Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

Ulumul Qur'an Metodologi Tafsir ; Ridwan, MA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an mempunyai peranan yang sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia di Dunia. Betapa tidak, semua persoalan manusia di dunia sebagian besar dapat ditemukan jawabannya pada Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam pertama sebelum Hadist.
Dalam Al-Qur’an Banyak ayat-ayat yang mengandung makna untuk menyelesaikan persoalan manusia baik dalam hubungan muamalah ataupun ’ubudiyah, namun sayang, semua ini belum tergali guna memberikan pencerahan kepada umat manusia.
Dalam menggali ataupun memahami ayat-ayat Al-Qur’an diperlukan perangkat-perangkat dan instrumen keilmuan yang lain, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf (Bahasa Arab), Fiqh, Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an, Sosiologi, Antropologi dan budaya   guna mewujudkan Al-Qur’an aplikatif sebagai pedoman dan pegangan umat Islam yang berlaku sepanjang zaman.[1]
Memang memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan benar tidaklah mudah, sejarah mencatat, terdapat beberapa kosa kata pada ayat Al-Qur’an yang tidak difahami oleh sebagian sahabat nabi dan sahabat langsung menanyakan hal tersebut kepada Nabi, namun untuk masa kita saat ini akan bertanya kepada siapa tatkala kita menemukan beberapa ayat yang sulit untuk difahami. Belum lagi ayat-ayat mutasyabihat yang masih banyak mengandung misteri dari maksud ayat tersebut secara tertulis.
Memahami Al-Qur’an diperlukan metode menafsirkan Al-Qur’an, agar dapat memberikan jawaban yang pas dan sesuai dengan sekian banyak persoalan yang berkembang dimasyarakat. Jawaban yang sesuai dan pas dengan apa yang dibutuhkan dan dirasakan masyarakat pada saat ini sangat berarti dan berdampak positif bagi Islam yang dikenal sebagai Agama yang rahmatan lil ’alamin.
Dalam perkembangannya metode-metode yang digunakan para mufasir tidak lepas dari keistimewaan dan sekaligus kelemahan. Metode apa yang akan digunakan oleh mufasir sangat tergantung pada apa yang hendak diketahui dan dicapainya. Misalnya seseorang yang hendak memperoleh jawaban secara tuntas tentang suatu persoalan, maka baginya lebih tepat menggunakan metode Maudlu’i. Di sisi lain, metode ini mampu menjawab dan menolak adanya kesan kontradiksi di antara ayat-ayat Al-Qur’an, sedangkan bagi seseorang yang ingin mengetahui segala segi dari kandungan ayat Al-Qur’an, maka baginya lebih tepat menggunakan metode Tahlili, akan tetapi metode ini ia tidak dapat memperoleh jawaban Al-Qur’an secara tuntas terhadap suatu persoalan yang terdapat pada ayat itu.[2]

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, terdiri dari dua (2) kata, meta, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; dan kata modos¸ yang berarti jalan, perjalanan, cara dan arah.[3]. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut sering disebut dengan method, dan dalam bahasa Arab kata tersebut diterjemahkan dengan istilah manhaj atau Thariqah.
Dalam bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara yang teratur, terpikir, baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu Pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang tersistem dan untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.[4]
Dalam penafsiran Al-Qur’an, metode dapat diartikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam upaya menggali dan memahami maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an terdapat dua istilah, yakni Tafsir dan Takwil. Secara etimologis, tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah, Tafsir ialah ilmu yang menjelaskan tentang makna-makna yang terkandung dalam ayat, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.[5]
Secara garis besar Tafsir Al-Qur’an dapat didifinisikan sebagai penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar dalam memahami dari ayat-ayat Al-Qur’an . Dengan demikian menafsirkan Al-Qur’an adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat.[6]
Lebih rinci yang dimaksud dengan metodologi penafsiran dalam hal ini ialah cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara tertentu. Para ulama yang telah melakukan penelitian pada beberapa kitab tafsir Al-Qur’an, sedikitnya telah membagi menjadi empat penafsiran yaitu: Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudu’i.

B. Macam-macam Metode Penafsiran Al-Qur’an dan Pendekatannya
Metode dan pendekatan adalah merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan satu sama lainnya dalam melakukan kajian atau penelitian. Kedua-duanya saling melengkapi. Pendekatan merupakan suatu upaya untuk menafsirkan, memahami dan menjelaskan sebuah ayat atau obyek tertentu sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh seseorang. Maka tak heran kemudian banyak sekali perbedaan pemahaman dan kesimpulan yang dihasilkan terhadap satu obyek yang menjadi kajiannya, karena berangkat dari disiplin ilmu yang berbeda-beda. Adapun terkait dengan metode dan pendekatan tafsir Al-Qur’an ini secara garis besar di bagi menjadi empat macam :
  1. Metode Ijmali (Global)
Tafsir al-ijmali adalah tafsir ayat Al-Qur’an yang menjelaskannya masih bersifat global. Menurut Al-Farmawi adalah “Penafsiran Al-Qur’an berdasarkan urutan  ayat dengan ringkas dan berbahasa sederhana, sehingga dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang intelek.[7]
Adapun sistematika dalam penulisan tafsir model ini mengikuti susunan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu mufasir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan sebab nuzul ayat melalui penelitian dengan menggunakan hadits yang terkait.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori metode Ijmali adalah seperti, kitab tafsir Al-Qur’an Al Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, Al Tafsir al Wasith terbitan Majina Al-Buhuts Al-Islamiyyat dan Tafsir Al-Jalalain serta tafsir Taj Al-Tafsir karangan Muhammad Utsman Al-Mirqhuni.[8]

a). Ciri-ciri Metode Ijmali
Secara garis besar metode tafsir ini tidak berbeda jauh dengan metode model pendekatan analisis, letak perbedaannya yang menonjol pada aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya itu tampak hingga mendetail, sedangkan metode global tidak uraian penjelasannya lebih ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit.[9]
Mufasirnya langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Selain itu tidak terdapat ruang atau kesempatan untuk menjelaskan secara rinci, namun tafsirannya ringkas dan umum, seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an, walaupun sebenarnya yang kita baca adalah kitab tafsirnya.[10]
b). Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali
Terkait dengan metode ijmali, tafsir dengan model ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antaralain; Praktis dan mudah difahami, bebas dari penafsiran berbelit-belit, akrab dengan bahasa Al-Qur’an dan metode ini sangat membantu bagi mereka yang termasuk pada permulaan dalam mempelajari tafsir, dan mereka yang sibuk dalam mencari kebutuhan untuk hidup. Sedangkan kelemahannya, antaralain; Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial dan tidak utuh, Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.
2. Metode Tahlili
Tahlili adalah membuka atau mendeskripsikan sesuatu, mengurai, menganalisis, menjelaskan bagian-bagiannya. Artinya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan dengan menerangkan makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir, ia menjelaskan dengan pengertian dan kandungan lafadz, hubungan ayat, hubungan surat, asbabun nuzul,  hadis-hadis yang berhubungan dan pendapat para mufassir terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang  pendidikan dan keahliannya.[11]
Biasanya mufasir dalam menafisirkan dengan motode tahlily ini ayat demi ayat, surah demi surah, semuanya sesuai dengan urutan mushaf dan juga asbabun nuzul ayat yang ditafsirkan. Metode ini dapat diaplikasikan dengan beberapa pendekatan.
a)   Pendekatan Bi al-Matsur
Pendekatan Riwayat (matsur) adalah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al-Qur’an, sunah, atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan sunah nabawiyah.
Contoh Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ; Q.S (5) : 1 yang menjelaskan tentang “binatang ternak yang halal”. Kemudian dijelaskan lagi dalam ayat berikutnya, Q.S Al Maidah (5) : 3 tentang “hal-hal yang diharamkan untuk dimakan, termasuk di dalamnya binatang ternak yang haram”.Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Sunah, Q.S Al Baqarah (2) : 238, yang menegaskan tentang shalat Wustha, Rasul menjelaskan pengertian tersebut dengan Shalat Ashar.
b)      Pendekatan bi Al-Ra’yu
Al-Ra’yu keyakinan, qiyas dan ijtihad, dengan akal (ma’qul). Ra’yu di sini adalah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al-Qur’an atau mendalami pengertiannya. Maksud Ra’yu bukanlah menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al-Qurtubi mengatakan; “barangsiapa yang menafsrkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah termasuk orang-orang yang keliru dan tercela”.[12]
Sebagian ulama yang menerima penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan al-Ra’yu tetapi harus memenuhi beberapa syarat dan kaidah yang ketat, yaitu; (1). Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya, (2). Menguasai Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (3). Berakidah yang baik dan benar, (4). Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam dan menguasai imu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.[13]
Contoh dari tafsir ayat Al-Qur’an dengan pendekatan Ra’yu adalah pada Q.S. al Isra : 72) kalau memahami ayat tersebut secara tekstual, tentunya akan terdapt kekeliruan dalam memahaminya. Sebab dalam ayat itu menjelaskan bahwa “Setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam”. Padahal yang dimaksud dengan buta pada ayat tersebut adalah bukanlah “buta mata”, akan tetapi “buta hati”. Hal ini kemudian didukung dengan penjelaasan ayat lainnya. Yakni Q.S. Al Hajj : 46. Pada ayat ini dijelaskan dengan tegas “bukanlah matanya yang buta, akan tetapi yang buta ialah buta hati”.
Kelebihan metode tahlili dengan pendekatannya antara lain, yaitu; Ruang lingkup pembahasan luas, dapat menampung berbagai ide yang ada, apabila kita hendak menginginkan pemahaman dan maksud dari ayat Al-Qur’an yang lebih luas dan mendalam dengan melihat dari beberapa aspek yang ada, tidak ada jalan lain kecuali dengan menggunakan pendekatan ra’yu.
Kelemahannya adalah; Menjadikan petunjuk ayat Al-Qur’an yang ada bersifat parsial, hal ini menimbulkan kesan seakan-akan Al-Qur’an memberikan pedoman tidak utuh dan konsisten  karena adanya perbedaan, akibat dari tidak diperhatikannya ayat-ayat yang mirip, melahirkan penafsiran yang bersifat subyektif, hal ini berakibat banyaknya mufasir yang menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya.[14]
Contoh dari kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ra’yu adalah kitab Hadarik al-Tanzil wa Haqiq al-ta’wil karya Mahmud al-Nasafiy, kitab Anwar al-tanzil wa Asrar al ta’wil karya al-Baidhuwiy dan lain-lainnya.
3. Metode Maqarin (Komparatif atau Perbandingan)
Maqarin adalah membandingkan antara dua hal, tafsir perbandingan. Artinya menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, atau atara ayat dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.[15]
Metode Maqarin diaplikasikan dengan beberapa teknik, yaitu; (1). Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, (2). Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadits, (3). Membandingkan berbagai pendapat ulama tafasir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Ciri-ciri Metode Maqarin (perbandingan/komparatif), yaitu; Pertama Mengidentifikasi dan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang redaksinya bermiripan, sehingga dapat diketahui mana ayat yang mirip dan mana ayat yang tidak mirip. Kedua Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya bermiripan, memperbincangkan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam suatu redaksi yang sama. Ketiga Menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang berbeda dalam menggunakan kata dan susunan dalam ayat. keempat Memperbandingkan antara berbagai pendapat para mufasir tentang ayat yang dijadikan objek bahasan.[16]
Kelebihan metode maqarin, antara lain; Memberikan wawasan yang luas, membuka diri untuk selalu bersikap toleran, dapat mengetahui berbagai penafsiran, membuat mufasir lebih berhati-hati. Sedangkan kekurangan dari metode maqarin,  yaitu; Tidak cocok untuk pemula, Kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer, menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufasir.
4.      Metode Maudhu’i (Tematik)
Al-Mawdhu’i, artinya topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara semantik. Artinya tafsir ayat Al-Qur’an berdasarkan tema atau topik tertentu. Jadi para mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang berada di tengah-tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri atau dari  yang lain-lain.
Tafsir ayat Al-Qur’an dengan metode ini memiliki dua bentuk, yatu; Pertama Menafsirkan satu surat dalam Al-Qur’an secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan tujuannya yang bersifat umum dan khusus, serta menjelaskan korelasi antara persoalan-persoalan yang beragam dalam surat terebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang utuh.
Kedua Menfasirkan dengan cara menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat dan surat Al-Qur’an yang diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh dari ayat-ayat tersebut untuk menarik petunjuk Al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang akan dibahas.
Langkah yang digunakan dalam aplikasi metode Maudhu’i, yaitu; Pertama  Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul yang sesuai dengan kronologi urutan turunnya ayat tersebut. Kedua Menulusuri latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dihimpun. Ketiga Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama adalah kosa kata yang menjadi pokok permasalahan pada ayat tersebut. Setelah itu ayat tersebut dikaji dari berbagai aspek yang masih berkaitan dengannya seperti bahasa, budaya, sejarah dan munasabat. Keempat Mengkaji pemahaman ayat-ayat dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufasir, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Kelima Mengkaji semua ayat secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar serta didukung oleh fakta-fakta sejarah yang ditemukan.
Kelebihan metode ini, yaitu; Dapat menjawab semua persoalan masyarakat sesuai dengan kondisinya, lebih praktis dan sistematis, sangat dinamis, dan menafsirkannya lebih utuh. Sedangkan kekurangannya, yaitu; memenggal ayat Al-Qur’an, dan membatasi pemahaman ayat.

C. Manfaat Tafsir
Titik fokus tafsir adalah semangat untuk menggali, mengkaji dan memahami maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an guna dijadikan sebagai pedoman dan rujukan umat Islam tatkala mengalami berbagai macam persoalan dalam kehidupan di dunia.
Sebagai upaya untuk menjelaskan maksud dari ayat Al-Qur’an tersebut, obyek yang dijadikan kajian dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah kalam Allah, dalam konteks ini Ia tidak perlu diragukan dan diperdebatkan mengenai kemuliaannya, kandungannya meliputi aqidah-aqidah yang benar, hukum-hukum syara’ dan lain-lain.
Tujuan akhirnya adalah dapat diperoleh tali yang amat kuat dan tidak akan putus serta akan memperoleh kebahagiaan baik di dunia ataupun di akhirat. Dan oleh karenanya, ilmu tafsir merupakan pokok dari segala ilmu agama, sebab ia diambil dari Al-Qur’an, maka ia menjadi ilmu yang sangat dibutuhkan oleh manusia.[17]
D. Klasifikasi Metodologi Tafsir Al-Qur'an
Klasifikasi Metodologi Tafsir Al-Qur'an merupakan jalan yang ditempuh para mufasir dalam menyusun tafsir, dapat diklasifikasikan dalam tiga model
1.      Sederhana
Penyusunan tafsir yang dilakukan dengan menggunakan atau mengemukakan segi-segi penafsirannya, dan biasanya hanya memberikan kata-kata sinonim dari lafal-lafal ayat yang perlu dijelaskan saja. Dan penjelasan dilakukan dengan seperlunya saja. Penafsiran semacam ini dapat ditemui pada tefsiran-tafsiran Nabi dan para sahabat, yang biasanya hanya memberi keterangan tentang maksud kata pada ayat-ayat yang sukar saja dengan menjelaskan dibelakang kata-kata yang sukar tersebut.

2.      Sedang
Penyusunan tafsir Al-Qur’an yang dilakukan dengan menggunakan dua atau tiga segi penafsiran saja. Misalnya mufasir hanya menerangkan kata-kata Mufradat, sebab-sebab turunnya ayat dan sedikit tafsiran kalimat-kalimatnya.
Cara penyusunan tafsir semacam ini biasanya dipakai oleh sebagian sahabat dan tabi’in. Mereka mulai menambahkan sedikit keterangan yang disisipkan ditengah-tengah ayat Al-Qur’an.

3.      Lengkap
Penyusunan tafsir Al-Qur’an yang dilakukan dengan menggunakan dari berbagai segi penafsiran, misalnya dari segi kata Mufdarat, I’rab bacaannya, sebab turunnya ayat, hubungan ayat-ayat yang ditafsirkan, hukum-hukum yang dikandungnya, penafsiran kalimat demi kalimat dan segi-segi yang lain.
Penyusunan tafsir yang demikian banyak dilakukan oleh sebagian Mufasir dari tabiit tabi’in dan para ulama Mutaqaddim pada umumnya. Penafsiran-penafsiran mereka biasanya disusun tanpa dipisah-pisahkan dari segi-segi penafsiran yang ada di dalamnya, melainkan disambungkan tanpa memberikan judul-judul khusus.





BAB III
KESIMPULAN

Metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode menafisirkan Al-Qur’an dan pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran Al-Qur’an. Pembahasan yang berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat Al-Qur’an disebut Metodik. Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni penafsiran.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang sangat banyak dapat menjawab semua persoalan yang terjadi pada masyarakat, Namun kesan pada saat ini seakan-akan ayat Al-Qur’an masih mengandung misteri sehingga belum mampu menjawab semua persoalan yang ada. Kesan dan pemahaman yang keliru ini adalah akibat dari "miskin"nya cara, metode dan pendekatan dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Qur’an . Tafsir dengan metode maqarin (perbandingan) mempunyai beberapa kelebihan, yaitu; Dapat mengembangkan pemikirannya dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan cara yang rasional dan objektif, sehingga kita mendapatkan gambaran yang komprehensif berkenaan dengal latar belakang lahirnya suatu penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam mengembangkan penafsiran Al-Qur’an pada periode-periode selanjutnya. Adapun



DAFTAR PUSTAKA



Al-Aridh, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992).
Ali Ash-Shabuuniy, Muhammad, Studi Ilmu Al-Qur’an, Terjemahan, Amiudin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999).
Al-Farmawy, Abu al-Hayy,  AL Bidayah Fi ala Tafsir al-maudhu’iy, Terjemahan (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977).
Baidan, Nasrudin, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
Jalal, Abdul, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990)
M. Karman, Supriana, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002).
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 1 (Jakarta: Gramedia, 1977)





[1] Ali Yafie, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajawali Pers, 1992), h. 75
[2] Ali Yafie, Sejarah dan Metodologi Tafsir… h.77
[3] Supriana, dan  M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002), h. 302

[4] Tim Penyusun,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, (Jakarta : Gramedia, 1977), h. 16
[5] Ali Hasan Al Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), h.3
[6] Nasrudin Baidan,  Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 40
[7] Abu al-Hayy Al-Farmawy, Terjemahan,  AL Bidayah Fi ala Tafsir Al-Maudhu’iy, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977), h. 25

[8] Abu al-Hayy Al-Farmawy, Terjemahan,  AL Bidayah Fi ala Tafsir …h. 43-44
[9] Ali Hasan Al-Aridh,  Sejarah dan Metodologi Tafsir…h. 73

[10] Nasrudin Baidah, Metodologi Penafsiran… h. 35
[11] Muhammad Ali Ash-Shabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, terjemahan, Amiudin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 247
[12] Muhammad Ali Ash-Shabuuniy,  Studi Ilmu Al-Qur’an… h. 258

[13] Supriana, dan  M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan… h. 308
[14] Nasrudin Baidah, Metodologi Penafsiran… h. 36

[15] Supriana, dan  M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan… h. 309
[16] Nasrudin Baidah, Metodologi Penafsiran… h. 69
[17] Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990), h. 65

Ulumul Qur'an Nasakh Mansukh Qur'an ; Ridwan, MA

Qasim Nurseha DzulhadiMasalah nâsikh mansûkh dan korelasinya dengan Al-Qur’an merupakan hal yang masih hangat untuk dibicarakan. Pendapat seputar konsep ini dalam ushûl al-fiqh dan ‘ulûm al-qur’ân (tafsir) masih diselimuti oleh kontroversi. Kontroversi tentang ada tidaknya teori naskh akhirnya mencuat ke permukaan dan menjadi isu yang tak kunjung berakhir. Oleh karena itu, Muhammad Amin Suma menyatakan bahwa di antara kajian Islam tentang hukum (fiqhusûl fiqh), yang sampai sekarang masih debatable dan kontroversial adalah persoalan naskh, terutama jika dihubungkan dengan kemungkinan adanya nâsîkh-mansûkh antar ayat-ayat Al-Qur’an.
Dengan nada yang cukup “provokatif”, pemikir muslim asal Mesir, Gamal al-Banna menyatakan bahwa ide naskh adalah “min akbar al-kawârits al-fikriyyah” (‘salah satu malapetaka pemikiran terbesar’) yang menjadikan ulama salaf tergelincir dan tertipu. Akhirnya seluruh mereka membolehkannya, bahkan mereka sampai mengatakan bahwa itu merupakan ijma‘. Lebih dari itu, mereka menolak Imam Syafi‘i, yang menyatakan bahwa Sunnah tidak me-naskh Al-Qur’an, berdasarkan klaim mereka bahwa kedua-duanya –Al-Qur’an dan Sunnah– adalah wahyu. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau menafsirkan kata al-hikmah dalam firman Allah: (“Yu’tî al-hikmah man yasyâ’ wa man yu’ta al-hikmah faqad ûtiya khayran katsîran”) adalah: ‘ma‘rifat nâsikh al-Qur’an wa mansûkhihî’ (mengetahui nâsikh dan mansûkh dalam Al-Qur’an). Secara umum, jumhur ulama telah berijma‘ bahwa naskh itu ‘boleh’ secara akal, dan ‘terjadi’ secara pendengaran (jâ’iz ‘aqlan wa wâqi‘ sam‘an). Dan, hanya Abu Muslim al-Ashfahânî saja yang diriwayatkan menyatakan “boleh”, namun tidak menjadi satu realita alias tidak terjadi.
Tulisan ini mencoba untuk memaparkan dan mengulas naskh yang berkenaan dengan Al-Qur’an. Penulis mencoba untuk memberikan uraian makna (pengertian) naskh, sikap para ulama (jumhur), dan dalil-dalil yang mereka gunakan dalam mendukung adanya nasikh-mansukh di dalam Al-Qur’an. Kemudian, penulis akan memaparkan pendapat ulama kontemporer yang mengkritisi konsep ini. Dan terakhir, penulis mencoba untuk mengambil sikap, sebagai sebuah konsekuensi logis dari keberpihakan-objektif (al-tahayyuz al-mawdhû‘iy).
Konsep Naskh dalam Ilmu Tafsir dan Ilmu Fiqh
Dalam hal ini, penulis akan mengutip pengertian naskh dari dua cabang ilmu yang berbeda, namun sangat berkaitan: ‘ulûm al-qur’ân dan ushûl al-fiqh. Pendapat pertama, diwakili oleh Abu Ja‘far al-Nahhâs, Jalaluddin al-Suyûthî dan ‘Abd al-‘Azhîm al-Zarqânî. Sedangkan, dari kelompok kedua, direpresentasikan oleh Imam Abu Zahrah, Imam ‘Abd al-Wahhâb Khalâf dan Syeikh al-Khudharî.
Menurut Abu Ja‘far al-Nahhâs (w. 338 H), dasar makna naskh adalah dua: Pertama, dari “nasakhat al-syams al-zhilla”, jika matahari menghilangkan/ menghapuskan bayangan dan menggantikannya. Padanan makna naskh ini adalah firman Allah: fayansakhu Allâhu mâ yulqiy al-syaithânu (…lalu Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu) [Qs. Al-Hâjj (22): 52]. Kedua, dari “nasakhta al-kitâba idzâ anqaltahû min nuskhatihî” (engkau me-naskh sebuah buku jika engkau memindahkan naskahnya). Dari makna inilah dibangun konsep nâsikh-mansûkh.

Imam al-Suyuthî merupakan tokoh ulama yang mendukung adanya naskh­-mansûkh dalam Al-Qur’an. Ia memberikan definisi naskh sebagai berikut: (a), naskh bermakna al-izâlah (menghapus/menghilangkan). Firman Allah: “…fayansakhu Allâhu mâ yulqiy al-syaithânu tsumma yuhkimu Allâhu âyâtihî.” [ Qs. Al-Hâjj (22): 52] (b), naskh bermakna al-tabdîl (perubahan, pemindahan, dan pertukaran). Firman Allah: “Wa idzâ baddalnâ âyatan makâna âyatin…” (Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat yang lain…) [Qs. Al-Nahl (16): 101]. Ketiga, naskh bermakna al-tahwîl (pemindahan), seperti “tanâsukh al-mawârîts”, yang bermakna pemindahan harta warisan dari satu orang kepada orang lain. Keempat, naskh bermakna al-naql (pemindahan, pengopian, penyalinan): dari satu tempat ke tempat yang lain. Contoh: nasakhta al-kitâba idzâ naqalta mâ fîhi: mengikuti atau meniru lafaz dan tulisannya.

Ulumul Qur'an Qasam dalam Qur'an ; Ridwan, MA

Sumpah Dalam Al-Qur'an
Kata al-aqsam jamak dari kata qasam. Berarti sumpah. Ungkapan sumpah dalam bahan Arab berasal dari kata kerja, uqsimu kemudian disertai huruf ba’. Jadi uqsimu billah artinya aku bersumpah atas nama Allah. Seperti firman Allah SWT (yang artinya), "Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: 'Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati'." (An-Nahl: 38).
Berhubung sumpah itu banyak digunakan orang, kata kerja sumpah dihilangkan sehingga yang dipakai hanya huruf ba’nya saja. Kemudian huruf ba’ diganti dengan huruf wawu, seperti firman Allah, "Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)." (Al-Lail: 1). Kadang-kadang digunakan huruf-huruf ta’. Firman Allah, "Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu." (Al-Anbiya': 57). Tapi, huruf wawu paling banyak dipakai.
Urgensi Sumpah
Sumpah bagi manusia bertujuan untuk mengikat diri untuk tidak melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu. Tapi, sumpah bagi Allah adalah untuk menekankan berita sesudahnya dan menguatkan kandungan ungkapan yang dimaksud. Sebab, menurut Abul Qasim al-Qusyairi bahwa suatu hukum akan menjadi lebih kuat kalau disertai saksi atau sumpah. Sumpah merupakan penekanan yang terkenal untuk memantapkan jiwa dan menguatkannya. Al-Qur'an turun kepada seluruh manusia. Mereka menyikapinya bermacam-macam, di antaranya ada yang ragu, ada yang ingkar, dan ada pula yang menentang habis-habisan. Maka, sumpah dalam Al-Qur'an dalam rangka menghilangkan keraguan dan membatalkan syubuhat (kesamaran), menegakkan hujjah (argumen) dan menguatkan berita, serta menekankan hukuman dengan sebaik-baik gambaran, demikian pendapat Syaikh Manna’ al-Qaththan.
Macam-Macam Sumpah
Sumpah yang dilakukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an berkisar antara dua hal. Dia bersumpah dengan Diri-Nya yang menunjukkan kebesaran-Nya. Dalam hal ini terdapat tujuh ayat dalam Al-Qur'an.
  1. Pertama: "Orang-orang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: 'Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.' Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (At-Taghabun: 7).
  2. Kedua: "Katakanlah: 'Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu ...'." (Saba’: 3).
  3. Ketiga: "Dan mereka menanyakan kepadamu: 'Benarkah (azab yang dijanjikan) itu?' Katakanlah: 'Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)'." (Yunus: 53).
  4. Keempat: "Demi Tuhanmu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan merka bersama syaithan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut." (Maryam: 68).
  5. Kelima: "Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua." (Al-Hijr: 92).
  6. Keenam: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisa’: 65).
  7. Ketujuh: "Maka Aku bersumpah dengan Tuhan Yang Mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari, bulan dan bintang; sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa." (Al-Ma’arij: 40).
Dia bersumpah dengan makhluk-Nya. Pada bagian ini cukup banyak dalam Al-Qur'an, seperti, "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari (1) dan bulan apabila mengiringinya (2) dan siang apabila menampakkannya (3) dan malam apabila menutupinya (4) dan langit serta pembinaannya (5) dan bumi serta penghamparannya (6) dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)." (Asy-Syams: 1-7).
"Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) (1), dan siang apabila terang benderang (2), dan penciptaan laki-laki dan perempuan (3)." (Al-Lail: 3-1).
"Demi fajar (1) dan malam yang sepuluh (2) dan yang genap dan yang ganjil (3) dan malam bila berlalu (4)." (Al-Fajr: 1-4).
"Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan (5), dan apabila lautan dipanaskan (6), dan apabila roh-roh dipertemukan dengan tubuh (7), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya (8), karena dosa apakah dia dibunuh (9), dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia ) dibuka (10), dan apabila langit dilenyapkan (11), dan apabila neraka Jahim dinyalakan (12), dan apabila surga didekatkan (13), maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang dikerjakannya (14), sungguh Aku bersumpah dengan bintang-bintang." (At-Takwir: 5–15).
"Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun (1), dan demi bukit Sinai (2)." (At-Tin: 1-2).
Dan, sekali Allah bersumpah dengan Nabi Muhammad saw. karena kedudukan dan kemuliaannya di sisi Allah (HR Ibnu Abbas), yaitu dalam surah Al-Hijr ayat 72. Sementara, sumpah bagi hamba Allah tidak boleh, kecuali dengan menyebut nama Allah, seperti sabda Rasulullah saw. "Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka Dia telah melakukan Syirik." (HR Ahmad).
Dari segi ungkapan, sumpah dalam Al-Qur'an terkadang menggunakan jumlah khabariyah (bersifat berita) dan model ini terbanyak, seperti firman Allah SWT, "Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) ...." (Adz-Dzariyat: 23). Terkadang juga menggunakan jumlah thalabiyah (bersifat permintaan), seperti firman Allah SWT, "Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang mereka kerjakan dahulu." (Al-Hijr: 92-93).
Terkadang sumpah itu menggunakan sesuatu yang ghaib seperti contoh di atas. Terkadang pula menggunakan sesuatu yang nyata seperti sumpah matahari, bulan, malam, siang, langit, bumi, dll. Sumpah itu terkadang disampaikan tanpa jawaban karena agar lebih mantap, seperti firman Allah SWT, "Demi langit yang mempunyai gugusan bintang. Dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit." (Al-Buruj: 1-4).
Dan, yang paling sering adalah sumpah dengan menyebutkan jawabannya, seperti firman Allah SWT, "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari .... Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikannya ...." (Asy-Syams: 1-9). Demikian juga firman Allah, "Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun .... Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (At-Tin:1-4).
Referensi:
  1. Manna al-Qaththan, Mabahits Fii Ulumil Qur’an (Beirut: Ar-Risalah 1420 H/1999 M), Cet. II
  2. Jalaluddin asy-Suyuthi, Al-Itqon fii Ulumil Qur’an, Tahqiq M. Abul Fadhl Ibrahim (Beirut: Al-Maktabah Al-Ashrah, Th. 1408/1998 M), tanpa Cetakan, Juz 4
  3. Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa (Riyadh; Daar Alamul Kutub, Th.1412 H/1991 M), tanpa Cet, Juz 3


Ulumul Qur'an Qashasul Alquran ; Ridwan, MA

9. Qasasul Alquran

Sebuah kisah yang baik akan mudah meresap ke dalam hati orang yang membaca atau mendengarnya, serta menanamkan kesan yang demikian mendalam. Bahkan pelajaran yang disampaikan melalui pemaparan kisah (narasi) lebih banyak faedahnya.
Dalam beberapa edisi, telah kita paparkan sejumlah kisah tentang umat terdahulu. Kisah-kisah mereka termuat di dalam Al-Qur`an dan sebagiannya dalam hadits-hadits yang shahih dari Nabi n. Dalam kesempatan ini, kami mengajak pembaca merenungkan, mengapa begitu banyak Allah l mengungkap berbagai kejadian umat manusia sebelum kita. Apa hikmah di balik itu semua? Dalam pembahasan ini, kami nukilkan sebagian uraian Al-’Allamah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t dari Kitab Ushul Tafsir beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Wallahul Muwaffiq.
Pengertian Al-Qashash (Kisah-kisah)
Secara bahasa, al-qashash artinya menelusuri jejak. Allah l berfirman:
“Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.” (Al-Kahfi: 64)
Yakni, keduanya menelusuri jejak yang tadi mereka berdua lalui.
Firman Allah l melalui lisan Ibunda Nabi Musa q:
“Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: ‘Ikutilah dia’.” (Al-Qashash: 11)
Artinya, ikutilah dia sampai engkau lihat siapa yang memungutnya.
Al-Qashash artinya berita yang berturut-turut. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar.” (Ali ‘Imran: 62)
Adapun Al-Qishshah (kisah) adalah al-amr (urusan), al-khabar (berita), dan al-sya`nu (perkara) serta al-haal (keadaan).
Jadi Qashashul Qur`an adalah berita tentang keadaan umat-umat yang telah berlalu, nubuwat terdahulu dan berbagai peristiwa yang telah terjadi.
Sedangkan menurut istilah, artinya menceritakan berita tentang kejadian-kejadian yang mempunyai beberapa tahapan, di mana sebagiannya mengikuti yang lain.
Keutamaan Kisah-kisah Qur`ani
Kisah-kisah Qur`ani adalah kisah yang paling benar/jujur, sebagaimana firman Allah l:
“Dan siapakah yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah.” (An-Nisa`: 87)
Hal itu karena kesesuaiannya yang sempurna dengan kenyataan yang ada. Artinya, tidak ada perkataan yang lebih jujur dan benar daripada firman Allah l.
Kisah-kisah Qur`ani adalah kisah yang paling baik, sebagaimana firman Allah l:
“Kami menceriterakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur`an ini kepadamu.” (Yusuf: 3)
Karena cakupannya terhadap kesempurnaan paling tinggi dalam balaghah (keindahan bahasa) dan keagungan makna. Bahkan kisah-kisah dalam Al-Qur`an merupakan kisah yang paling bermanfaat, sebagaimana firman Allah l:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf: 111)
Karena kuatnya pengaruh kisah tersebut terhadap upaya perbaikan hati, akhlak, dan perbuatan. Jadi, kisah-kisah Qur`ani adalah kisah yang paling indah lafadznya (kalimatnya) dan paling indah pula maknanya.
Beberapa Bentuk Kisah di dalam Al-Qur`an
Kisah-kisah dalam Al-Qur`an ada tiga bentuk:
Yang pertama, kisah para Nabi r mendakwahi umatnya, mu’jizat yang Allah l berikan kepada mereka sebagai dukungan, sikap orang-orang yang menentang, dan tahap perkembangan dakwah serta akhir kesudahan orang-orang beriman dan orang-orang yang mendustakan. Misalnya kisah Nabi Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Musa dan Harun, serta ‘Isa dan Muhammad serta para nabi lainnya, r.
Yang kedua, kisah yang berkaitan dengan berbagai peristiwa yang telah berlalu atau tentang orang-orang yang tidak diketahui dengan pasti jati diri mereka. Seperti kisah ribuan orang yang keluar dari rumah-rumah mereka karena takut mati, kisah Thalut dan Jalut, dua putra Adam, para pemuda penghuni gua (Ashhabul Kahfi), Dzul Qurnain, Qarun, Ashhabus Sabti (Orang-orang Yang Melanggar Larangan di hari Sabtu), Ashhabul Ukhdud (Para Pembuat Parit), Ashhabul Fiil (Tentara Bergajah), dan lain-lain.
Yang ketiga, kisah-kisah tentang berbagai peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah n seperti kisah perang Badr dan Uhud dalam surat Ali ‘Imran, perang Hunain dalam surat At-Taubah, hijrah, Isra`, dan sebagainya.
Beberapa Faedah Kisah-kisah dalam Al-Qur`an
Kisah-kisah Al-Qur`an mengandung berbagai faedah yang utama, di antaranya:
1. Menjelaskan landasan dasar (asas) dakwah mengajak manusia kepada Allah l, menerangkan tentang pokok-pokok (ushul) syariat yang dibawa masing-masing Nabi yang diutus Allah l. Firman Allah l:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (Al-Anbiya`: 25)
2. Meneguhkan hati Rasulullah n dan hati umat beliau di atas ajaran (Dien) Allah l, mengokohkan ketsiqahan (kepercayaan) kaum mukminin akan kemenangan al-haq dan tentaranya serta terhinanya kebatilan dan para pembelanya.
Allah l berfirman:
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (Hud: 120)
3. Membenarkan para nabi sebelumnya, menghidupkan nama serta melestarikan jejak mereka.
4. Menonjolkan kebenaran/kejujuran Nabi Muhammad n dalam dakwahnya melalui berita yang beliau sampaikan tentang keadaan masa lalu seiring perjalanan masa dan generasi.
5. Menyingkap kedustaan Ahli Kitab dengan hujjah tentang keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan serta tantangan kepada mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum diubah. Misalnya firman Allah l:
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: ‘(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar’.” (Ali ‘Imran: 93)
6. Kisah itu merupakan sebagian contoh tentang adab yang harus diperhatikan dan pelajaran-pelajarannya tertanam kuat di dalam jiwa. Firman Allah l:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf: 111)
7. Menjelaskan hikmah Allah l berkaitan dengan hal-hal yang terkandung dalam kisah itu, sebagaimana firman Allah l:
“Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran), itulah suatu hikmah yang sempurna maka peringatan-peringatan itu tiada berguna (bagi mereka).” (Al-Qamar: 4-5)
8. Menerangkan keadilan Allah l dengan adanya hukuman yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan, sebagaimana firman Allah l:
“Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu adzab Rabbmu datang.” (Hud: 101)
9. Menerangkan karunia Allah l dengan menyebutkan pahala yang dilimpahkan kepada orang yang beriman, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah mengembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka). Kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing, sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Al-Qamar: 34-35)
10. Sebagai hiburan bagi Nabi n atas gangguan yang dilancarkan orang-orang yang mendustakan beliau, sebagaimana firman Allah l:
“Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasulnya); kepada mereka telah datang rasul-rasulnya dengan membawa mukjizat yang nyata, zubur, dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku adzab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaan-Ku.” (Fathir: 25-26)
11. Membangkitkan rasa antusias kaum mukminin terhadap keimanan dengan mendorong mereka agar teguh di atasnya serta meningkatkannya ketika mengetahui keberhasilan orang-orang beriman terdahulu serta kemenangan mereka yang diperintah berjihad. Sebagaimana firman Allah l:
“Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Al-Anbiya`: 88)
12. Men-tahdzir (peringatan) orang-orang kafir agar tidak terus-menerus tenggelam dalam kekafirannya, sebagaimana firman Allah l:
“Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memerhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (Muhammad: 10)
13. Mengakui keberadaan risalah Nabi Muhammad n, karena berita-berita tentang umat-umat sebelumnya tidak ada yang tahu kecuali Allah k, sebagaimana firman Allah l:
“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini.” (Hud: 49)
Dan firman-Nya:
“Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah.” (Ibrahim: 9)
14. Di dalam kisah-kisah Qur`ani terdapat penjelasan tentang sunnatullah pada makhluk-Nya, baik secara individu, maupun kelompok. Sunnah itu berlaku pada orang-orang terdahulu dan yang datang kemudian, agar dijadikan pelajaran oleh orang-orang yang beriman. Oleh sebab itulah, kisah-kisah Qur`ani ini bukan semata-mata memaparkan sejarah umat manusia atau sosok tertentu. Tapi yang diuraikan adalah hal-hal yang memang dapat dijadikan pelajaran, nasihat, dan peringatan.
Allah l berfirman:

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (Hud: 120)

Psikologi Pendidikan Vygosky Vs Piget : Ridwan, MA

Perbandingan Teori Piaget dengan Teori Vygotsky
A. Teori Piaget
1.  Dasar Teori
            Teori kognitif dari Jean Piaget ini masih tetap diperbincangkan dan diacu dalam bidang pendidikan. Teori ini mulai banyak dibicarakan lagi kira-kira permulaan tahun 1960-an. Pengertian kognisi sebenarnya meliputi aspek-aspek struktur intelek yang digunakan untuk mengetahui sesuatu. Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif bukan hanya hasil kematangan organisme, bukan pula pengaruh lingkungan semata, melainkan hasil interaksi diantara keduanya.
            Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu:
1)      Kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf;
2)      Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya;
3)      Interaksi social, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan social, dan
4)      Ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau system mengatur dalam diri organisme agar dia selalu mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
            Sistem yang mengatur dari dalam mempunyai dua faktor, yaitu skema dan adaptasi. Skema berhubungan dengan pola tingkah laku yang teratur yang diperhatikan oleh organisma yang merupakan akumulasi dari tingkah laku yang sederhana hingga yang kompleks. Sedangkan adaptasi adalah fungsi penyesuaian terhadap lingkungan yang terdiri atas proses asimilasi dan akomodasi.
Piaget mengemukakan penahapan dalam perkembangan intelektual anak yang dibagi ke dalam empat periode, yaitu :
1)      Periode sensori-motor ( 0 – 2,0 tahun )
2)      Periode pra-operasional (2,0 – 7,0 tahun )
3)      Periode operasional konkret ( 7,0 – 11,0 tahun )
4)      Periode opersional formal ( 11,0 – dewasa )
            Piaget memperoleh gelar Ph.D dalam biologi pada umur 21, ia kemudian tertarik pada psikologi dan mempelajari anak-anak abnormal di salah satu rumah sakit di Paris. Pada periode hidupnya, Piaget semakin tertarik pada logika anak dan metode berpikir yang berbeda-beda yang digunakan anak dalam menjawab peertanyaan pada usia yang berbeda pula. Selanutnya Piaget bekerja melakukan penelitian selama kurang lebih 40 tahun. Studinya dipusatkan pada persepsi anak dalam pemahamannya mengenai alam/benda, jumlah, waktu, perpindahan, ruang, dan geometri. Ia menganalisis operasi-operasi mental yang digunakan oleh anak, cara berpikir simbolis dan logika mereka.
            Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka.
           
2.  Implikasi Terhadap Pendidikan
            Teori Piaget membahas kognitif atau intelektual.  Perkembangan intelektual erat hubungannya dengan belajar, sehingga perkembangan intelektual ini dapat dijadikan landasan untuk memahami belajar.
            Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a.       Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b.      Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c.       Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d.      Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e.       Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

Zona perkembangan proksimal adalah sebuah konsep yang diciptakan oleh psikolog mani Lev Vygotsky. Menurut Vygotsky, zona perkembangan proksimal "adalah jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti yang ditentukan oleh masalah pemecahan independen dan tingkat perkembangan potensial ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau bekerjasama dengan rekan-rekan mampu lebih." (Vygotsky, 1978) Dengan kata lain, itu adalah berbagai kemampuan bahwa seseorang dapat melakukan dengan bantuan, tetapi belum bisa melakukan secara mandiri. 
Vygotsky percaya bahwa interaksi teman sebaya merupakan bagian penting dari proses pembelajaran. Agar anak-anak untuk belajar keterampilan baru, ia menyarankan pasangan siswa lebih kompeten dengan yang kurang terampil. Ketika seorang siswa di zona pembangunan proksimal, menyediakan mereka dengan bantuan yang tepat dan alat-alat, yang ia disebut sebagai perancah, memberikan siswa apa yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan tugas baru atau keterampilan. Akhirnya, perancah dapat dihapus dan siswa akan dapat menyelesaikan tugas secara mandiri. Adalah penting untuk menyadari bahwa zona pembangunan proksimal adalah target bergerak. Sebagai seorang pelajar memperoleh keterampilan baru dan kemampuan, zona ini bergerak semakin maju. 
Sebagai contoh, seorang guru di kursus psikologi eksperimental mungkin awalnya memberikan perancah bagi siswa dengan melatih mereka langkah-demi-langkah melalui percobaan mereka. Selanjutnya, guru secara perlahan bisa menghapus perancah dengan hanya memberikan garis besar atau deskripsi singkat tentang bagaimana untuk melanjutkan. Akhirnya, siswa akan diharapkan untuk mengembangkan dan melaksanakan eksperimen secara mandiri.

B. Teori Vygotsky
1. Dasar Teori
            Perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi sosial yang hampa. Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog berkebangsaan Rusia, mengenal poin penting tentang pikiran anak ini lebih dari setengah abad yang lalu. Teori Vygotsky mendapat perhatian yang makin besar ketika memasuki akhir abad ke-20.
            Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920-an dan 1930-an. Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat pada tahun 1960-an. Sejak saat itulah, tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh. Vygotsky adalah pengagum Piaget. Walaupun setuju dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambaran realitas batinnya sendiri.
          Vygotsky mengemukakan ada empat prinsip dasar kunci dalam pembelajaran, yaitu:
1)   Penekanan pada hakekat sosio-kultural pada pembelajaran (the sosiocultural of learning),
2)   Zona perkembangan terdekat (zone of proximal development),
3)   Pemagangan kognitif (cognitive appreticeship)
4)   Perancahan (scaffolding).




Keempat prinsip tersebut secara singkat dijelaskan berikut ini.
Prinsip pertama
          Menurut Vygotsky siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang lain dalam proses pembelajaran.
Prinsip kedua
          Menurut Vygotsky dalam proses perkembangan kemampuan kognitif setiap anak memiliki apa yang disebut zona perkembangan proksimal (zone of proximal development) yang didefinisikan sebagai jarak atau selisih antara tingkat perkembangan anak yang aktual dengan tingkat perkembangan potensial yang lebih tinggi yang bisa dicapai si anak jika ia mendapat bimbingan atau bantuan dari seseorang yang lebih dewasa atau lebih berkompeten.
Prinsip ketiga
          Menurut Vygotsky adalah pemagangan kognitif, yaitu suatu proses dimana seorang siswa belajar setahap demi setahap akan memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan seorang ahli. Seorang ahli bisa orang dewasa atau orang yang lebih tua atau teman sebaya yang telah menguasai permasalahannya.
Prinsip keempat
          Menurut Vygotsky adalah perancahan atau scaffolding, merupakan satu ide kunci yang ditemukan dari gagasan pembelajaran sosial Vygotsky. Perancahan berarti pemberian sejumlah besar bantuan kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian secara perlahan bantuan tersebut dikurangi dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Berdasarkan uraian di atas, maka implikasi utama dari teori Vygotsky terhadap pembelajaran adalah kemampuan untuk mewujudkan tatanan pembelajaran kooperatif dengan dibentuk kelompok-kelompok belajar yang mempunyai tingkat kemampuan berbeda dan penekanan perancahan dalam pembelajaran supaya siswa mempunyai tanggungjawab terhadap belajar. (dari berbagai sumber)

2.  Implikasi Terhadap Pendidikan

            Pengaruh karya Vygotsky terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith et al. (1998).
a.          Anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama melalui  ZPD.
b.         Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak.berlawanan dengan pembelajaran lewat penemuan individu (individual discovery learning), kerja kelompok secara kooperatif                    ( cooperative groupwork) tampaknya mempercepat perkembangan anak.
c.          Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluasa menjadi pengajaran pribadi oleh teman sebaya ( peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam pelajaran. Foot et al. (1990) menjelaskan keberhasilan pengajaran oleh teman sebaya ini dengan menggunakan teori Vygotsky. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bis adengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.