal (qadim) adalah mustahil, kecuali terjadi perubahan pada wujud yang kekal itu, dalam ketentuan, sarana, waktu, maksudnya, tetapi itu mustahil. Dan mustahil mengandaikan wujud yang kekal berubah-ubah. Karena perubahan yang temporal sama dengan perubahan yang lainnya. Sekarang ternyata alam selalu ada, dan kenyataan temporal telah pula terbukti, yang berarti bahwa kekalnya (eternitas) alam ini tidak mustahil.

1). Jawaban al-Ghazali
Bagaimana cara anda menolak(orang) yang berkata bahwa alam ini muncul karena kehendak eternal(iradah qadimah) yaitu kehendak yang menetapkan eksistensi, wujud (alam) pada waktu diwujudkannya? Kehendak yang menetapkan ketidakwujudan alam ini berakhir sebagai yang terakhir, kehendak yang menetapkan eksistensinya alam ini berawal dimana secara aktual tercipta. Maka, berdasarkan pandangan itu, wujud alam bukan merupakan obyek dari kehendak yang kekal, sebelum alam benar-benar tercipta. Dan juga karena alam ini bukan perwujudan, tetapi hanya obyek dari kehendak kesesatan semata, ketika ia tercipta. Lalu apa yang mencegah kita dari keyakinan demikian, atau apa pula kontradiksi yang dikandungnya?
Sebelum menciptakan alam ini, Tuhan yang berkehendak telah ada, dan kehendak pun telah ada, bahkan hubungan kehendak dengan obyeknya pun telah ada. Kehendak Tuhan tidak merupakan suatu yang temporal. Karena tiap sesuatu selalu berubah, bagaimanakah caranya obyek itu muncul sebagai sesuatu yang temporal. Apakah yang menghalagi kehendak itu untuk mencipta sebelum ia mencipta secara aktual?[14]

b.      Alasan kedua
Tuhan mendahului alam (mendahului menurut zat (pribadi), bukan waktu, seperti satu mendahului dua, berdasarkan kebiasaan, meskipun bisa saja kedua-duanya ada bersama-sama dalam wujud zamani (menurut waktu); atau Tuhan Mendahului , seperti mendahului sebab dari akibat (kausalitas), seperti mendahului gerakan seseorang dari gerakan bayangannya. Bayangan bergerak karena bergerak seseorang, meskipun kenyataannya kedua gerakan itu simultan (sekaligus waktunya), artinya sama-sama mulai atau sama-sama berhenti. Apabila yang dimaksud dengan terlebih dahulu Tuhan dari alam, maka kedua-duanya harus temporal atau kedua-duanya harus eternal. Mustahil salah satu eternal sedangkan yang lain temporal.
Apa yang dimaksud dengan perkataan ”Tuhan mendahului alam dan waktu” menurut waktu, maka sebelum adanya alam dan waktu, ada sebuah waktu ketika alam belum ada. Pada waktu (pra wujud) itu, alam harus tidak ada (‘adam), karena ketiadaan mendahului kepribadian (wujud, eksistensi). Dan oleh karena itu, Tuhan harus telah mendahului alam pada suatu masa yang terbatas. Tapi tak pernah bermula.jadi, dalam pandangan ini, harus ada sebuah waktu yang tak terhingga sebelum waktu itu ada. Tetapi ini jelas bertentangan.
Dengan perkataan lain. Sebelum terjadinya alam wujud sudah ada waktu yang tidak ada ujungnya, dan ini adalah suatu yang berlawanan, sebab kalau ada batas pada salah satu ujungnya, maka harus ada batas pula pada ujungnya yang lain, begitu juga sebaliknya. Maka tidak mungkin mengatakan temporalnya alam.[15]

1). Jawaban al-Ghazali
Waktu (az-zaman) mempunyai sebuah permulaan, dan ia diciptakan. Dan sebelum ada waktu, sama sekali tidak ada waktu. Ketika ada Perkataan “Tuhan mendahului alam dan waktu” dimaksukan bahwa Tuhan ada sendirinya, sedangkan alam tidak ada (artinya terbatas pada adanya zat pencipta dan tidak zat alam), kemudian Tuhan ada dan alam ada bersama-sama dengan-Nya (artinya terbatas pada adanya dua zat itu). Dengan terlebih dahulu Tuhan dimaksudkan hanyalan zat-Nya (sebelum eksistensi alam).[16]


c.       Alasan ketiga
Setiap yang temporal/baharu pasti didahului oleh materi (bendanya), yang berada di dalamnya. Sesuatu yang temporal selalu tergantung pada materi, meskipun materi itu bukan yang temporal. Sesungguhnya Yang temporal itu hanyalah bentuk-bentuk (surah/form), aksiden-aksiden (a‘rasifat-sifat), dan kualitas-kualitas yang terjadi pada materi. Alasannya; Setiap yang temporal, sebelum menjadi temporal, harus berupa kemungkinan, atau ketidak-mungkinan,atau keniscayaan (mungkin wujud, tidak mungkin wujud, wajib wujudnya).[17] Tetapi mustahil adanya itu merupakan ketidak-mungkinan, karena ketidak-mungkinan (fi zatihi) tidak benar-benar ada. Dan mustahil adanya merupakan keniscayaan (li zatihi), karena keniscayaan tidak pernah tidak ada. Jadi, bahwa sesuatu yang temporal harus merupakan kemungkinan, karena hanya kemungkinan yang ada sebelum ia ada. Tapi kemungkinan bersifat nisbi yang tidak muncul dengan sendirinya. Oleh karena itu, tidak mustahil adanya substratum (mahall, tempat) yang berhubungan dengan (kemungkinan), yaitu materi, yang merupakan tempat penghubung. Yang kami maksudkan ketika kami katakan bahwa materi menerima panas dan dingin, hitam putih, gerak dan diam, yaitu dimungkinkan temporalnya terjadi perubahan-perubahan, jadi kemungkinan menjadi suatu sifat bagi materi dan materi bersifat temporal
Mustahil untuk mengatakan bahwa kemungkinan sebagai (kawnuhu) yang dikuasai, dan adanya yang qadim sebagai yang berkuasa atasnya. Sesuatu yang dikuasai hanya apabila ia berada dalam kemungkinan. Seseorang dikuasai, hal itu karena itu dia mungkin, atau apabila seseorang tidak dikuasai, karena dia tidak mungkin. Apabila mengatakan sesuatu yang mungkin, mengacu pada pernyataan ia dikuasai, maka seakan-akan mengatakan: seseorang dikuasai, karena ia dikuasai, atau seseorang tidak dikuasai, karena ia tidak dikuasai. Keputusan mengenai kemungkina adalah keputusan intelektual yang jelas, dengan mengetahui keputusan yang lain yaitu wujud merupakan obyek kekuasaan (dikuasai). Sekali lagi, tidak mungkin menerangkan masalah mungkin dengan mengacu kepada pengetahuan dari yang qadim dengan adanya sebagai mungkin( bi kawnihi mumkinan). Kerena pengetahuan membutuhkan obyek. Jadi, pengetahuan tentang kemungkinan dan kemungkinan itu sendiri merupakan obyek pengetahhuan, tentu berbeda. Lalu, sekalipun diidentifikasikan dengan pengetahuan, keungkinan tetap merupaka suatu yang relatif yang harus dihubungkan denga suatu esensi. Dan hanya meteri itu yang merupakan esensi itu., karena materi mendahului yang hadis, meskipun awalnya materi itu tidak hadis(temporal)

1). Jawaban al-Ghazali
Kemungkinan yang mereka sebutkan adalah berasal dari keputusan intelaktual. Maka tiap sesuatu yang wujudnya terandaikan oleh akal, pengandain itu mesti diterima akal, disebut mungkin, atau apabila pengandaian tidak dapat diterima akal disebut tidak mungkin. Atau apabila akal tidak dapat mengandaikan ketiadaan (‘adam) sesuatu, disebut wajib. Tetapi keputusan intelektual ini tidak memerlukan satu mawjud, sehingga hanya dijadikan sifat. Ada tiga alasan dari pernyataan tersebut; Pertama, Apabila kemungkinan memerlukan suatu muwjud kemana kemungkinan dihubungkan, dan dapat dikatakan bahwa mawjud itu adalah kemungkinanya, begitu juga ketidakmungkinan memerlukan suatu mawjud. Maka, mawjud itu adalah ketidak mungkinannya. Tetapi kenyataanya, yang tidak mungkin dengan sendirinya tidak ada. Tidak ada materi yang atasnya ketidakmungkinan terjadi dan kepadanya ketidakmungkinan dihubungkan sebagai suatu sifat. Kedua, mengenai hitam dan putih, akal memutuskan keduanya sebagai mungkin, ketika hitam dan putih belum ada. Apabila kemungkinan dihubungkan dengan suatu tubuh (benda) yang atasnya hitam dan putih terjadi( sehingga seseorang berkata; hitam putih itu dimaksudkan bahwa tubuh ini mungkin untuk menjadi hitam dan putih), maka putih maupun hitam dengan sendirinya, menjadi mungkin. Prediket kemungkinan tidak berlaku bagi hitam dan putih, karena mungkin harus berbentuk tubuh yang dihubungkan dengan hitam dan putih. Jadi bagaimanakah hitam pada kehitaman itu sendiri, apakah mungkin, ataukah wajib, atau tidak mungkin. Harus dikatakan sebagai jawaban bahwa hitam adalah mungkin. Dari sini jelas bahwa suatu keputusan intelektual tentang kemungkinan tidak memerlukan asumsi suatu esensi yang mawjud kepadanya kemungkinan dihubungkan.[18]

2.      Ilmu Tuhan terhadap hal-hal kecil
Para filosof berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui sesuatu pun kecuali diri-Nya sendiri. Pendapat Ibnu Sina,bahwa Tuhan mengetahui dengan pengetahuan yang universal.[19] Untuk memperjelas pendapat para filosof itu al-Ghazali mejelaskan dengan suatu ilustrasi tentang gerhana Matahari. Ketika Matahari sedang terjadi gerhana kemudian terang kembali. Matahari telah mengalami tiga keadaan:
a). Keadaan ketika gerhana belum terjadi, tetapi dinantikan terjadinya, artinya gerhana akan terjadi.
b). Keadaan bahwa gerhana benar-benar terjadi, artinya gerhana sedang berlangsung
c). Ketika gerhana tidak ada, tetapi sebelumnya sudah terjadi 
Mengenai ketiga keadaan tersebut terdapat pula tiga pengetahuan yang berbeda. (1). Kita mengetahui bahwa gerhana tidak ada, dan akan terjadi. (2). Kita mengetahui bahwa gerhana sedang terjadi, dan (3). Kita mengetahui bahwa gerhana sudah terjadi dan sekarang tidak ada lagi.
Para filosof mengatakan, Tuhan tidak mempunyai keadaan yang berbeda-beda sehubungan, dengan tiga keadaan di atas, karena itu berarti perubahan. Orang yang keadaannya tidak berbeda-beda tidak dapat mengetahui ketiga aspek itu. Pengetahuan mengikuti pengetahuan. Apabila objek pengetahuan berubah, maka pengetahuan pun berubah. Dan apabila pengetahuan berubah, maka orang yang tahu juga berubah tetapi Tuhan mustahil berubah.
Para filosof juga mengemukakan bahwa Tuhan mengetahui gerhana, dan semua sifat-sifatnya serta aksidin-aksiden dengan suatu pengetahuan yang menjadi sifat-Nya sejak dari azal tidak pernah berubah, misal dia mengatakan; bahwa Matahari dan Bulan ada (karena keduanya beremanasi dari-Nya melalui intermeditasi malaikat-malaikat yang disebut para filosof akal-akal murni); bahwa Matahari dan Bulan melakukan revolusi-revolusi.; bahwa sebagai akibat dari Matahari yang sedang gerhana, -yaitu tubuh Bulan berada diantara matahari dan pengamat (orang yang menyaksikan), sehingga menghalangi Matahari dari mata pengamat.[20]
Para filosof berpendapat tentang sesuatu yang dapat dibagi-bagi ke dalam materi dan ruang, seperti manusia pribadi dan binatang-binatang. Bahwa Tuhan tidak mengetahui aksiden-aksiden Zaid atau ‘Amar atau Khalid (sebagai pribadi-pribadi); tetapi mengetahui manusia secara umum, dan aksiden-aksiden serta sifat-sifatnya- dengan suatu pengetahuan universal. Maka, ia pun mengetahuhi bahwa Manusia memiliki suatu tubuh yang terdiri dari organ yang dipergunakan untuk bejalan, atau untuk memahami, dan sebagainya. Dan ada yang tunggal sementara yang lain ada berpasangan. Dan bahwa kekuatan-kekuatan harus didistribusikan di antara anggota-anggota fisiknya, dan seterusnya hingga setiap sifat yang di luar dan di dalam manusia. Setiap hal yang termasuk perlengkapan, sifatnya dan kelazimannya. Juga tak satupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya, dan Dia mengetahui segala sesuatu secara universal. Ia hanya dapat membedakan antara Zaid dengan diri ‘Amr karena indra saja, bukan karena akal.
Maka, inilah prinsip dasar yang dipercayai- dan dengan prinsip itu para filosof merancang kehancuran total syariat-syariat agama. Itu mengimplikasikan bahwa, misalnya, apakah Zaid mentaati Tuhan atau mendurhakai-Nya, Tuhan tidak mengetahui keadaannya yang baru, karena Dia tidak mengetahui Zaid sebagai pribadi- yakni sebagai ciri dari tindakan sebelumnya. Maka apabila Tuhan tidak mengetahui diri manusia, dan tidak mengetahui keadaan dan perbuatannya. Dia pun tidak mengetahui kekufuran dan keIslaman seseoang, karena Dia hanya mengetahui manusia secara umum, secara mutlak dan universal. Tidak melalui hubungan khusus dengan pribadi-pribadi itu. Mereka juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw., memproklamirkan kenabiannya, sedangkan Tuhan tidak mengetahui bahwa Muhammad berbuat seperti itu. [21]

1). Jawaban Al-Ghazali
Bagaimana anda menolak orang mengatakan “Tuhan hanya mempunyai satu pengetahuan tentang gerhana pada suatu waktu. Sebelum gerhana, pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang “akan terjajdi, pda waktu gerhana, pengetahuan tentang sedang terjadi, dan setelah terang, pengetahuan tentang berakhirnya gerhana. Semua perbedaan-perbedaan ini merupakan relasi-relasi yang tidak menggantikan esensi pengetahuan, dan tidak menuntut suatu perubahan pada zat orang yang mengetahui. Karena perbedaan tersebut ditata sebagai relasi-relasi murni. Orang yang berubah secara teratur, maka dialah yang berubah, bukan anda. Demikian pula tetang pengatahuan Tuhan.
Kami menerima pendapat bahwa Dia mengetahui segala sesuatu dengan sesuatu pengetahuan yang satu dari azal ke azal, bahwa keadaan ini tidak berubah. para filosof ini meniadakan perubahan, dan itu disepakati oleh setiap orang. Tetapi statemen mereka bahwa perubahan harus disimpulkan dari afirmasi (pengukuhan) pengetahuan tentang ‘sedang terjadi, kini dan tentang berakhirnya gerhana, maka pendapat itu tidak diperdebatkan. Dari manakah mereka mengetahui ide ini? Andaikan Allah menciptakan bagi kita pengetahuan tentang datangnya Zaid di sini besok, ketika Matahari terbit, lalu pengetahuan ini dilamakan (sehingga dia pun tidak menciptakan pengetahuan yang lain bagi kita dan kita pun tidak lupa terhadap pengetahuan ini), pastilah kita, ketika terbit matahari, mengatahui--dengan pengetahuan yang lalu,-tentang datangnya Zaid kini dan setelah itu tentang (faktanya bahwa) dia baru saja datang. Dan pengetahuan yang satu ini terus ada, akan cukup untuk menguasai “ketiga persoalan” itu.[22]

3.      Kebangkitan Jasmani
Para filosof menolak kembalinya jiwa-jiwa ke tubuh-tubuh. Setelah kematian tubuh, jiwa mengekal selama-lamanya baik dalam keadaan senang yang tak mungkin terlukiskan karena besarnya, atau dalam keadaan sengsara yang tak terlukiskan, karena begitu besarnya. Kadang-kadang, kesengsaraan itu menjadi abadi; dan kadang menghilang bersama perjalanan masa. Argumen-argumen rasional secara aktual telah membuktikan kemustahilan kembangkitan kembali tubuh-tubuh. Pengandaian kembalinya jiwa ke dalam tubuh mengandung tiga alternatif:
Pertama, dapat dikatakan (sebagaimana telah disebutkan oleh beberapa mutakallimun) bahwa manusia adalah tubuh, dan kehidupan hanyalah satu aksiden; bahwa jiwa yang diandaikan berdiri sendiri, dan yang disebut pengatur tubuh, tidak ada; dan bahwa kematian berarti ketidak-berlangsungan kehidupan, atau terhalangnya pencipta dari penciptaan kehidupan. Oleh karena itu, kebangkitan kembali berarti (1) perbaikan kembali oleh Allah, terhadap tubuh yang telah lenyap (2) pengembalian eksistensi tubuh; dan (3) perbaikan kembali kehidupan yang telah lenyap. Atau, dapatlah dikatakan bahwa materi tubuh tepat sebagai tanah, dan bahwa kehidupan kembali (ma’ad) berarti bahwa tanah ini akan dikumpulkan dan disusun kedalam manusia, dimana kehidupan diciptakan untuk pertama kalinya.
Kedua, dapat dikatakan bahwa jiwa adalah suatu mawjud yang tetap hidup setelah kematian tubuh, tetapi yang akan dikembalikan, pada saat kebangkitan, kepada tubuh yang asli ketika semua bagian tubuh telah terkumpul 
Ketiga, bahwa jiwa akan kembali kepada suatu tubuh, baik ia tersusun dari bagian-bagian yang sama seperti tubuh yang asli, atau dari beberapa bagian yang lain. Konsekuensinya, orang yang kembali manusia itu. Materi tidak relevan disini , karena manusia bukanlah manusia karena materi, tetapi jiwa.[23]
Alternatif pertama, jelas salah, karena ketika kehidupan serta tubuh telah tiada, penciptaan kembali akan merupakan suatu penciptaan yang sama dengan atau tidak identik dengan apa yang telah ada. Tetapi kata “kembali” seperti yang kita pahami, mengimplikasikan pengandaian kebakaan (lawan fana) satu hal dan membarukan hal lain.

1). Jawaban al-Ghazali
Menurut al-Ghazali, akan benar untuk mengatakan bahwa debu kembali hidup, setelah beberapa lama kehidupan telah terputus. Dan hal ini bukan merupakan pengembalian bagi manusia, atau kemunculan kembali dengan dirinya sendiri. Karena seorang manusia menjadi manusia bukan karana materinya, dan debu yang tersusun darinya. Semua bagian fisik ini, atau sebagian besar berubah karena makanan. Dan dia tetap seperti semula karena ruh dan jiwanya. Maka dalam kehidupan yang telah tiada, dan tidak masuk akal apabila sesuatu yang telah tiada kembali. Seringkali sesuatu seperti itu dapat diwujudkan. Apabila Allah menciptakan kehidupan manusawi di dalam debu yang terbentuk dalam tubuh-tubuh pepohonan, atau seekor kuda, atau tumbuh-tumbuhan, maka itu suatu permulaan penciptaan manusia. Kembalinya yang ma’dum tidak masuk akal. Entitas (zat) yang kembali adalah suatu hal yang mawjud, yakni kembali ke keadaan sebelumnya, kembali seperti semula.
Terhadap alternatif yang kedua, yakni pengandaian kebakaan jiwa, dan pengembalian ke tubuh yang asli. Apabila hal itu diperhatikan, yang cocok disebut “kambali” berarti pembukaan lagi oleh jiwa dan fungsinya untuk menuju tubuh, setelah terpisah dari kematian. Tetapi ini mustahil. Tubuh manusia berubah menjadi debu, atau dimakan ulat, burung-burung, dan berubah menjadi dara atau asap, atau udara dan bercampur dengan udara dan asap di dalam alam, sedemikian rupa sehingga tak terpisahkan dan dilepaskan satu sama lain. Apabila hal tersebut diandaikan sebagai suatu ketakwaan kepada kekuasaan Allah, maka tidak boleh tidak:
Apakah bagian-bagian itu saja yang akan dikumpulkan kembali, yang ada pada saat kematian. Maka tidak boleh tidak hal itu akan mengarah kepada kebangkitan kembali dengan anggota badannya yang telah lepas, atau telinga dan hidungnya putus, atau angngota tubuhnya cacat, dalam bentuk yang sama percis seperti ketika ia hidup di dunia. Tetapi ini hina, apalagi bagi orang-orang disurga, karena mereka diciptakan alam keadaan cacat di awal firah (penciptaan). Hal ini merupakan suatu lelucon yang sangat lucu. Oleh karena itu, ini merupakan suatu kesulitan yang muncul, apabila pengandaian pengembalian dibatasi pada penyusunan kembali bagian-bagian yang ada pada saat kematian. Ataukah bahwa semua bagian-bagian itu akan disusun kembali dengan yang belum pernah ada dimasa seseorang masih hidup, hal ini mustahil karena:
Karena apabila manusia makan manusia lain (kebiasaan yang terdapat di beberapa tempat tertentu, dan sering terjadi pada saat paceklik), maka kebangkitan kedua-duanya akan sulit . karena materinya akan sama, tubuh yang dimakan akan diserap sebagai makanan ke dalam tubuh si pemakan. Dan tidak mungkin untuk mengembalikan dua jiwa dalam satu tubuh.
Karena akan merupakan keharusan bahwa bagian yang sama hendaknya dikembalikan lagi sebagai liver, hati dan tangan sekaligus. Telah dibuktikan oleh ilmu kedokteran bahwa beberapa bagian organ tubuh memperoleh makanan dari sisa makanan organ yang lain. Bagian hati menyedikan makanan bagi liver, begitu juga dengan bagian-bagian yang lai. Maka apabila kita mengandaikan beberapa bagian khusus yang merupakan materi bagi semua organ, kepada organ apa yang akan dikembalikan? Bahkan seseorang tidak perlu kemustahilan sebagaimana yang disebutkan terdahulu. Terhadap alternatif ketiga, yaitu pengembalian jiwa ke dalam tubuh manusia dari materi apapun juga atau debu. Hal ini mustahi dengan dua alasan:
Materi-materi yang menerima generasi dan kehancuran (fasad) dibatasi pada jumlah bulan, yang tidak munkin adanya penambahan, dan mereka tak terbatas jumlahnya, sebaliknya jiwa-jiwa yang terpisah dari tubuh-tubuh tidak terbatas jumlahnya, karena materi-materi takkan dapat dijumlahkan oleh jiwa-jiwa.
Debu selama masih tetap merupakan debu tak dapat menerima arahan dari jiwa. Supaya penerimaan tersebut terjadi, tidak boleh ada unsur-unsur tertentu yang dicampur dengan yang lain. sehingga campuran itu seperti komposisi sperma yang ada dalam rahim wanita, Tuhan telah telah dapat membuat anggota-anggota badan yang bermacam-macam, berupa daging, urat saraf, tulang-tulang, lemak,dan sebaginya, kemudian mata, lidah, gigi, yang semuanya berbeda keadaan, sifat, dan fungsinya, meskipun saling berdekatan dan berhubungan satu sama lain. [24]

D.  Kritik Ibn Taimiyah Terhadap Filsafat al-Ghazali
Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, Al-Ghazali mempelajari dan mendalami filsafat adalah untuk menyingkap kebenaran-kebenaran yang mungkin akan ditemukan didalamnya, yang mana dalam hal ini ia berpedoman, bahwa keraguan adalah sarana untuk sampai pada keyakinan. Setelah mendalami filsafat ia mendapatkan kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan oleh para filosof, maka kemudian ia mencoba untuk keluar dari filsafat dan kembali kepada agama serta menenggelamkan dirinya dalam dunia kesufian untuk selanjutnya menggunakan pengetahuannya tentang filsafat untuk menyingkap kesesatan-kesesatan para filosof dalam karyanya “Tahâfut Al-Falâsifah”.
Akan tetapi pada kenyataannya Al-Ghazali tidak bisa benar-benar lepas dari filsafat, dimana dalam jiwanya masih tersisa pengaruh filsafat, karena ketika ia memutuskan untuk meninggalkan filsafat, pikirannya sudah terbentuk kedalam pola pemikiran filsafat, bahkan kemudian ia mengambil filsafat sebagai unsur dasar dalam memperlajari suatu disiplin ilmu, karena suatu disiplin ilmu tidak akan lahir kecuali dengan adanya filsafat, dan hanya dengan filsafat-lah suatu disiplin ilmu akan dapat dipahami secara sempurna.[25]
Analisa Ibn Taimiyyah diatas agaknya lebih didasari oleh ketakutannya akan pengaruh-pengaruh luar yang ia rasa dapat mengancam kemurnian dan kesucian kepercayaan yang diyakininya, hal ini sebenarnya masih dalam batas-batas kewajaran melihat latar belakang keluarganya yang dengan teguh berjalan diatas rel madzhab Hanbali, seorang murid Asy-Syafi'i yang terkenal memegang teguh ajaran-ajaran Alqur'an dan As-Sunnah, dimana sudah sepatutnya baginya untuk mempertahankan keyakinannya dalam kondisi yang morat-marit akibat peperangan yang berkepanjangan dan benturan peradaban yang sedikit banyak mengakibatkan menimbulkan pesimisme terhadap sebagian besar kaum muslim.

1.      “Alam dan Jism” Al-Ghazali dalam Pandangan Ibn Taimiyyah
Ketika Al-Ghazali menjelaskan tentang kesalahan kaum filosof tentang pengingkaran Wujud Yang Pertama sebagai jisim, dikarenakan mereka mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang kadangkala mengharuskan penggabungan antara dua hal yang bertentangan, atau kadangkala membuang keduanya, maka disini Ibn Taimiyyah mengkritik dalil-dalil yang digunakan Al-Ghazali dan pengikutnya yang hanya memasukkan sedikit saja dalil-dalil Qur’an dalam penjelasannya, ia menganggap Al-Ghazali dan pengikutnya seolah-olah tidak mengetahui atau mengabaikan dalil-dalil Qur’an yang dianggapnya lebih cocok untuk diterapkan.
Sebagaimana dalam masalah kejadian alam dimana Al-Ghazali dan pengikutnya hanya memfokuskan kritikannya pada dua ungkapan kaum filosof:
1). Ungkapan tentang hal lebih dulunya alam (Qidam Al-‘Alam), dimana menurut para filosof apabila hal ini muncul dari adanya sebab yang mewajibkannya, maka akibat harus bergandengan dengan sebabnya dalam hal kekekalan dan keabadiannya.
2). Ungkapan bahwa perkara yang dikerjakan munculnya dibelakang penciptanya, dan bahwa pencipta tidak boleh selalu bersabda dan berbuat apa saja sesuai dengan keinginannya.
Kemudian Ibn Taimiyyah membeberkan bahwa dalam pandangannya Al-Ghazali dan pengikutnya mengabaikan ungkapan yang benar yang telah disepakati oleh ulama salaf, bahwa akibat datangnya selalu mengiringi Sang Maha Penyebab, dimana apabila ia berkehendak mencipta sesuatu, maka sesuatu itu akan muncul mengiringi penciptaan itu, sebagaimana Firman-Nya:
إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون (يس:82)http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4642808806537409599 - _ftn8
Artinya: “Sesungguhnya perintahnya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya ‘jadilah’ maka terjadilah ia”
Dan inilah yang menurut Ibn Taimiyyah bisa dicerna oleh akal, yang menurutnya hanya boleh menerima hal-hal yang sederhana dan pasti (badihi), sebagaimana jatuhnya talak beriringan dengan pentalakan dan datangnya kebebasan beriringan dengan pembebasan. Maka yang Allah SWT inginkan akan terwujud dan yang tidak ia kehendaki tak akan pernah ada. Sudut pandang lain Ibn Taimiyyah terhadap filsafat.[26]
Kita semua hampir sepakat bahwa Ibn Taimiyyah merupakan sosok ulama yang menentang filsafat dengan keras, juga terhadap segala pemikiran keagamaan yang dibumbui oleh campur tangan akal. Akan tetapi kalau kita menelusuri lebih jauh sosok ini, kita akan menemukan warna yang berbeda dalam pendapatnya, warna yang menurut penulis menunjukkan kapasitas kaulamaannya secara murni tanpa dipengaruhi oleh gejala politik dan sosio-kultural yang berkecamuk pada zamannya, hal ini terungkap ketika ia menjelaskan tentang kemungkinan masuknya akal pada kehidupan agama dalam menjelaskan makna ayat-ayat Allah SWT, dengan batasan tidak untuk mengurai Dzat Allah SWT. Coba kita simak ungkapannya berikut ini:
“Adapun pengetahuan tentang makna ayat-ayat yang disampaikan Allah SWT selagi tidak dalam lingkup ketuhanan-Nya, maka pemikiran dan perkiraan bisa masuk kedalamnya, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an. Karena itulah, banyak dari ahli ibadah dan kaum sufi yang menganjurkan untuk melanggengkan dzikir dan menjadikannya sebagai pintu untuk sampai kepada kebenaran, hal ini akan lebih bagus apabila digabungkan dengan bertadabbur atas kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan banyak juga dari para pemikir dan ahli kalam yang menganjurkan untuk selalu berpikir dan merenung sebagai jalan untuk mengetahui kebenaran. Kedua metode ini mempunyai sisi kebenaran masing-masing, akan tetapi masih membutuhkan kebenaran yang terdapat pada yang lainnya, dan keduanya harus dibersihkan dari kesesatan-kesesatan yang mungkin masuk dalam keduanya dengan cara mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Allah SWT dan para Rasul-Nya.”
Dalam lembaran lainnya Ibn Taimiyyah kembali membuktikan kapasitasnya sebagai seorang mujaddid dengan membagi ilmu dalam dua golongan:
1). Ilmu yang didapat dari akal.
Seperti matematika, kedokteran, perdagangan dan sebagainya, yang selanjutnya ia mengatakan bahwa ilmu filsafat yang berupa mantiq, ilmu alam dan astronomi yang berasal dari India dan Yunani beserta ilmu-ilmu lain dari Romawi dan Persia, ketika masuk dalam dunia Islam, orang-orang Islam mengoreksi, memperbaiki dan menyempurnakannya dengan berbekal kekuatan akal dan kefasihan bahasanya. Maka menurutnya ilmu-ilmu ini dalam tangan kaum muslim menjadi lebih sempurna, lebih mencakup dan lebih gamblang, walaupun selanjutnya ia mengecualikan permainan akal dalam masalah agama, khususnya dalam masalah ketuhanan.
2). Ilmu yang dihasilkan dari petunjuk para Nabi dan Utusan, Dimana ilmu ini tidak mengalami perubahan hingga sekarang. [27]

E. Telaah Filsafat Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyyah mendapatkan pengetahuan tentang Filsafat dengan mempelajari filsafat Aristoteles (322-384 SM) dimana sebagian besar ulama muslim berkiblat kepadanya, sebagaimana yang telah penulis terangakan sebelumnya bahwa ibn Taimiyyah mempelajari filsafat bukan untuk mengambil manfaatnya akan tertapi untuk mencari titik kelemahan dari ilmu ini, dan setelah ia merasa cukup ia pun mulai memberontak terhadap ilmu yang dianggapnya sebagai ilmu orang-orang murtad ini, ia menggerakkan masyarakat disekitarnya untuk menentang keberadaan ilmu ini dalam dunia Islam, dengan menjelaskan bahwa filsafat merupakan barang asing bagi ranah pemikiran Islam, dan untuk membuktikan kebenaran ajaran Islam tidak membutuhkan ilmu ini.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa filsafat sama sekali tidak dapat digunakan sebagai timbangan kebenaran sebagaimana selama ini didengungkan oleh kaum filosof, karena menurutnya filsafat hanyalah berisi khayalan dan angan-angan.
Tidak cukup sampai disini, ia mengungkapkan bahwa sebenarnya para fuqaha sebelum masa Al-Ghazali memandang filsafat dengan pandangan kebencian dan penuh waspada terhadapnya dengan tujuan untuk menjaga ilmu Islam.
Ibn Taimiyyah menganggap bahwa Filsafat adalah pengantar kepada kesesatan, dan pengantar kesesatan adalah sesat, dan dia bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya bukanlah perkara yang diperbolehkan oleh Pembuat Syari’at, dan tidak ada satupun dari para Sahabat, Tabi’in, dan Imam Mujtahid yang memperbolehkanya, sebagaimana pula para Ulama Salaf dan pengikutnya”
Selanjutnya Ibn Taimiyyah mengkritik pengunaan istilah-istilah filsafat dalam khazanah keilmuan Islam: “ Sesungguhnya ini ( filsafat) merupakan suatu bentuk pengingkaran yang buruk dan model baru dari kebodohan.
Dan pada dasarnya hukum syari’at tidak membutuhkan filsafat, apa yang disangka pakar filosof tentang filsafat sebagai penentu pemahaman disiplin keilmuan adalah tidak benar. kepada setiap jiwa yang sehat, lebih-lebih dalam penggunaannya sebagai teori ilmu-ilmu syari’at. Karena ilmu syari’at telah sempurna dan para ulama sudah mendalami kebenarannya dengan sedetail-detailnya sehingga tidak dibutuhkan lagi ilmu filsafat beserta para filosofnya. Dan barang siapa yang menganggap bahwa ia mendalami filsafat dengan harapan mendapatkan manfaat darinya, maka sesungguhnya ia telah tertipu oleh syetan. [28]
Ibn Taimiyyah juga menyerang filsafat dari segi ketidakmanfaatan ilmu ini, ia mengungkapkan bahwa tidak ada gunanya bagi seseorang mempelajari ilmu ini, baik itu secara keilmuan maupun teori, dengan dalih tidak ditemukannya satupun dari penduduk bumi yang berhasil menciptakan suatu ilmu dan menjadi pemuka didalamnya dengan berbekal ilmu filsafat, baik ilmu agama maupun lainnya. Dokter, Arsitek, Penulis, Ahli Statistik dan lainnya menurutnya mendalami keilmuannya dan mengeluarkan produknya tanpa pertolongan filsafat, sebelum filsafat datang pun para ulama Islam telah berhasil menyusun ilmu-ilmu nahwu, arudh, dan fiqh beserta ushulnya.




BAB III
KESIMPULAN

Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus seorang pemikir Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke generasi sekarang. Al-Ghazali mengktitik para filosof tentang tiga persoalan tentang kekeliruan para filosof, yaitu:
1. Bahwa materi dapat merusak sedangkan jiwa tidak, karena materi adalah entitas material yang terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang karena inilah esensi logos yang merupakan ruh.
2. Menolak klaim bahwa pengetahuan yang khusus berubah jelas mungkin. Tuhan tidak mungkin berubah.
3. Al-Ghazali mengatakan tidak ada satu kasus pun yang tidak abadi,mulai dari yang abadi.
Dalam pandangan Ibn Taimiyyah, Filsafat adalah sesuatu yang berasal dari luar tradisi Islam, yang tidak diajarkan oleh Rasul, para sahabat rasul, tab’in, tabi’ut tabi’in dan ulama salaf sebelumnya, sehingga dia menolak kebaradaan filsafat dalam tradisi keilmuan Islam, yang dianggapnya sebagai gerbang menuju kesesatan. Dia juga menganggap bahwa ilmu-ilmu dalam khazanah Islam telah lahir tanpa ada campur tangan filsafat, sehingga tidak membutuhkan filsafat dalam memahami ilmu tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Al Ma’arif, 1987)

Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998)

Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta : Kanisus, 1994)

M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993)

M.Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, terjemahan Hidayatullah, (Bandung: Pustaka, 2000)

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Pendidikan, (Bandung: Mandar Maju, 1994)

Nico Syukur Dister, Filsafat kebebasan, (Yogyakarta: Kanisus, 1993)

Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komperatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998)

Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986)

Syamsul Ma'rif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007)

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)



[1] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993), h. 71

[2] Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta : Kanisus, 1994), h. 45

[3] Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 39

[4] Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Al Ma’arif, 1987), h. 43

[5] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 65

[6] M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Pendidikan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), h. 32

[7] M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Pendidikan…, h. 37
[8] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komperatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998), h.  49

[9] M.Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, terjemahan Hidayatullah, (Bandung: Pustaka, 2000), h. 62
[10] Syamsul Ma'rif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 39-40

[11] Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), h. 37-38
[12] Nico Syukur Dister, Filsafat kebebasan, (Yogyakarta: Kanisus, 1993), h. 83


[13] Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan…,  h. 49-50

[14] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 84-85

[15] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 86

[16] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 87

[17] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 88
[18] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 88

[19] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam…,  h. 74

[20] M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Pendidikan…, h. 39

[21] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam…,  h. 175
[22] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam…,  h. 177

[23]M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam…,  h. 179
[24]M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam…,  h. 180
[25] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 118

[26] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 119

[27] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 118

[28] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 120

Filsafat Ilmu: Akal dan Kemampuannya Historikal Pengalaman dan Hasil Berfikir

Akal dan Kemampuannya Historikal Pengalaman dan Hasil Berfikir
Saya berfikir, saya tahu maka saya Berbahagia”. bedakan dengan ucapan Descartes yang mengatakan; “Saya berfikir maka saya ada” (upaya uji-coba)
Akal dan Kemampuan Berkebenaran
Manusia adalah mahluk berpengertian. Pengertian merupakan syarat mutlak untuk bahagia, karena manusia hanya senang kalau ia mengerti kesenangannya, seseorang hanya dapat memiliki sesuatu jika ia mengerti. Tanpa pengertian, tidak ada kepunyaan (milik) yang formal bagi manusia. Selanjutnya tanpa pengertian, tidak lagi mungkin ada kesusilaan, kemerdekaan, transendensi, otonomi atau kemandirian rohani.[1] Oleh karena itu lepas dari ketidaktahuan dan kebodohan adalah suatu yang membahagiakan bagi manusia. Sebab ketidaktahuan dan kebodohan adalah kegelapan, sumber dari banyak penderitaan. Pengertian akan kebenaran akan membebaskannya. Akhirnya kebenaran yang sempurna akan membebaskan manusia dari segala deritanya, dan membuatnya bahagia selamanya. Inilah akhir tertinggi dari manusia.[2]
Untuk mencari pengertian sehingga diperoleh kebenaran perlu berfikir yang baik, yakni berfikir logis dialektis. Yaitu tidak hanya memperhatikan kebenaran bentuk atau hukum-hukum, tetapi juga harus mengindahkan kebenaran materi pemikiran serta kriterianya. Hukum-hukum berfikir dirumuskan dalam logika, sedangkan kebenaran materi dan kriterianya dicari dimasing-masing bidang. Aristoteles-lah yang mengeksplisitkan hukum-hukum logika formal.[3]
Manusia punya dua macam kemampuan kognitif (kemampuan mengerti) yaitu; Indra dan Intelek. Indra merupakan kemampuan organis, artinya indra secara intrinsic bergantung pada organ badani tertentu yang didalamnya dan dengannya indra bekerja. Indra bisa eksternal dan internal. Intelek adalah kemampuan inorganic, yakni kemampuan yang tidak bergantung pada sesuatu organ badani. Intelek hanya satu, tetapi kemampuannya dapat; menangkap, membuat konsep, membuat keputusan, melakukan refleksi, mengabstraksi, menyimpulkan dan lain-lain.
Manusia hanya mempunyai pengetahuan yang “sempurna” dengan melalui keputusan, yaitu aksi intelek. Kegiatan indra hanyalah menangkap (dalam arti mengalami) tanpa membuat keputusan. Indra (sebagaimana juga intelek, yang bukan tabula rasa merupakan kesadaran aktif, maka juga bekerja sesuai dengan lingkaran interpretasi yang kita kenal) mengumpulkan bahan mentah untuk intelek guna dikerjakan oleh intelek menjadi keputusan.[4]
Manusia adalah mahluk rohani-jasmani. Rohani dan jasmani bukanlah dua ada yang keberadaannya sekadar berdampingan, tetapi keduanya bersatu dalam kesatuan substansial. Maka menurut kodrat harus terdapat kontinuasi atau penghubung keduanya.[5] Apa yang menghubungkan dari jasmani kerohani atau sebaliknya? [6]
Pada manusia ada kemampuan mengolah “kesan” (apa yang ditangkap oleh indra dari materi). Kemampuan tersebut adalah intelectus agens ( nous poitikos) kata Aristoteles. Kemampuan ini adalah kemampuan mengabstraksi. Sedangkan kemampuan tahu manusia, yakni yang kita kenal sebagai akal budi (intelek), dinamakan intelectus-possibilis (nous pathetikos).
Kemampuan mengabstraksi menggarap, menerangi “kesan” tadi dan melepaskan dari semua seginya yang material, tetapi tetap mempertahankan hal-hal yang hakiki, dan niscaya yang kini “diangkat” dari unsure ruang dan waktu. Jadi abstraksi adalah proses imaterialisasi. Tetapi; Pengetahuan abstarksi ini, menurut asal dan isinya, tetap bergantung kepada indra, dan berhubungan dengnan realitas.
Sekarang “kesan” tersebut sesudahnya diangkat dari materi, menjadi cakap, dan secara actual ( in actu) dapat (sanggup) diketahui, atau memasuki level of intelligibility. Berkat aktivitas ini, yang dalam istilah teknis disebut aprehensi sederhana psikologis muncul species intelligibilis impressa. Species intelligibilis impressa tersebut, berkat aktivitas intellectus agent, kini bertindak sebagai pembantu (penggerak, ken-feterminant) kemampuan tahu intelektual manusia, yakni intellectus possibilis. Sedangkan proses menyadari species intelligibilis impressa ini disebut apherensi sederhana logis. Maka muncullah konsep atau idea. Yang membuat kita tahu atau menangkap suatu disebut konsep mental, sedangkan apa yang kita tangkap tentang objek yang disodorkan konsep mental kepada akal budi, disebut konsep objektif.[7]
Bentuk-bentuk immaterialisasi
Intelek hanya mau terhadap sesuatu yang immaterial, tetapi abstraksi (proses imaterialisasi) itu bertingkat-tingkat. Ada yang sangat bersih dari materi ada yang dekat dengan materi.
1) Tingkat abstraksi fisis. Ini dilakukan setelah kita melihat benda-benda, kita abstraksikan hal-hal itu. Misalnya konsep Kuda, mangga, Suara dan lain-lain. Konsep-konsep ini kebendaannya masih sangat kentara. Pembayangan (konsep mentalnya) ke-realitas konkret masih sangat mudah.
2) Tingkat Abstraksi Matematis. Ini dilakukan dengan, dihilangkan tidak hanya cirri-ciri konkret individualnya, tetapi juga cirri-ciri kualitasnya. Yang dilihat hanya kuantitas sejauh bisa diukur. Seperti; ½ , 8, Lingkatan, diagonal, segitiga dan lain-lain. Walau masih dapat dibayangkan tingkat kongkretnya, tetapi hampir hilang ke-kongkret-an itu.
3) Tingkat abstraksi metafisis. Dalam imaterialisasi tingkat ini, tidak hanya ciri-ciri individu dan kekongkretan serta kualitas-kualitas indrawi yang dihilangkan, tetapi juga kuantitas. Tangkapan sama sekali bersih dari kejasmanian, meskipun asal dan isinya tetap tergantung pada indra. Misalnya; Sebab-akibat, eksistensi, Kebenaran, Keadilan dan lain-lain.[8]
Kebersihan indrawi ini juga menentukan tingkat kepastian “kebenaran” suatu ilmu. Misalnya; Sians kebenaran lebih “tinggi (baca = pasti) dibandingkan ilmu social. Sains kebenarannya dibawah Matematika, sedangkan matematika, Geometri kebenarannya paling tinggi, dan Metafisika kebenarannya tertinggi ( paling pasti). Mengapa?[9]
Abstraksi dan Substansi Realitas
Abstraksi memang peng-imaterialan sesuatu yang kongkret, sehingga ia lebih “konsisten dan pasti serta punya sifat umum”.  Misalnya konsep “Manusia”, ini abstraksi dari individu ali, hasan, husein, zaid dst. Ada perbedaan mendasar Plato dan aristoteles dalam masalah ini. Plato mengatakan yang real itu idea, sehingga yang real itu bukan si-ali, si ahmad, tetapi , manusia. Sedangkan Aristoteles mengatakan sebaliknya; kita hanya melihat si-ali, si-ahmad dan lain-lain. tetapi dengan kemampuan intelektual kita, kita mampu menghilangkan unsusr-unsur yang rincian dan mengambil konsep umumnya yaitu manusia. Pengabstraksian itu tidak lepas dari substansi realitas. Artinya apabila pemahaman tentang realitas itu setengah-setengah maka Abstraksi kita juga tak akan penuh dan “salah” ( atau dalam bahasa lain : abstraksi itu tidak mengacu ke realitas yang ditunjuk).[10]

Agar substansi realitas benar-benar terungkap kedalam konsep secara jitu, manusia harus mengamati dan meneropong benda-benda itu dari berbagai segi agar dapat memperoleh pengertian yang lengkap tentang inti isinya. Salah satu yang terpenting dalam penelanjangan realitas pada masa sekarang adalah “metode fenomenologi”[11]. “Kesan” (apapun yang masuk lewat indra, baik dalam maupun luar) yang ditangkap manusia, yang merupakan bahan mentah bagi intelek, secara struktural adalah tidak lengkap atau dalam bahasa lain struktur pengalaman itu histories (menyejarah), kata metode yang terakhir ini (metode Fenomenologi).
Struktur Historikal Pengalaman
Kendati abstraksi lekat pada eksistensi manusia, perlu senantiasa disadari struktur historical dari pengalaman manusia. Manusia tidak berada di dalam waktu, tetapi secara ontologis manusia adalah mewaktu, historikal. Manusia de fakto tidak dapat ada tanpa menjadi bagian dari sejarah. Maka pengalaman manusia juga tidak terpatah-patah dalam momen-momen ‘masa kini’ melainkan berstruktur historical. Masalah historical ini terkacaukan (dan terlupakan) karena opini umum tentang ‘waktu’ yang dikonsepsikan secara matematis, dilambangkan dengan huruf t (time, scientific time), diukur dengan jam dan kronometer. Berhubung alat ukur itu berupa benda-benda dan berada dalam ruang, maka waktu digambarkan sebagai medium homogen yang merentang dan terdiri dari satuan-satuan pembakuan seperti; tahun, hari, jam, menit, detik. Sedangkan sejarah seringkali diartikan orang sebagai ‘hal yang sudah lewat’ sudah selesai, ‘masa lalu’.
Dengan konsepsi ini, maka waktu dan sejarah diperlakukan sebagai vorhandenes (sebagai benda), karenanya statis. Maka diabaikanlah historikalitas sebagai kategori fundamental pemikiran manusia yang justru membuka kemungkinan perjumpaan, dialog dengan yang otentik, dengan pengalaman integral sebagaimana de facto terjadi.
Pengalaman kita memang terjadi kini, tetapi ‘kini’ tersebut mencakup masa lalu yang tidak terbatas dan masa datang yang terbuka lebar. Setiap ‘kini’ mengenggam yang sudah lewat dan sekaligus menunjuk masa depan yang masih akan datang. Dalam bahasa Husserl[12], setiap saat ber-retensi (atau ber-reaktivitas) dan berpotensi, yakni menggenggam masa lalu dan menjangkau masa datang. Retensi tidaklah mengingat-ingat yang sudah silam dan kini tiada, tetapi keterarahan yang dulu itu ke yang kini, was gewesen ist (Heiddegger)[13]. Masa lalu hadir dimasa kini. Secara prinsip, masa lalu berkaitan erat dengan masa kini. Demikianlah pula halnya dengan masa datang. Keterarahan yang kini dan yang akan datang tidaklah sesuatu yang berada diluar kini. Masa kini mengandaikan masa lalu dan masa datang. Pengalaman menunjukkan bahwa masa datang, sebagaimana masa lalu, secara actual hadir dimasa kini. Masa lalu dan masa datang tersebut secara nyata ikut menentukan yang kini kita kerjakan.[14]
Jadi maksud historikalitas Manusia adalah; 1) Hakikat manusia yang menunjuk kenyataan bahwa manusia tidak dapat direduksi menjadi atau disamakan dengan benda alami. 2) Pengalaman juga tidak statis, melainkan merupakan perjumpaan, suatu dialog yang tak habis-habisnya dengan suatu dunia yang nampak pada kita sebagai suatu cakrawala yang membuka perspektif-perspektif yang tak terbatas jumlahnya, dan hal ini pula yang memungkinkan terjadinya intersubjektivitas dari berbagai kesadaran yang berbeda. 3) Menunjukkan kenyataan bahwa persepsi tidak pernah dapat disederhanakan menjadi kehadiran yang memberi kesan indrawi yang saling tidak berhubungan, karena yang riel senantiasa mengartikan yang lain, saling menjelaskan. 4) Secara fundamental menunjukkan kenyataan bahwa kebenaran secara ontologism, bagaimanapun, adalah suatu peristiwa, maka kebenaran hakikatnya terbatas, tidak lengkap, dan sementara, maka juga tidak pernah definitive, tidak pernah merupakan kata akhir. Kebenaran yang lebih benar selalu mungkin terungkap terus. [15]
Bahasa dan Berkebenaran[16]
Pikiran dan bahasa, sesungguhnya, merupakan tempat terjadinya peristiwa realitas. Dengan berpikir manusia menyelesaIkan peristiwa tersebut. Berpikir berarti membiarkan realitas terjadi sebagai peristiwa bahasa. Realitaslah yang lebih dulu pada mula pertamanya merupakan sumber dan asal mula pikiran. Oleh sebab itu berpikir adalah menerima, dan berterima kasih.
Tugas pemikir adalah menjaga terjadinya peristiwa realitas dengan penuh kesayangan. Dalam berpikir manusia bukan penguasa, tetapi pengawal realitas. Tiada kata final bagi realitas. Realitas tetap senantiasa merupakan suatu proses kedatangan serta suatu proses pemberian, sedangkan berpikir senantiasa merupakan suatu proses berterima kasih. Proses perjalanan kebahasa adalah juga proses perjalanan ke berpikir. Kenapa begitu?
Karena realitas adalah dan tetap senantiasa berupa ‘hal yang tak kunjung habis dipikirkan’ dan ‘hal yang tak kunjung selesai dikatakan’. Demikianlah berpikir bukan pilihan semaunya pihak pemikir. Pikiran bahkan bukan pertama-tama perbuatan kita, tetapi sesuatu, yang menerpa, menjumpai kita manakala realitas mengungkapkan diri pada pikiran kita..
Jadi pada dasarnya berpikir adalah suatu tanggapan. Realitas butuh manusia. Tetapi manusia bukan penguasa realitas, melainkan gembala dan pengawal realitas. Pikiran kita diundang realitas untuk menjawabnya..
Jadi realitas sebagai pembangkit kegiatan berpikir merupakan bahasa yang sejati. Kegiatan berpikir sebagai jawaban terhadap kata suara realitas mencari ungkapannya yang tepat sehinga realitas dapat menjadi bahasa, dan selanjutnya dapat dikomunikasikan. Bahasa adalah jawahan manusia terhadap panggilan realitas kepadanya.
Dalam berkata yang benar-benar, realitas di-kata-kan. Dengan berpikir dan berkata, manusia meng-kata-kan realitas, dan baru di dalam peng-kata-an inilah realitas dapat tampil dan tampak. Begitulah pikiran-bahasa dan realitas senantiasa tidak berjauhan, senantiasa berkumpul. Tiada pikiran dan bahasa tanpa realitas, tiada realitas tanpa pikiran dan bahasa. Demikianlah konsep tentang berpikir yang tidak dibatasi oleh dinding-dinding konvensi. Berpikir yang pada hakikatnya bersifat membangun (konstruktif) tidak berhenti pada pola-pola, pada teori-teori, pada tembok-tembok system. System-sistem justru sering harus diterobos untuk dapat mendengar suara realitas secara lebih cermat.
Sistem (juga sistem yang terbuka) mempunyai ciri totalisasi transformasi, dan autoregulasi (cf. Jean Piaget)[17] yang memiliki logika validasi dan pola justifikasi yang tertentu pula. Perlu disadari kiranya bahwa setiap sistem tidak menyukai keterbukaan, ia hakikatnya tertutup. Maka untuk benar-benar berpikir, ketentuan ketentuan tersebut perlu terus dipertanyakan dan diterobos.
Meskipun memperhatikan, pikiran yang benar-benar berpikir tidak terikat pada jawaban-jawaban tertentu. Pikiran, bilamampun, harus dipertahankan kemerdekaannya untuk ‘membedah’ sistem, untuk menganalisa serta menguji keteguhan prinsip yang dipakai dengan orientasi; urusan pokok dalam bérpikir adalah tampak dan tampilnya realitas. Sistem bukan ha! yang membuat sesuatu benar. Suatu benar (baik) bukan karena ditetapkan, tetapi karena benar (balk) maka ditetapkan.
Maka sesuatu itu benar (baik) bukan karena dibeni sistem Bahkan hanya sesudahnya dilakukan pandangan yang mendasa terhadap realitas, suatu sistem yang sesuai ditumpangkan. Hal in pun senantiasa harus ditinjau kembali, sebab pandangan (mendasar) tentang realitas tidak pernah final. Dimensi-dimensi baru, hal-ha baru yang lebih tepat, senantiasa dapat tampak dan tampil. Maka sistem yang ada juga harus dibongkar. Begitu seterusnya, demi terungkapnya realitas secara semakin lebih tuntas, yang hakikat nya juga berarti semakin terungkapnya kadar realitas eksistensi manusia sendiri.
Manusia hendaknya tunduk kepada pikiran yang lebih balk karena pikiran yang lebih baik lebih meng-kata-kan realitas, lebih mengungkapkan kadar kebenaran realitas.
Adanya kebenaran formal tidak boleh diingkari. Pengingkaran terhadap setiap kebenaran formal adalah suatu anarki. Tetapi hendaknya selalu diinsafi bahwa realitas tidak pernah habis dipikirkan dan tidak pernah habis dikatakan. Senantiasa terdapat suatu dunia yang lebih balk yang menanti untuk dibangun.
Apakah hakikat berpikir?
Bilamana pembicaraan di atas telah diikuti dengan saksama, maka berpikir yang benar-benar berpikir tidak identik dengan berpikir dengan menghitung yang hakikatnya pemikiran hanya berhenti pada aspek kuantitatif dan realitas, pada aspek utilistik instrumental dari realitas. Dalam terminology sehari-hari dipakal istilah ratio, yang berasal dari kata Latin reor yang berarti ‘menghitung’. Kadar kebenaran yang sesungguhnya dan realitas tidak mungkin tenjangkau lewat berpikir dengan menghitung. Berpikir yang benar-benar berpikir bukanlah berpikir dengan memvisualisasikan, membayangkan. Dalam berpikir dengan menvisualisasikan terkandung asumsi bahwa segala hal dapat dibuat visual (yang jelas tidak mungkin), terkandung persepsi dasar bahwa the real is the physical..
Berpikir yang benar-benar berpikir tidak identik dengan berpikir menjeIaskan, karena defacto berpikir dengan menjelaskan sekadar gerak pikiran di antara batas-batas yang sudah ditetapkan. Rasionalitas, logika validasi, metode-metodenya, sudah pasti. Seluruh usaha adalah sekadar menggiring pikiran ke jalur tersebut.

Berpikir dengan menghitung, berpikir dengan memvisualisasikan, berpikir dengan menjelaskan, adalah bentuk-bentuk berpikir, tetapi sekadar tukilan dari berpikir yang benar-benar berpikir. Berbagai realitas tidak dapat dan tidak mungkin dipikirkan karena kadar kebenaran banyak hal tidak akan tampak dalam gaya-gaya berpikir secara menghitung, memvisualisasikan atau secara menjeIaskan.
Anti realitas tidak mungkin dapat dipikirkan dengan semestinya. Reahtas itu sendiri tidak dipikirkan. Ketiga gaya pemikiran tersebut tidak memungkinkan untuk memikirkan pertanyaan tentang hakikat realitas, hakikat manusia. Jelas kiranya bahwa berpikir yang benar-benar berpikir bukan bergerak diantara batas-bata yang sebelumnya sudah dipastikan, tidak bertujuan untuk meredam, menguasai, memaksakan kekuasaan (teori-teori, metode-metode, sistem-sistem, dan sebagainya) pada realitas.
Realitas bukan hasil pikiran, dan bahasa bukan alat. Bahasa dan pikiran adalah ruang tempat terjadinya peristiwa reaitas. Berpikir adalah tanggapan, jawaban, bukan sikap objektivistik dan sikap mengambil jarak. Dan bahasa berkaitan erat dengan peristiwa menyampaikan arti. Bahasa adalah jawaban manusia terhadap panggilan realitas kepadanya
Berpikir tidak konseptual
Bagaimana kita berfikir tidak konseptual? Bukankah itu contradiction in terminis. Bukankah kata pada dasarnya tidak terpisahkan dari konsep? Memang itu ada benarnya, tetapi bila kita berfikir konseptual maka sekalipun sebagai orientasi, kearah perspektif atas fenomena, konsepsi atau konseptualisasi, karena ditentukan batas-batasnya secara cermat dan rasional de facto senantiasa membendung peristiwa penyingkapan realitas. Bicara benar (vere loqui) akhirnya menjadi hanya bicara lurus, sesuai dengan batas-batas (recte loqui). Kesulitannya berfikir tidak konseptual, karena umum memandang bahasa sebagai alat, sebagai objektivasi. Padahal ada fungsi lainnya.
Ada tiga konsep berfikir sesuai dengan 3 konsep berkebenaran. 1) Idealisme yang mengatakan; yang ada adalah yang dimengerti (esse est percipi), tidak dimengerti adalah yang tidak dipikirkan, berarti ada ada. Maka konsep atau ekspresi konseptual adalah (yang) ada itu sendiri. Ide adalah realitas dan realitas adalah ide. 2) Pola empiris, karena kesadaran manusia adalah tabula rasa, maka konsep, atau juga pengetahuan konseptional adalah pencerminan realitas, atau Copy. 3) Bendasarkan pertimbangan pragmatis, kebenaran suatu teori tidak hanya terdiri dan suatu peng­gambaran kenyataan secara tepat, tetapi juga diarahkan pada kegunaan praktis. Rasionalitasnya: pengetahuan adalah pasti manakala Anda dalam praktek dapat memakainya. Benar adalah bila operasional; pengetahuan adalah suatu alat, dibutuhkan untuk berbuat tanpa mempunyal pretensi lebih lanjut. Demikianlah minat orang tidak terarah kepada peristiwa tampak dan tampilnya realitas lewat pikiran dan bahasa yang defacto tidak pernah selesaj atau final, tetapi terpusat pada kesibukan memikirkan kesesuaian dunia; ideanya dan dunia sebagai titik akhir perjumpaan yang hakikatnya selalu berbeda. Lalu apa berpikir tidak konseptual itu?
Berpikir tidak konseptual[18] berarti tidak memikirkan bahasa sebagai terdiri dan atau sebagai senantiasa mencari konsep yang dibatasi dengan-jelas-dan-secara-rasional-ditetapkan. Dengan mengartikan bahasa sebagai konsep-yang-dibatasi ­artinya secara-jelas dan ditetapkan-secara rasional, maka serba statis dan terkotak..kotak dengan sendirinya kejelasan dapat dijamin. Tetapi berpikir seperti itu adalah berpikir secara pemaksaan pada realitas. Inisiatif realitas ditiadakan.
Perlu selalu disadari bahwa pikiran bukan pertama-tama perbuatan kita, tetapi sesuatu yang menerpa menjumpai kita manakala realitas mengungkapkan diri pada pikiran kita.Di dalam kenyataan, suatu konsep adalah peristiwa kejernihan atau penyelubungan suatu hal. Dengan demikian sejarah (historikalitas) merupakan hahekat suatu konsep. Realitas bukanlah suatu konsep yang pasti, melainkan suatu peristiwa yang terjadi pada kita, sesuatu yang menjadi terang pada diri kita. Berbaga! pandangan tentang realitas yang telah dipakai selama berabad-abad niscaya merupakan hasil cara realitas menampakkan diri dalam berbagai kesempatan. Ekspresi konseptual seharusnya tidak dipandang dan diperlakukan sebagai ekspresi sempurna dari terminus perjumpaan (karenanya menjadi konseptualisasi statis yang siap untuk dianalisa), tetapi niscaya dipandang dan diperlakukan sebagai suatu perspektif (abschattung), sebagai artikulasi realitas dalam prosesnya untuk membahasa. Kegiatan berpikir adalah jawaban terhadap kata suara realitas, mencari konsep ungkapannya yang tepat sehingga realitas dapat menjadi bahasa. Arti senantiasa lebih luas dan yang mungkin diungkapkan dalam ekspresi konseptual atau diungkapkan secana verbal. Dalam ekspresi konseptual, segala sesuatu yang tercakup di dalamnya bergerak dan menari berdasarkan petunjuk-petunjuk rasional cermat si konseptor misalnya ilmuwan. Ekpresi konseptual tidak dihuni oleh kenyataan-kenyataan yang benar-benar riel, tidak dihuni oleh manusia-manusia yang hidup menyejarah terdiri dan daging dan darah dengan segala emosi dan intuisinya.
Demikianlah secara sangat singkat dan padat pembicaraan kita tentang hakikat bahasa dan pikiran. Kendati kita telah terpolakan dalam cara-cara berpikir dan logika tertentu, berpikir yang benar-benar berpikir pantang dilupakan. Orientasi-onentasi di atas mutlak perlu disadari di dalam praksis cara-cara berpikir dan logika yang hanya tukilan dari benpikir yang benar-benar berpikir. Jika tidak, taruhannya akan terlalu serius.

[1] Drs. W.Poespoprodjo,L.Ph.,S.S. “Logika Sientifika”, Remadja Karya, Bandung, 1985, hal 3.
[2] Ibid, hal 5.
[3] Logika hanya menyangkut “prosedur” kebenaran, bukan isi kebenarannya. Sebagai contoh; 1) Semua manusia pasti mati (Benar), Si ali manusia (Benar), maka kesimpulannya; Si ali pasrti mati (benar). Ini benar secara logika formal. 2) Setiap yang Ada, ciptaan Tuhan (banar), Kejahatan atau Keburukan itu ada (benar), maka kesimpulannya; Keburukan atau kejahatan ciptaan Tuhan (Apa ini Benar?). Inilah masalah dalam logika formal, karena dia tidak mengindahkan isi dari pernyataan-pernyaan itu. Untuk kritik dan penjelasannya, lihat Hossein Ziai, “Suhrawardi & Filsafat Iluminasi, Pencerahan Ilmu Pengetahuan”, Khususnya bab II, Logika dalam filsafat Illuminasi, Zaman, Bandung, 1998.
[4] Secara sederhana, Manusia itu tidak mungkin dapat mengetahui, kalau dia tak punya pikiran atau intelek. Dan ia tak mungkin tahu bahwa ia tahu dan mampu mengetahui kalau dia tidak sadar akan dirinya. Jadi pernyataan Descartes; “saya berfikir maka saya ada”, sebenarnya kurang tepat. Sebab saya berfikir, sebenarnya sudah mengasumsikan “ke-saya-annya (sadar dirinya ada). Oleh karena itu yang benar adalah; kita ada (sebagai kesadaran langsung, terberikan, Istilah filsafat islamnya, “Ilmu Khuduri). Kemudian untuk mengaktifkan intelek selanjutnya, perlu dukungan, support dari indra (baik eksternal atupun internal). Lihat, Mehdi Ha’iri Yazdi, “Ilmu Khuduri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam”, Mizan, Bandung, 1994.
[5] Ibid, Poespoprodjo, hal 55.
[6] Banyak teori tentang ini. Salah satunya dikemukakan oleh Mulla Sadra yang mengatakan “ ada kemungkinan perubahan dari materi ke non-material” perubahan ini dilakukan dengan cara “gerakan evolusi substansial”, atau “al harakhar al jauharriyyah”. “tidak ada dinding atau selaput antara yang alami dan adi-alami, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi wujud material untuk berubah menjadi wujud ekstramaterial (nonmaterial) melalui suatu evolusi bertahap. Hakikat hubungan kehidupan dan materi, atau antara ruh dan jasad, adalah lebih alamiah dan lebih substansial ketimbang yang mereka (Plato dan aristoteles) duga, kata Sadra. Hubungan keduanya adalah seperti hubungan antara suatu wujud dengan tahap perkembangannya terhadap wujud yang sama dengan tahap perkembnagan yang lebih lemah dan lebih rendah tingkatannya. Atau lebih tepatnya, seperti hubungan antara satu dimensi terhadap dimensi lainya. Maksudnya, materi dalam tranformasi dan evolusinya berkembang dalam suatu arah baru selain dari tiga dimensi fisik atau ruang dan selain dari dimensi waktu yang dengannya gerak essensial dan substansial dikuantifikasi. Arah baru itu terlepas dari keempat arah lainnya, arah ruang-waktu… materi menemukan arah baru dimana ia sepenuhnya melepaskan sifat materialitasnya. [Diambil dari: Seri Muttahari, Murtadha Muttahari, “Ruh, Materi dan Kehidupan”, Mizan, Bandung, 1993, hal15-16]. Kritik terhadap teori ini dan pembahasan falsafah gerak, lihat Baqir Sadr, “Falsafatuna”, Mizan, Bandung, 1991, tentang, “Gerak Perkembangan”, hal 152 -171, khususnya hal 157. Sedangkan dari Immaterial ke Material, diterangkan oleh Ibn Sina dengan akal ke 10-nya.
[7] Op cit, hal 55.
[8] Bagaimana dengan konsep Tuhan? Apakah isinya tetap tergantung pada indra? Apakah tidak mungkin ada konsep yang lepas sama sekali dari indra? Dia (Allah) adalah Muhalafatu lil hawadish (berbeda dengan apapun dialam). Bahkan surga dan neraka saja dikatakan, tidak pernah manusia pikirkan, bayangkan. Bagaimana bahasa Tuhan bisa sampai dan terfahami oleh manusia? Apa masalahnya? Akan kita bicarakan ditempat lain. [bisa dilihat di, Muhammad Ja'fari, “Wahyu, Bahasa, dan Paradoks Eksistensial,. Jawa Pos, 16/03/2003. juga buku-buku Fritcouf Schoun (Muhammad Isa Nuruddin), “Understanding Islam”, dan lain-lain.
[9] Lihat secara lengkap dalam; Dissertasi Osman Bakar, “Khirarki Ilmu, Membangun Kerangka Pikir Islamisasi Ilmu”, Mizan, cet-I, 1997. hal 106-110.
[10] Dimana sebagaian besar mensyaratkan itu sebagai kebenaran. Kebenaran didefinisikan sebagai kesesuaian Subjek yang mengetahui atau menunjuk dengan objek yang diketahui atau ditunjuk. Lihat Loren bagus, “Kamus Filsafat”, Gramedia, Jakarta, 1996. Entri “K” , Kebenaran, hal 412.
[11] Definisi dan pembagian-pembagiannya, Bagus, op cit, entri “Fenomenologi”, hal 234.
[12] Edmund Husserl dan Fenomenologi, lihat K. Bertens, “Filsafat Barat Abad XX (Inggris-Jerman), Gramedia, Jakarta, 1990, hal 94. Maurice Merleau-Ponty dan Fenomenologi, juga K. Berten, Filsafat Barat Abad XX, Jilid II (Prancis), Gramedia, Jakarta, 1996, hal 124.
[13] Bagus, op cit, hal 237.
[14] Apa yang kita alami sekarang, pasti kita hubungkan, dipengaruhi kesannya, intrepretasinya, sudut pandangnya oleh masa lalu, juga oleh proyeksi, kesempatan, target, keinginan dan lain-lain masa datang. Artinya apa yang kita alami sekarang, menunjukkan jejak-jejak masa lalunya dan mengantisipasi arah masa depannya.
[15] Poespoprodjo, hal 63.
[16] Diringkaskan dari buku Ibid, hal 66-74, dengan berbagai modifikasi dan komentar.
[17] Lihat buku j. Piaget, “Strukturalisme”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, kata pengantar hal viii, dan bab 1, hal 1-12.
[18] Idea adalah kata dari bahasa Yunani eidos, yang berarti ‘yang orang lihat’, ‘penampakan’, ‘bentuk’, ‘gambar’, ‘rupa’ yang dilihat. Intelek (akal budi) manusia melihat benda melalui ‘gambar’-nya yang terdapat didalam intelek tersebut. Oleh karena itu representasi atau wakil benda yang terdapat didalam intelek disebut idea. Jadi melalui dan didalam idea intelek melihat onjek. Sedangkan hal yang kita ketahui ( id quod per se primo intelligitur) adalah idea atau konsep onjektif.

Sedangkan konsep berasal dari kata latin: concipere, yang artinya mencakup, mengandung, mengambil, menyedot, menangkap. Dari kata concipere muncul kata benda conceptus yang berarti tangkapan. Intelek manusia, apabila menangkap sesuatu, terwujud dengan membuat konsep. Jadi konsep dan idea itu sama.

Sabtu, 07 November 2015

MSI Kelompok Politik Islam Dianggap Sebagai Ancaman

Laporan Bacaan Mingguan
Nama/NIM : Ridwan, S.Pd.I / 23111303-2  Mahasiswa PPs : Pendidikan Islam II
Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam
 Desen Pengasuh : Prof. Drs. Yusny Saby, MA.Phd
Potret Umat Islam dipersepsikan menjadi ancaman bagi dunia, sumber republika.co.id Selasa, 12 Oktober 2010
Kelompok Politik Islam Dianggap Sebagai Ancaman
Kebangkitan kelompok politik Islam di Timur Tengah dianggap ancaman bagi seluruh umat manusia. Setidaknya ini yang disampaikan oleh tokoh agama Kristen sedunia yang menghadiri musyawarah gereja di Vatikan bulan ini. "Seluruh warga di Timur Tengah, baik umat Kristen, Muslim dan Yahudi harus mampu menghadapi kelompok ekstrim ini bersama-sama," ungkap Patriakh Gereja Alexandria di Mesir Antonius Naguib.
Naguib menyatakan, banyak umat Kristen yang memutuskan keluar dari Timur Tengah, karena konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel. Selain itu kondisi serupa juga terjadi di Iraq, di mana situasi ekonomi dan kebangkitan kelompok Islam fundamental serta pemenggalan kebebasan terus terjadi.
Selain itu Naguib juga melontarkan kritikan yang terjadi di Wilayah Palestina. "Keadaan amat sulit di sana (Palestina) yang tentunya tidak dapat diterima dengan akal sehat. Posisi kelompok Kristen Arab amatlah sangat sulit," cetus Naguib. Lebih lanjut Naguib menilai kondisi Palestina saat ini memungkinkan tumbuhnya kelompok fundamentalis.
Suara senada juga terdengan di Jerman dan perancis, ironisnya hasil penelitian Islam dipersepsikan sebagai ancaman, Sekurangnya 40% warga Jerman dan Prancis menganggao Islam sebagai ancaman. Demikianlah hasil survey Ifop yang dirilis di harian Prancis, Le Monde, seperti dilaporkan examiner.com. 
Menurut survey, responden Prancis yang menganggap Islam sebagai ancaman mencapai 42 persen. Sementara 22 persen menganggap Islam sebagai faktor keragaman budaya. Sementara di Jerman, responden yang menganggap Islam sebagai ancaman mencapai 40 persen, dan 24 persen menilai Islam memperkaya budaya.
Di kedua negara, mayoritas responden menilai integrasi Muslim dalam masyarakat mereka belum terjadi. Mereka bahkan menilai tidak terintegrasi sama sekali. Pendapat ini dikemukakan oleh 68 persen responden Jerman dan 75 persen responden Prancis. Sekitar 5 hingga 6 juta Muslim tinggal di Prancis, yang merupakan negara Eropa dengan populasi Muslim terbesar. Sementara di Jerman adal 4 juta Muslim. Jumlah Muslim di Prancis sebenarnya tidak terdata dengan benar karena banyaknya imigran ilegal.

Mengenai pengaruh dan kehadiran Islam, 55 persen responden Prancis dan 49 persen responden Jerman mengatakan terlalu kentara.
Alasan rendahnya integrasi Muslim, 61 persen responden di Prancis dan 67 persen di Jerman mengatakan Muslim menolak untuk berintegrasi. Baru-baru ini, Kanselir Jerman Angela Merkel mengejutkan dunia dengan mengatakan model multikultur yang diadopsi Jerman untuk mengakomodasi jutaan Muslim di sana telah gagal total.

MSI Islamic Congregation Jemaah Islamiah Oleh Ridwan, MA

Laporan Bacaan Mingguan
Nama/NIM : Ridwan, S.Pd.I / 23111303-2  Mahasiswa PPs : Pendidikan Islam II
Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam
 Desen Pengasuh : Prof. Drs. Yusny Saby, MA.Phd

Islamic Congregation Jemaah Islamiah
(Arabic: الجماعة الإسلامية, al-Jamāʿat ul-Islāmíyatu, meaning "Islamic Congregation", frequently abbreviated JI),[2] is a Southeast Asian militant Islamic organization dedicated to the establishment of a Daulah Islamiyah[3] (regional Islamic caliphate) in Southeast Asia incorporating Indonesia, Malaysia, the southern Philippines, Singapore and Brunei.[4] JI was added to the United Nations 1267 Committee's list of terrorist organizations linked to al-Qaeda or the Taliban on 25 October 2002[5] under UN Security Council Resolution 1267.
JI has its roots in Darul Islam (DI, meaning "House of Islam"), a radical Islamist/anti-colonialist movement in Indonesia in the 1940s.[6] The JI was formally founded on January 1, 1993, by JI leaders, Abu Bakar Bashir and Abdullah Sungkar[7] while hiding in Malaysia from the persecution[8] of the Suharto government. After the fall of the Suharto regime in 1998, both men returned to Indonesia[9] where JI gained a terrorist edge when one of its founders, the late Abdullah Sungkar, established contact with Osama Bin Laden's al-Qaeda network.[10]
JI’s violent operations began during the communal conflicts in Maluku and Poso.[11] It shifted its attention to targeting US and Western interests in Indonesia and the wider Southeast Asian region[12] since the start of the US-led war on terror. JI’s terror plans in Southeast Asia were exposed when its plot to set off several bombs in Singapore was foiled by the local authorities.
Recruiting, training, indoctrination, financial and operational links between the JI and other militant groups,[13] such as al-Qaeda, the Abu Sayyaf Group (ASG), the Moro Islamic Liberation Front (MILF), the Misuari Renegade/Breakaway Group (MRG/MBG) and the Philippine Rajah Sulaiman movement (RSM) have existed for many years, and continue to this day.[14]
Prior to the first Bali bombing, there was underestimation to the threat Jemaah Islamiah posed[15] Jemaah Islamiah is known to have killed hundreds of civilians in the first Bali car bombing on October 12, 2002. In the attack, suicide bombers killed 202 people and wounded many in two blasts. The first, smaller blast by a suicide bomber using a backpack, killed a small number of people in a nightclub and drove the survivors into the street, where the vast majority were killed by a massive fertilizer/fuel oil bomb concealed in a parked van. After this attack, the U.S. State Department designated Jemaah Islamiah as a Foreign Terrorist Organization. Jemaah Islamiah is also strongly suspected of carrying out the 2003 JW Marriott hotel bombing in Kuningan, Jakarta, the 2004 Australian embassy bombing in Jakarta, the 2005 Bali terrorist bombing and the 2009 JW Marriott and Ritz-Carlton hotel bombings. The Bali and JW Marriott attacks showed that JI did not rule out attacking the same target more than once. The JI also has been directly and indirectly involved in dozens of bombings in the southern Philippines, usually in league with the ASG.

However, most of Jemaah Islamiah prominent figures such as Hambali, Abu Dujana, Azahari Husin, Noordin Top and Dulmatin have either been captured or killed, mostly by Indonesian anti-terrorist squad, Detachment 88. While several of its former leaders, including Malaysian jihadist and Afghanistan War veteran Nasir Abbas, have renounced violence and even assisted the Indonesian and Malaysian governments in the war on terrorism. Nasir Abbas was Noordin Top's former superior.