Total Tayangan Halaman
Senin, 31 Oktober 2016
Minggu, 30 Oktober 2016
Sabtu, 29 Oktober 2016
Minggu, 23 Oktober 2016
Jumat, 21 Oktober 2016
Jumat, 07 Oktober 2016
Rabu, 05 Oktober 2016
Sabtu, 01 Oktober 2016
Jumat, 10 Juni 2016
Saman dan Seudati Kesenian Aceh
Tari Saman diciptakan oleh seorang ulama besar dari Samudra Pasai (Pase) untuk media dakwah Islam
yang ia bawa ke pegunungan Leuser yang penduduknya bersuku bangsa Gayo, di bagian Tenggara
Aceh dan kini termasuk kabupaten Gayo Luwes. Dipilih tarian dalam posisi duduk sebagai media
dakwah karena penduduk pegunungan Leuser menyukai tarian dalam posisi tersebut, dan tarian
kembarnya bernama seudati di Pase dalam posisi berdiri.
Dinamakannya tarian tersebut dengan Tari Saman karena ulama besar itu terinspirasi dari Tarekat
Sammaniyah yang pertama kali masuk ke Aceh dibawa oleh gurunya Syekh Abdussamad alFalimbani
sekitar abad ke18
yang ia pelajari dari Syeh Samman (dengan huruf ‘m’ ganda) yang mengajarkan
tarekat Sammaniyah. Sammaniyah adalah tarekat yang mengajarkan zikir dan wirid untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Setelah ke Aceh, Syekh Abdussamad alFalimbani
menyebarkan Tarekat Sammaniyah di Palembang. Ia
mengajarkan doa dan zikir yang didapatkannya dari Syekh Samman. Mulanya tarekat ini murni
mengajarkan zikir yang termuat dalam ratib Samman. Namun dalam perkembangannya, zikir itu
dinyanyikan oleh sekelompok orang, yang di Aceh berkembang jadi Tari Saman dan Tari Seudati. Tari
Saman dipraktikkan dalam posisi duduk karena disesuaikan dengan budaya penduduk Leuser yang
suka menarikan tubuhnya dalam posisi duduk, dan ini sesuai dengan posisi tubuh saat wirid
Sammaniyah yang dikembangkan di Afrika. Sementara tari Seudati dipraktikkan dalam posisi berdiri
karena orang pesisir di Pase suka menari sambil berdiri seperti saat menarik pukat, dan ini sesuai
dengan posisi tubuh sebagian pengikut Tarekat di Turki dan sebagian Afrika.
Tarekat Sammaniyah diamalkan usai melaksanakan shalat lima waktu dan dengan cara duduk bersila.
Salah seorang murid Sekh Abdussamad alFalimbani
adalah lelaki dari Samudra Pasai yang kemudian
jadi ulama dan dikenal dengan Syekh Saman, bukan Syekh Samman dari Arab.
Tarekat berisi zikir dan wirid Sammaniyah terus berkembang di Aceh seperti di Sudan dan Nigeria, tapi
di negara Afrika tersebut, zikir dan wirid Sammaniyah dilaksanakan dengan cara berdiri sambil memuji
kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tak hanya wirid seusai shalat lima waktu, zikir dan wirid Sammaniyah biasanya dilaksanakan pada
peringatan hari besar Islam, seperti maulid Nabi saw, Isra Miraj, dan sebagainya. Sementara di Aceh
zikir dan wirid Sammaniayah dibacakan dalam posisi duduk, makanya Tari Saman yang terispirasi dari
tarekat ini di Aceh pun dilakukan dalam posisi duduk.
Untuk mengembangkan ajarannya, Syekh Samman menulis sejumlah ratib yang terkenal dengan nama
Ratib Samman. Di Aceh, Ratib Samman dan atau Hikayat Samman, sangat terkenal. Ratib Samman
kemudian berubah menjadi suatu macam permainan atau tarian rakyat yang terkenal dengan nama
seudati di Samudra Pasai, yang bermakna tarian.
Beberapa ulama Aceh di masa itu, pernah menentang pembacaan Ratib Saman yang dinyanyikan atau
ditarikan. Tarian meusaman
atau meuseudati
ini dimainkan minimal oleh delapan orang lelaki atau
perempuan ditambah seorang syeh.
Tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari Arab oleh muridmurid
Abdussamad
AlFalimbani.
Syekh Samman seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah.
9+
Syekh Samman, awalnya merupakan pengikut dari berbagai tarekat, seperti Khalwatiyah, Qadiriyah,
Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. Kemudian Syehkh Samman memadukan berbagai unsur tarekattarekat
tersebut menjadi cabang tarekat tersendiri dengan nama Tarekat Sammaniyah, sebagai ciri
khasnya.
Tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan,
Sumatra terutama Palembang dan beberapa daerah lainnya seperti Jayakarta. Tarekat Sammaniyah
berciri khas, antara lain; zikirnya yang keraskeras
dengan suara yang tinggi dari pengikutnya sewaktu
melakukan zikir Laa ilaaha illa Allah, di samping itu juga terkenal dengan Ratib Samman yang hanya
mempergunakan perkataan Hu, Dia Allah, kalau diartikan dalam bahasa Aceh Muda (Melayu).
Ulama besar dari Pase mengembangkan Tari Saman diisinya dengan petuah agama, petunjuk hidup,
dan sebagainya sebagai pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan, dan
kebersamaan dalam menjalani hidup.
Untuk menyatukan diri dengan masyarakat di pegunungan Leuser dan mengihindari kecurigaan
penduduk bahwa ia membawa ajaran agama baru, maka pada awalnya, Syeh Saman membuat Tari
Saman sebagai permainan rakyat yang di tempat dikembangkannya disebut Pok Ane.
Tari Saman diperankan secara berkelompok, paling sedikit delapan orang, dan kadang sampai 17
orang. Pimpinan tarian ini disebut syeh yang duduk di posisi nomor sembilan (tengah). Tari Saman
diawali dengan salam pembuka dari syekh diiringi petuahpetuah
tentang kehidupan.
Setelah timbul minat besar masyarakat Aceh di pegunungan Leuser pada Tari Saman, maka ulama
besar dari Pase tersebut menyisipkan syairsyair
pujipujian
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar Tari
Saman menjadi media dakwahnya dan menyertakan semangat perjuangan membela bangsa dan
agama.
Setelah penduduk merasa dirinya telah menyatu dengan syairsyair
dan petuah dalam Tari Saman,
maka Syeh Saman baru mengenalkan ketauhidan Islam secara resmi dan meminta penduduk Leuser
memeluk agama Islam. Saat itulah ulama besar dari Pase itu menamakan tarian tersebut dengan Tari
Saman dan penduduk memanggilnya dengan ‘Syeh Saman,’ karena ia mengajarkan bahwa pemimpin
tari itu disebut syekh.
Maka terkenallah ulama besar dari Pase itu dengan nama Syekh Saman (tanpa huruf ‘m’ ganda),
karena dalam budaya Aceh di masa silam, orang enggan nama aslinya disebut demi menghindari tinggi
hati.
Penduduk dilatih Tari Saman di bawah kolong meunasah yang dibangun sebagai tempat pertemuan
penduduk dan menjadi pusat pengembangan agama dan tempat musyawarah semua urusan.
Meunasah adalah bangunan berbentuk surau seperti rumah panggung dalam budaya Aceh, tapi
kebanyakan dindingnya setengah tiang, tidak mencapai atap. Kolong meunasah dipilih sebagai tempat
latihan tari Saman agar orang yang berlatih dapat shalat berjamaah setelah latihan.
Tari Saman dan Tari Seudati telah berkembang seiring zaman. Jika dulu sebagai media dakwah
menyebarkan Islam, maka kini, tari Saman dan Seudati sebagai seni yang telah menjadi budaya di
Aceh. Dan, tanpa cinta, Tari Saman dan Tari Seudati tidak akan pernah hadir. Begitu Islam kuat di Aceh,
maka Seudati dan Saman, tinggallah sebagai tarian.
Kilas Sejarah Kerajaan Turki Utsmani
BAB I Pendahuluan
Dinasti Turki Usmani merupakan kekhalifahan yang cukup besar dalam Islam dan memiliki pengaruh cukup signifikan dalam perkembangan wilayah Isalm di Asia, Afrika, dan Eropa. Bangsa Turki memiliki peran yang sangat penting dalam perkrmbangan peradaban Islam. Peran yang paling menonjol terlihat dalam birokrasi pemerintahan yang bekerja untuk para khalifah Bani Abbasiyah. Kemudian mereka sendiri membangun kekuasaan yang sekalipun independen, tetapi masih tetap mengaku loyal kepada khalifah Bani Abbasiyah. Hal tersebut ditunjukkan dengan munculnya Bani Saljuk.[1]
Munculnya dinasti Usmani di Turki terjadi pada saat dunia Islam mengalami fragmentasi kekuasaan pada periode kedua dari pemerintahan Abbasiyah (kira-kira abad ke-9). Sebelum itu, sekalipun telah ada kekuasaan Bani Umayyah di Andalusia dan semakin Bani Idris di bagian Afrika Utara, fregmentasi itu semakin menjadi sejak abad ke-9 M. Pada abad itu muncul berbagai dinasti seperti Bani Aghlab di Kairawan, Bani Thulun di Mesir, Bani Saman di Bukhara dan Bani Buwaih di Baghdad dan Syiraz.[2]
Kerajaan Usmani (Ottoman) berkuasa secara meluas di Asia Kecil sejak munculnya pembina dinasti itu yaitu Ottoman, pada tahun 1306 M. Golongan Ottoman mengambil nama mereka dari Usman I (1290-1326 M), pendiri kerajaan ini dan keturunannya berkuasa sampai 1922. Di antara negara muslim, Turki Usmani yang dapat mendirikan kerajaan yang paling besar serta paling lama berkuasa. Pada masa Sultan Usman, orang Turki bukan hanya merebut negara-negara Arab, tetapi juga seluruh daerah antara Kaukasus dan kota Wina. Dari Istambul, ibu kota kerajaan itu, mereka menguasai daerah-daerah di sekitar laut tengah dan berabad-abad lamanya Turki merupakan faktor penting dalam perhitungan ahli-ahli politik di Eropa Barat. Dinasti Turki Usmani merupakan kekhalifahan Islam yang mempunyai pengaruh besar dalam perdaban di dunia Islam.[3]
BAB II
Pembahasan
- A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Usmani
Nama kerajaan Turki Usmani diambil dan dibangsakan kepada nenek moyang mereka yang pertama, Sultan Utsmani Ibnu Sauji Ibnu Orthogol Ibnu Sulaiman Syah Ibnu Kia Alp, kepala kabilah Kab di Asia Tengah.[4] Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghus yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Iraq. Mereka masuk Islam sekitar abad kesembilan atau kesepuluh, ketika mereka menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M, mereka melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat pengungsian di tengah-tengah saudara-saudara mereka, orang-orang Turki Seljuk, di dataran tinggi Asia Kecil. Di sana, di bawah pimpinan Erthogul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk yang kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapat kemenangan. Atas jasa baik itu, Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu, mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud sebagai ibu kota.[5]
Erthoghul meninggal dunia tahun 1289 M. Kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Usman. Putra Erthogul inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani, Usman memerintah antara tahun 1290 M dan1326 M. Sebagaimana ayahnya, ia banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan kota Broessa. Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah, kerajaan Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering di sebut juga Usman I.[6]
Setelah Usman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al Usman (raja besar keluarga Usman) tahun 699 H (1300 M), setapak demi setapak wilayah kerajaan dapat diperluasnya. Ia menyerang daerah perbatasan Bizantium dan menaklukan kota Broessa tahun 1317 M, kemudian, pada tahun 1326 M dijadikan sebagai ibu kota kerajaan. Pada masa pemerintahan Orkhan (726 H/1326 M-761 H/1359 M) Kerajaan Turki Usmani ini dapat menaklukkan Azmir (Smirna) tahun 1327 M, Thawasyanli (1330 M), Uskandar (1338 M), Ankara (1354 M), dan Gallipoli (1356 M). Daerah ini adalah bagian benua Eroopa yang pertama kali diduduki kerajaan Usmani.[7]
Ketika Murad I, pengganti Orkhan, berkuasa (761 H/1359 M-789 H/1389 M), selain memantapkan keamanan dalam negeri, ia melakukan perluasan daerah ke Benua Eropa. Ia dapat menaklukkan Adrianopel yang kemudian dijadikannya ibu kota kerajaan baru, Macedonia, Sopia, Salonia, dan seluruh wilayah bagian utara Yunani. Merasa cemas terhadap kemajuan ekspansi kerajaan ini ke Eropa, Paus mengobarkan semangat perang. Sejumlah besar pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk memukul mundur Turki Usmani. Pasukan ini dipimpin oleh Sijisman, raja Hongaria. Namun, Sultan Bayazid I (1389-1402 M), pengganti Murad I, dapat menghancurkan pasukan sekutu Kristen Eropa tersebut. Peristiwa ini merupakan cacatan sejarah yang amat gemilang bagi umat Islam.[8]
Ekspansi kerajaan Usmani sempat terhenti beberapa lama. Ketika ekspansi diarahkan ke Konstantinopel, tentara Mongol yang dipimpin Timur Lenk melakukan serangan ke Asia Kecil. Pertempuran hebat terjadi di Ankara tahun 1402 M. Tentara Turki Usmani mengalami kekalahan. Bayazid bersama putranya, Musa tertawan dan wafat dalam tawanan tahun 1403 M. Kekelahan Bayazid di Ankara itu membawa akibat buruk bagi Turki Usmani. Penguasa-penguasa Seljuk di Asia Kecil melepaskan diri dari genggaman Turki Usmani. Wilayah-wilayah Serbia dan Bulgaria juga memproklamasikan kemerdekaan. Dalam pada itu, putra-putra Bayazid saling berebut kekuasaan. Suasana buruk ini baru berakhir setelah Sultan Muhammad I (1403-1421 M) dapat mengatasinya. Sultan Muhammad berusaha keras menyatukan negaranya dan mengembalikan kekuatan dan kekuasaan seperti sediakala.[9]
Setelah Timur Lenk meninggal dunia tahun 1405 M, kesultanan Mongol dipecah dan dibagi-bagi kepada putra-putranya yang satu sama lain saling berselisih. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penguasa Turki Usmani untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mongol. Namun, pada saat seperti itu juga terjadi perselisihan antara putra-putra Bayazid (Muhammad, Isa, Dan Sulaiman). Setelah perebutan kekuasaan terjadi, akhirnya Muhammad berhasil mengalahkan saudara-saudaranya. Usaha Muhammad yang pertama kali ialah mengadakan perbaikan-perbaikan dan meletakkan dasar-dasar keamanan dalam negri. Usahanya ini diteruskan Murad II (1421-1451 M), sehingga Turki Usmani mencapai puncak kemajuannya pada masa Muhammad II atau biasa disebut Muhammad Al-Fatih (1451-1484 M).[10]
Sultan Muhammad Al-Fatih dapat mengalahkan Bizantium dan menaklukkan Konstantinopel sebagai benteng pertahanan terkuat Kerajaan Bizantium, lebih mudahlah arus ekspansi Turki Usmani ke Benua Eropa. Akan tetapi ketika Sultan Salim I (1512-1520 M) naik tahta, ia mengalihkan perhatian ke arah timur dengan menaklukkan Persia, Syiria, dan dinasti Mamalik di Mesir. Usaha Sultan Salim I ini di kembangkan oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566 M). Ia tidak mengarahkan ekspansinya ke salah satu ke arah timur atau barat, tetapi seluruh wilayah yang berada di sekitar Turki Usamani merupakan obyek yang menggoda hatinya. Sulaiman berhasil menundukkan Irak, Belgrado, Pulau Rodhes, Tunis, Budapes, dan Yaman. Dengan demikian, luas wilayah Turki Usmani pada masa Sultan Sulaiman Al-Qanuni mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Syiria, Hejaz, dan Yaman di Asia; Mesir, Libia, Tunis, dan Al-Jazair di Afrika; Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, dan Rumania di Eropa.[11]
Setelan Sultan Sulaiman meninggal dunia, terjadilah perebutan kekuasaan antara putra-putranya, yang menyebabkan Kerajaan Turki Usmani mundur. Akan tetapi, meskipun mengalami kemunduran, kerajaan ini untuk masa beberapa abad masih dipandang sebagai negara yang kuat, terutama dalam bidang militer.[12]
Kejayaan Turki Usmani dialami pada abad ke-16, ketika Dinasti Turki Usmani mencapai kejayaannya sehingga daerah kekuasaannya itu membentang dari selat Persia di Asia sampai ke pintu gerbang kota Wina di Eropa dan dari laut Gaspienne di Asia sampai ke Al-Jazair di Afrika Barat. Penduduk Dinasti Turki Usmani terdiri dari bangsa Eropa yang berasal dari Hongaria bahkan yang beragama Nasrani dan mereka ini pula yang melanjutkan pengaruh Barat menjangkit kepada minoritas Turki yang ada di tempat itu. Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Turki Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam aspek peradabannya.[13]
- B. Penaklukkan Konstantinopel
Konstantinopel adalah ibu kota Bizantium dan merupakan pusat agama Kristen. Ibu kota Bizantium itu akhirnya dapat ditaklukkan oleh pasukan Islam di bawah Turki Usmani pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II yang bergelar Al-Fatih, artinya sang penakluk. Telah berkali-kali pasukan kaum muslimin sejak masa Dinasti Umayyah berusaha menaklukkan Konstantinopel, tetapi selalu gagal karena kokohnya benteng-benteng di kota tua itu. Baru pada tahun 1453 M kota itu dapat ditundukkan. Sultan mempersiapkan penaklukkan terhadap kota Konstantinopel dengan penuh keseriusan. Dipelajari penyebab kegagalan dalam penaklukkan-penaklukkan sebelumnya. Sultan tidak mau lagi kalah sebagaimana pendahulunya. Ia terlebih dahulu membereskan wilayah-wilayah yang membangkang di Asia Kecil. Datanglah kesempatan yang dinanti-nanti, yakni ketika kaisar Konstantin IX mengancam Sultan untuk membayar pajak yang tinggi kepada pihaknya, dan jika tidak tunduk pada perintah tersebut maka akan diganggu kedudukannya dengan menundukkan Orkhan, salah seorang cucu Sulaiman, sebagai Sultan. Ancaman tersebut dihadapi dengan kebulatan tekad, yakni membuat benteng-benteng di sekeliling Konstantinopel. Sultan berkilah bahwa benteng-benteng itu dibangun untuk melindungi dan mengawasi rakyatnya yang lalu lalang ke Eropa melalui wilayah Bosporos itu.[14]
Konstantinopel akhirnya dapat dikepung dari segala penjuru oleh pasukan Sultan Muhammad II yang berjumlah kira-kira 250.000 di bawah pimpinan Sultan sendiri. Kaisar Bizantium meminta bantuan kepada Paus di Roma dan raja-raja Kristen di Eropa, tetapi tanpa hasil, bahkan ia dicemooh oleh rakyatnya sendiri karena merendahkan martabatnya. Raja-raja Eropa juga tidak ingin membantunya karena mereka ada perselisihan yang belum terselesaikan. Hanya pasukan Vinicia yang ingin membantu karena memiliki kepentingan dagang di wilayah Usmani. Tentara Vinicia merintangi kapal-kapal Usmani dengan merentangkan rantai besar di selat Busporus. Sultan tidak kehilangan akal, dinaikkanlah kapal-kapal itu di daratan dengan menggunakan balok-balok kayu untuk landasannya, dan berhasil memindahkannya ke sisi barat kota. Maka terperanjatlah pasukan Bizantium dengan srategi Sultan yang telah mengepung kota selama 53 hari. Dalam masa itu meriam-meriam Turki dimuntahkan ke arah kota dan menghancurkan benteng-benteng dan dinding-dindingnya sehingga menyerahlah Konstantinopel pada tanggal 28 Mei 1453. Dalam pertempuran itu Kaisar mati terbunuh, dan Konstantinopel jatuh ke tangan Usmani. Sultan Muhammad II memasuki kota, kemudian menggati nama Konstantinopel menjadi Istambul, dan menjadikannya sebagai ibu kota. Sultan mengubah gereja Aya Shopia menjadi masjid, dan di samping itu ia membangun masjid dengan nama Masjid Muhammad sebagai peringatan bagi keberhasilannya dalam menundukkan kota itu.[15]
Dengan jatuhnya Konstantinopel, pengaruhnya sangat besar bagi Turki Usmani. Konstantinopel adalah kota pusat kerajaan Bizantium yang menyimpan banyak ilmu pengetahuan dan menjadi pusat agama Kristen Ortodoks. Kesemuanya itu diwariskan kepada Usmani. Dari segi letak kota itu sangat srategis karena menghubungkan dua benua secara langsung, Eropa dan Asia. Penaklukkan kota itu memudahkan mobilisasi pasukan dari Anatolia ke Eropa. Walaupun para Sultan Usmani setelah Sulaiman yang Agung pada umumnya lemah, tetapi serangan terhadap terhadap Eropa masih berlangsung terutama untuk menaklukkan kota Wina di Austria. Kota Wina itu dikepung berkali-kali, tetapi tidak dapat dilakukan. Yang terakhir kali kota Wina di Austria dikepung oleh pasukan Usmani pada tahun 1683, namun tanpa hasil yang memuaskan.[16]
- C. Peradaban Islam di Turki
Sejak masa Usman bin Artaghol (1299-1326 M), yang dianggap pembina pertama Kerajaan Turki Usamani dengan nama imperium Ottoman, timbullah kemajuan dalam berbagai bidang agama Islam. Turki membawa pengaruh cukup baik dalam bidang ekspansi agama Islam ke Eropa. Kemajuan lainnya antara lain dalam bidang militer dan pemerintahan, bidang ilmu pengetahuan dan budaya, serta dalam bidang keagamaan. Dalam perkembangannya Turki cukup berpengaruh dalam bidang peradaban Islam, dengan corak peradaban yang khas. Pengaruh budaya tersebut sampai ke berbagai wilayah Turki Usmani yang wilayahnya begitu luas dalam dunia Islam.[17]
- Bidang Pemerintahan dan Militer
Para pemimpin Kerajaan Usmani pada masa-masa pertama adalah orang-orang yang kuat, sehingga kerajaan dapat melakukan ekspansi dengan cepat dan luas. Meskipun demikian, kemajuan Kerajaan Usmani sehingga mencapai masa keemasannya itu, bukan semata-mata karena keunggulan politik para pemimpinnya. Masih banyak faktor lain yang mendukung keberhasilan ekspansi itu. Yang terpenting diantaranya adalah keberanian, keterampilan, ketangguhan, dan kekuatan militernya yang sanggup bertempur kapan saja. Kekuatan militer kerajaan ini mulai diorganisasi dengan baik dan teratur ketika terjadi kontak senjata dengan Eropa. Pengorganisasian yang baik dan srategi tempur militer Usmani berlangsung dengan baik. Pembaruan dalam tubuh organisasi militer oleo Orkhan sangat berarti bagi pembaruan militer Turki. Bangsa-bangsa non-Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam dijadikan prajurit. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut pasukan Yeniseri atau Inkisyariah. Pasukan inilalah yang dapat mengubah Kerajaan Usamani menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang amat besar dalam penaklukan negeri-negeri non-muslim di timur yang berhasil dengan sukses.[18]
Di samping Yenisseri, ada lagi prajurit dari tentara kaum feodal yang dikirim kepada pemerintah pusat. Pasukan ini disebut tentara atau kelompok militer Thaujiah. Angkatan laut pun dibenahi, karena ia memiliki peranan besar dalam perjalanan ekspansi Turki Usmani. Pada abad ke-16 angkatan laut Turki Usamani mencapai puncak kejayaannya. Kekeuatan militer Turki Usamani yang tangguh itu denagn cepat dapat menguasai wilayah yang sangat luas, baik di Asia, Afrika, maupun Eropa. Faktor utama yang mendorong kemajuan di lapangan militer ini ialah tabiat TUrki itu sendiri yang bersifat militer, berdisiplin, dan patuh terhadap peraturan. Tabiat ini merupakan tabiat alami yang mereka warisi dari nenek moyangnya di Asia Tengah. Keberhasilan ekspansi tersebut diberengi pula dengan terciptanya jaringan pemerintahan yang teratur. Dalam mengelola pemerintahan yang luas, sultan-sultan Turki Usamani senantiasa bertindak tegas. Dalam sruktur pemerintahan, Sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh Shadr Al-‘Azham (perdana menteri) yang membawahi Pasya (gubernur). Gubernur mengepalai daerah tingkta I. Di bawahnya terdapat beberapa orang Az-Zanaziq (bupati).[19]
Untuk mengatur urusan pemerintahan negara, di masa Sultan Sulaiman I disusun sebuah kitab Undang-Undang (qanun). Kitab tersebut diberi nama Multaqa Ql-Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usamani sampai datangnya refomasi pada abad ke-19. Karena jasa Sultan Sulaiman I yang amat berharga ini, di ujung namanya ditambah gelar Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Kemajuan dalam bidang kemiliteran dan pemerintahan ini membawa Dinasti Turki Usamani menjadi sebuah negara yang cukup disegani pada masa kejayaannya.[20]
- Bidang Imu Pengetahuan
Peradaban Turki Usamani merupakan perpaduan bermacam-macam peradaban, diantaranya adalah peradaban Persia, Bizantium, dan Arab. Dari peradaban Persia, mereka banyak mengambil ajaran-ajaran tentang etika dan tata krama dalam istana raja-raja. Organisasi pemerintahan dan kemiliteran banyak mereka serap dari Bizantium. Sekarang ajaran tentang prinsip-prinsip ekonomi, sosial, kemasyarakatan dan keilmuan mereka terima dari orang-orang Turki Usmani yang dikenal sebagai bangsa yang senang dan mudah berasimilasi dengan bangsa asing dan terbuka untuk menerima kebudayaan dari luar.[21]
Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan mereka tampak tidak begitu menonjol. Karena itulah dalam khazanah intelektual Islam kita tidak menemukan ilmuwan terkemuka dari Turki Usmani.[22]
- Bidang Kebudayaan
Dinasti Usmani di Turki, telah membawa peradaban Islam menjadi peradaban yang cukup maju pada zaman kemajuannya. Dalam bidang kebudayaan Turki Usmani banyak muncul tokoh-tokoh penting seperti yang terlihat pada abad ke-16, 17, dan 18. Antara lain abad ke-17, muncul penyair yang terkenal yaitu Nafi’ (1582-1636 M). Nafi’ bekerja untuk Murad Pasya dengan menghasilkan karya-karya sastra Kaside yang mendapat di hati parea Sultan.Di antara penulis yang membawa pengaruh Persi ke dalam istana Usmani adalah Yusuf Nabi (1642-1712 M), ia muncul sebagai juru tulis bagi Musahif Mustafa, salah seorang menteri Persia dan ilmu-ilmu agama. Yusuf Nabi menunjukkan pengetahuannya yang luar biasa dalam puisinya. Menyentuh hampir semua persoalan agama, filsafat, roman, cinta, anggur dan mistisisme, ia juga membahas biografi, sejarah, bentuk prosa, geografi, dan rekaman perjalanan. Dalam bidang sastra prosa Kerajaan Usamani melahirkan dua tokoh terkemuka, yaitu Katip Celebi dan Evliya Celebi. Yang terbesar dari semua penulis adalah Mustafa bin Abdullah, yang dikenal dengan Katip Celebi atau Haji Halife (1609-1657 M). Ia menulis buku bergambar dalam karya terbesarnya Kasyf Az-Zunun fi Asmai Al-Kutub wa Al-Funun, sebuah presentasi biografi penulis-penulis penting di dunia timur bersama daftar dan deskripsi lebih dari 1.500 buku berbahasa Turki, Persia, dan Arab, ia pun menulis buku-buku yang lain.[23]
Salah seorang penyair diwan yang paling terkenal adalah Muhammad Esat Efendi yang dikenal dengan Galip Dede atau Syah Galip (1757-1799 M). Adapun di bidang pengembangan seni arsitektur Islam, pengaruh Turki sangat dominan, misalnya bangunan-bangunan masjid yang indah, seperti Masjid Al-Muhammadi atau Masjid Sultan Al-Fatih, Masjid Agung Sultan Sulaiman, dan Masjid Aya Shopia yang berasal dari sebuah gereja. Pada masa Sultan Sulaimana di kota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun masjid, sekolah, rumah sakit, gedung, jembatan, saluran air, villa dan pemandian umum. Disebutkan bahwa 235 buah bangunan itu dibangun di bawah coordinator Sinan, seorang arsutek asal Anatolia. Dalam hal pembangunan dan sni arsitek, Turki Usmani telah menghasilkan keindahan-keindahan yang tinggi nilainya, dan bercorak khusus sehinga membedakan dengan peradaban dan kebudayaan daulah Islam lainnya.[24]
- Bidang Keagamaan
Dalam tradisi masyarakat Turki, agama merupakan sebuah faktor penting dalam transformasi sosial dan politik seluruh masyarakat. Masyarakat digolongkan berdasarkan agama, dan kerajaan sendiri sangat terikat denagn syariat sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Ulama memiliki peranan penting agama tertinggi berwenang memberi fatwa resmi terhadap problema keagamaan yang dihadapi masyarakat. Tanpa legitimasi Mufti, keputusan hukum kerajaan bias tidak berjalan. Kehidupan keagamaan pada masyarakat Turki Usmani mengalami kemajuan, termasuk dalam hal ini adalah kehidupan tarekat. Tarekat yang berkembang ialah tarekat Bektasyi, dan tarekat Maulawi. Kedua tarekat ini banyak dianut oleh kalangan sipil dan militer. Tarekat Bektasyi ini memiliki pengaruh yang sangat dominan di kalangan Yenisseri, sehinga mereka sering disebut tentara Bektasyi. Sementara tarekat Maulawi mwndapat dukungan dari para penguasa dalam mengimbangi Yenisseri Bektasyi.[25]
Kajian mengenai ilmu-ilmu keagamaan Islam, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan hadits boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan yang berarti. Para penguasa lebih cenderung untuk menegakkan satu faham (madzhab) keagamaan dan menekan madzhab lainnya. Sultan Abdul Hamid misalnya, begitu fanatik terhadap aliran Al-Asy’ariyah. Ia merasa perlu mempertahankan aliran tersebut dari kritikan aliran lain. Sultan memerinyahkan kepada Syaikh Husein AL-Jisr Ath-Tharablusi menulis kitab Al-Husun Al-Hamidiyah (Benteng Pertahanan Abdul Hamid), yang mengupas tentang masalah ilmu kalam, untuk melestarikan aliran yang dianutnya. Akibat kelesuan di bidang ilmu keagamaan dan fanatik yang berlebihan maka ijtihad tidak berkembang. Ulama hanya menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya-karya klasik.[26]
Bagaimanapun, Kerajaan Turki Usmani banyak berjasa, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam ke benua Eropa. Ekspansi kerajaan ini untuk pertama kalinya lebih banyak ditujukan ke Eropa Timur yang belum masuk dalam wilayah kekuasaan dan agama Islam. Akan tetapi, karena dalam bidang peradaban dan kebudayaan kecuali dalam hal yang bersifat fisik perkembangannya jauh berada di bawah kemajuan politik, maka negeri-negeri yang sudah ditaklukkan itu akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan pusat, dan perjalanan dakwah belum berhasil dengan maksimal.[27]
- D. Kemunduran Turki Usmani
Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani mulai memasuki fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman Al-Qanuni diganti oleh Salim II (1566-1573 M). Di masa pemerintahannya, terjadi pertempuran antara armada laut Kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin Don Juan dari Spanyol. Pertempuran itu terjadi di Selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini, Turki Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut musuh. Baru pada sulta berikutnya, Sultan Murad III, pada tahun 1575 M Tunisia dapat direbut kembali. Walaupun Sultan Murad II (1574-1595 M) berkepribadian jelek dan suka memperturutkan hawa nafsunya, Kerajaa Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabriz, ibukota Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandai dan mengalahkan gubernur Bosnia pada tahun 1593 M. Namun, kehidupan moral sultan yang jelek menyebabkan kekacauan dalam negeri. Kekacauan ini semakin menjadi-jadi denagn tampilnya Sultan Muhammad III (1595-1603 M), pengganti Murad II, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 19 orang dan menenggelamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentinagn pribadi. Dalam situasi yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani. Meskipun Sultan Ahmad I (1603-1617 M), pengganti Muhammad II, sempat memperbaiki situasi dalam negeri, tetapi kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa Eropa sudah mulai memudar. Sesudah Sultan Ahmad I (1617-1618 M), situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I masa pemerinthannya yang pertama (1617-1618 M) dan kedua, (1622-1623 M). Karena gejolak politik dalam negeri tidak bias diatasinya, Syaikh A-Islam mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan diganti oleh Usman II (1618-1622 M). Namun, yang tersebut terakhir ini juga idak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian, bangsa Persia bangkit mengadakan perlawanan merebut kekuasaannya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut. Langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV (1623-1640 M). Pertama-tama, ia mencoba menyusun dan menerbitka pemerintahan . Pasukan Jenissari yang pernah menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi negara secara keseluruhan.[28]
Situasi polotik yang sudah mulai membaik itu kembali merosot pada masa pemerintahan Ibrahim (1640-1648 M), karena ia termasuk orang yang lemah. Pada masanya ini, orang-orang Venetia melakukan peperangan laut melawan dan berhasil mengusir orang-orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu membawa Muhammad Koprulu (berasal dari Kopru dekat Amasia di Asia Kecil) pada kedudukan sebagai wazir atau shadr al-a’zham (perdana menteri) yang diberikan kekuasaan absolut. Ia berhasil mengembalikan peraturan dan mengkondolidasikan stabilitas keuangan Negara. Setelah Koprulu meninggal (1661 M), jabatannya dipegang oleh anaknya, Ibrahim. Ibrahim menyangka bahwa kekuatan militernya sudah pulih. Karena itu, ia menyerbu Hongaria dan mengancam Vienna. Namun, perhitungan Ibrahim meleset, ia kalah dalam pertempuran itu secara berturut-turut. Pada masa-masa selanjutnya, wilayah Turki Usmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya, direbut oleh negara-negara Eropa yang baru mulai bangun. Pada tahun 1699 M, terjadi “Perjanjian Karlowith” yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Crosia kepada Hapsburg dan Hemenietz, Palodia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada orang-orang Venetia. Pada tahun 1770 M, tentara Rusia mengalahkan armada kerajaan Usmani di sepanjang pantai Asia Kecil. Akan tetapi, tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh Sultan Mustafa III (1757-1774 M) yang segera dapat mengkonsolidasi kekuatannya. Sultan Mustafa III diganti oleh saudaranya, Sultan Abd Al-Hamid (1774-1789 M), seorang yang lemah. Tidak lama setelah naik tahta, di Kutchuk Kinarja, ia mengadakan perjanjian yang dinamakan “Perjanjia Kinarja” dengan Cathrine II dari Rusia. Isi perjanjian itu antara lain:(1) Kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di Laut Hitam kepada Rusia dan member izin kepada armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut hitan dan Laut Putih, dan (2) Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).[29]
Demikianlah prose kemunduran yang terjadi di Kerajaan Usmani selama dua abad lebih setelah ditinggal Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Tidak ada tanda-tanda membaik sampai paroh pertama abadke-19 M. Oleh karena itu, satu per satu negeri-negeri di Eropa yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya negeri-negeri di Eropa yang memang sedang mengalami kemajuan yang memberontak. Di Mesir, kelemahan-kelemahan Kerajaan Usmani membuat Mamalik bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M, Mamalik kembali berkusa di Mesir, sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari Perancis tahun 1789 M. Di Lebanon dan Syiria, Fakhr Al-Din, seorang pemimpin Druze, berhasi menguasai Palestina dan pada tahun 1610 M, merampas Ba’albak dan mengancam Damaskus. Fakhr Al-Din baru menyerah pada tahun1635 M. Di Persia, Kerajaan Safawi ketika masih jaya beberpa kali mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Usmani dan beberapa kali pula ia keluar sebagai pemenang. Sementara itu, di Arabia bangkit kekuatan baru, yaitu aliansi antara pemimpin agama Muhammad ibn Abd Al-Wahhab yang dikenal dengan geraka Wahhabiyah dengan penguasa local Ibn Sa’ud. Mereka berhasil mengusai beberpa daerah di jazirah Arab dan sekitarnya di awal paroh kedua abad ke-18 M. Dengan demikian, pemberontakan-pemberontakan yang terjadi d Kerajaan Usmani ketika ia sedang mengalami kemunduran, bukan saja terjadi di daerah-daerah yang yang tidak beragama Islam, tetapi juga di daerah-daerah berpanduduk Muslim. Gerakan-gerakan seperti itu terus berlanjut dan bahkan menjadi lebih keras pada masa-masa sesudahnya, yaitu pada abad ke-19 dan ke-20 M. Ditambah dengan geraka pembaharuan politik di pusat pemerintahan, Kerajaan Usmani berakhir dengan berdirinya Republik Turki pada tahun 1924 M.[30]
Banyak faktor yang menyebabkan Kerajaan Usmani itu mengalami kemunduran, di antaranya adalah:[31]
- Wilayah kekuasaan yang sangat luas
Admistrasi pemerintahan bagi suatu negara yang amat luas wilayahnya sangat rumit dan kompleks, sementara administrasi pemerintahan Kerajaan Usmani tidak beres. Di pihak lain, para penguasa sangat berambisi menguasai wilayah yang sangat luas, sehinga mereka terlibat terus menerus dengan bebagai bangsa. Hal itu tentu menyedot banyak potensi yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun negara.
- Heterogenitas Penduduk
Sebagai kerajaan besar, Turki Usmani menguasai wilayah yang amat luas, mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Syiria, Hejaz, dan Yaman di Asia; Mesir, Libia , Tunis, dan Al-Jazair di Afrika; dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.Wilayah yang luas itu didiami oleh penduduk yang beragam, baik dari segi agama, ras, etnis, maupun adat istiadat. Untuk mengatur penduduk yang beragam dan tersebar di wilayah itu, diperlukan organisasi pemerintahan yang teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik, Kerajaan Usmani hanya akan menanggung beban yang berat akibat heterogenitas tersebut. Perbedaan bangsa dan agama acap kali melatarbelakangi terjadinya pemberontakan dan peperangan.
- Kelemahan Para Penguasa
Sepeninggalan Sulaiman AL-Qanuni, Kerajaan Usmani diperintah oleh sultan-sultan yang lemah, baik dalam kepribadian terutama dalam kepemimpinannya. Akibatnya, pemerintahan menjadi kacau. Kekacauan itu tidak pernah dapat diatasisecara sempurna, bahkan semakin lama menjadi semakin parah.
- Budaya Pungli
Pungli merupakan perbuatan yang sudah umum terjadi dalam Kerajaan Usmani. Setiap jabatan yang hendak diraih oleh seseorang harus “dibayar” dengan sogokan kepada orang yang berhak memberikan jabatan tersebut. Berjangkitnya budaya pungli ini mengakibatkan dekadensi moral kian merajalela yang membuat pejabat semakin rapuh.
- Pemberontakan Tentara Jenissari
Kemajuan ekspansi Kerajaan Usmani banyak ditentukan oleh kuatnya tentara Jenissari. Dengan demikian, dapat dibayangkan kalau tentara ini memberontak. Pemberontaka tentara Jenissari terjadi sebanayak empat kali, yaitu pada tahun 1525 M, 1632 M, 1727 M, 1826 M.
- Merosotnya Ekonomi
Akibat perang yang tak pernah berhenti, perekonomian negara merosot. Pendapatan berkurang, sementara belanja negara sangat besar termasuk dalam biaya perang.
- Terjadinya Stagnasi dalam lapangan Ilmu dan Teknologi
Kerajaan Usmani kurang berhasil dalam pengembangan ilmu dan teknologi, karena hanya mengutamakan pengembangan kekuatan militer. Kemajuan militer yang tidak diimbangi oleh kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kerajaan ini tidak sanggup menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju. Tidak terjadinya perkembangan ilmu dan teknologi dalam Kerajaan Usmani, ada kaitan dengan perkembangan metode berpikir tradisional di kalangan umat Islam. Hal itu juga sejalan dengan menurunnya semangat berpikiran bebas akibat tidak berkembangnya pemikiran filsafat sejak masa Al-Ghazali.
Demikianlah proses kemunduran kerajaan besar Usmani. Pada masa selanjutnya, di periode modern, kelemahan kerajaan ini menyebabkan kekuatan-kekuatan Eropa tanpa segan-segan menjajah dan menduduki daerah-daerah Muslim yang dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani, terutama di Timur Tengah dan Afrika.[32]
BAB III
Kesimpulan
- Nama kerajaan Turki Usmani diambil dan dibangsakan kepada nenek moyang mereka yang pertama, Sultan Utsmani Ibnu Sauji Ibnu Orthogol Ibnu Sulaiman Syah Ibnu Kia Alp, kepala kabilah Kab di Asia Tengah.
- Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah, kerajaan Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering di sebut juga Usman I atau Padisyah Al Usman (raja besar keluarga Usman).
- Merasa cemas terhadap kemajuan ekspansi kerajaan ini ke Eropa, Paus mengobarkan semangat perang. Sejumlah besar pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk memukul mundur Turki Usmani. Pasukan ini dipimpin oleh Sijisman, raja Hongaria. Namun, Sultan Bayazid I (1389-1402 M), pengganti Murad I, dapat menghancurkan pasukan sekutu Kristen Eropa tersebut. Peristiwa ini merupakan cacatan sejarah yang amat gemilang bagi umat Islam.
- Konstantinopel adalah ibu kota Bizantium dan merupakan pusat agama Kristen. Ibu kota Bizantium itu akhirnya dapat ditaklukkan oleh pasukan Islam di bawah Turki Usmani pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II yang bergelar Al-Fatih, artinya sang penakluk.
- Turki membawa pengaruh cukup baik dalam bidang ekspansi agama Islam ke Eropa. Kemajuan lainnya antara lain dalam bidang militer dan pemerintahan, bidang ilmu pengetahuan dan budaya, serta dalam bidang keagamaan.
- Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani mulai memasuki fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat.
- Faktor yang menyebabkan Kerajaan Usmani itu mengalami kemunduran, di antaranya adalah:
- Wilayah kekuasaan yang sangat luas,
- Heterogenitas Penduduk,
- Kelemahan Para Penguasa,
- Budaya Pungli,
- Pemberontakan Tentara Jenissari,
- Merosotnya Ekonomi,
- Terjadinya Stagnasi dalam lapangan Ilmu dan Teknologi.
[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009) hal. 193
[2] Ibid; hal. 194
[3] Ibid; hal. 194
[4] Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal. 248
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) hal. 129-130
[6] Ibid; hal. 130
[7] Ibid; hal. 130-131
[8] Ibid; hal. 131
[9] Ibid; hal. 131
[10] Ibid; hal. 131-132
[11] Ibid; hal. 132
[12] Ibid; hal. 133
[13] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009) hal. 197
[14] Ibid; hal. 198
[15] Ibid; hal. 198-199
[16] Ibid; hal. 199-200
[17] Ibid; hal. 200
[18] Ibid; hal. 200-201
[19] Ibid; hal. 201
[20] Ibid; hal. 201-202
[21] Ibid; hal. 202
[22] Ibid; hal. 202
[23] Ibid; hal. 202-203
[24] Ibid; hal. 203
[25] Ibid; hal. 204
[26] Ibid; hal. 204
[27] Ibid; hal. 205
[28] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) hal. 163-164
[29] Ibid; hal. 164-165
[30] Ibid; hal. 165-166
[31] Ibid; hal. 167-168
[32] Ibid; hal. 169
Kamis, 12 Mei 2016
Perubahan Politik, ekonomi dan Sosial Indonesia Abad VII-XIII
Dari hasil identifikasi, jenis kapal berasal dari sekitar abad ke 7 dan 8 setara dengan pembangunan Candi Borobudur. Ini adalah penemuan kapal kayu yang paling komplit dan bisa jadi yang tertua di Indonesia!Dan penemuan tersebut terlengkap di Asia Tenggara karena kondisi kapal tersebut pada lambung bawahnya masih utuh, dibanding temuan di sejumlah wilayah lain seperti di Sumatera dan juga di negara lain seperti di Malaysia dan Filipina.
Kondisi Politik Ekonomi dan Sosial Budaya Indonesia Sebelum Masuknya Islam - Proses islamisasi yang terjadi di Indonesia sangat ditentukan oleh kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang ada sebelumnya. Secara geografis wilayah Indonesia memiliki arti yang sangat penting bagi masuknya unsur-unsur dari luar, karena menjadi jalur lalu lintas perdagangan internasional. Dengan terbukanya wilayah Nusantara memungkinkan masyarakatnya untuk berinteraksi dengan bangsa lain.
1. Kondisi Politik dan Ekonomi Indonesia Sebelum Masuknya Islam
Pada abad ke-7 sampai dengan abad ke-12, Sriwijaya mengalami masa kejayaan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Kejayaan yang dialami Sriwijaya sangat ditentukan oleh letak dari kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim. Sriwijaya merupakan bagian dari jalur perdagangan internasional.
Sebagai pelabuhan, pusat perdagangan, dan pusat kekuasaan, Sriwijaya menguasai pelayaran dan perdagangan di bagian barat Indonesia. Sebagian dari Semenanjung Malaya, Selat Malaka, Sumatra Utara, Selat Sunda yang kesemuanya masuk lingkungan kekuasaan Sriwijaya. Sriwijaya sebagai pusat perdagangan dikunjungi oleh pedagang dari Parsi, Arab dan Cina yang memperdagangkan barang-barang dari negerinya atau negeri yang dilaluinya, sedangkan pedagang Jawa membelinya dan menjual rempah-rempah.

Memasuki abad ke-13, Sriwijaya menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Kekayaan alamnya sudah tidak lagi menghasilkan, kalah dengan hasil kekayaan di Jawa. Untuk menanggulangi ini, Sriwijaya menerapkan bea cukai yang mahal bagi kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhannya, bahkan memaksa agar kapal-kapal asing berlabuh di pelabuhannya.
Tindakan Sriwijaya ini ternyata tidak memberikan keuntungan bagi kerajaannya, justru sebaliknya. Kapal-kapal asing mencoba menghindar untuk berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya.
Kemunduran Sriwijaya diperburuk lagi oleh serangan Kerajaan Singosari dari Jawa melalui ekspedisi Pamalayu. Dengan Pamalayu, supremasi Kerajaan Singosari dapat diletakkan di bekas daerah pengaruh Sriwijaya di Sumatera. Setelah Singosari berkuasa, kemudian muncul Majapahit sebagai kekuatan kerajaan yang memiliki pengaruh yang sangat besar. Kemunculan Majapahit ini semakin memperlemah kedudukan Sriwijaya.
Majapahit pernah tampil sebagai supremasi kekuasaan di wilayah Nusantara, setelah Sriwijaya runtuh. Kejayaan Kerajaan Majapahit dialami pada masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk dengan patihnya yang terkenal yaitu Gajah Mada. Dengan Sumpah Palapanya, Gajah Mada melakukan perluasan wilayah. Majapahit kemudian mengalami kemunduran yang lebih banyak disebabkan oleh adanya konflik internal. Pada tahun 1478, Majapahit mengalami keruntuhannya.
Peradaban Hindu-Buddha sangat berpengaruh pada pembentukan struktur masyarakat di Nusantara. Masyarakat yang Hinduistis merupakan masyarakat dengan struktur yang hierarkis, artinya masyarakat yang mengenal kasta, yaitu kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Hubungan antarkasta ini bersifat vertikal yang sempit, artinya interaksi antar individu hanya terjadi pada kelompok kastanya sendiri.
2. Kondisi Sosial Budaya Indonesia Sebelum Masuknya Islam
Sebelum ditemukannya mesin yang menggerakkan kapal laut, pelayaran kapal-kapal lebih ditentukan oleh arus angin. Sistem angin di kepulauan Nusantara yang dikenal sebagai angin musim (angin muson), memberikan kemungkinan pengembangan jalan pelayaran Barat-Timur pulang balik secara teratur dan berpola tetap. Musim barat dan musim timur sangat menentukan munculnya kota-kota pelabuhan serta pusat-pusat kerajaan sejak aman Sriwijaya sampai akhir Majapahit.
Kehidupan di kota pelabuhan menampakkan suatu kehidupan yang dinamik. Interaksi manusia melalui perdagangan di kota pelabuhan dapat menciptakan unit-unit kehidupan manusia. Interaksi antara unit-unit akan membangun struktur sosial yang dinamik, sehingga akan menampakkan adanya suatu perubahan.
Masyarakat di kota pelabuhan merupakan masyarakat yang urban dan kosmopolit. Terciptalah suatu tatanan masyarakat kota. Interaksi tidak hanya terbatas pada pertukaran barang-barang ekonomi, akan tetapi terjadi pula interaksi budaya antarkelompok masyarakat.
Dengan demikian, kehidupan masyarakat di kota pelabuhan akan menciptakan suatu masyarakat yang terbuka. Dalam masyarakat yang seperti ini, akan memudahkan masuknya unsur budaya dari luar. Apabila unsur budaya itu mampu membangun suatu tatanan kehidupan yang mapan, maka akan menjelma menjadi suatu peradaban.
Sebelum kedatangan Islam di wilayah Nusantara, peradaban yang pernah muncul dan mampu membangun suatu struktur masyarakat yang mapan yaitu Hindu-Buddha. Peradaban Hindu-Buddha sangat berpengaruh pada pembentukan struktur masyarakat di Nusantara. Masyarakat yang dibentuk dalam peradaban ini adalah masyarakat yang memiliki struktur hierarkis.
Dalam masyarakat seperti ini, terdapat lapisan-lapisan sosial yang sangat ketat. Masyarakat terbagi atas kasta yaitu kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Hubungan antarkasta ini bersifat vertikal yang sempit, artinya interaksi antarindividu hanya terjadi pada kelompok kastanya sendiri. Sebagai contoh seorang kasta Ksatria tidak bisa menikah dengan seseorang yang berasal dari Kasta Waisya.
Dalam konsepsi Hindu-Buddha, hubungan antara manusia dan jagad raya bagaikan hubungan kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos. Manusia adalah mikrokosmos dan jagad raya adalah makrokosmos. Menurut kepercayaan ini, manusia senantiasa berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber pada penjuru mata angin, bintang-bintang dan planet-planet.
Tenaga-tenaga ini mungkin menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan atau berakibat kehancuran. Terjadinya kesejahteraan atau kehancuran tergantung pada dapat tidaknya individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat terutama sekali negara, berhasil menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka dengan jagad raya. Keselarasan antara kerajaan dan jagad raya dapat dicapai dengan menyusun kerajaan itu sebagai gambaran sebuah jagad raya dalam bentuk kecil.
Penguasa makrokosmos adalah Dewa, sedangkan penguasa mikrokosmos adalah raja, sehingga lahirlah konsep dewa-raja. Raja adalah wakil dewa di muka bumi. Kedudukan raja dianggap sebagai titisan (inkarnasi) dari dewa atau sebagai keturunan, atau sebagai kedua-duanya, baik sebagai penitisan maupun keturunan dewa.
Raja memiliki kedudukan yang sangat sentral. Hubungan antara raja dengan rakyat membentuk struktur yang patrimonial. Dalam hubungan ini tercipta hubungan kawula dan gusti. Rakyat lebih banyak melakukan kewajibannya. Pemikiran konsep ini tidak memungkinkan adanya suatu bentuk perjanjian sosial (social contract) atau konsep mengenai kewajiban-kewajiban timbal balik antara atasan dan bawahan.
1. Kondisi Politik dan Ekonomi Indonesia Sebelum Masuknya Islam
Pada abad ke-7 sampai dengan abad ke-12, Sriwijaya mengalami masa kejayaan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Kejayaan yang dialami Sriwijaya sangat ditentukan oleh letak dari kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim. Sriwijaya merupakan bagian dari jalur perdagangan internasional.
Sebagai pelabuhan, pusat perdagangan, dan pusat kekuasaan, Sriwijaya menguasai pelayaran dan perdagangan di bagian barat Indonesia. Sebagian dari Semenanjung Malaya, Selat Malaka, Sumatra Utara, Selat Sunda yang kesemuanya masuk lingkungan kekuasaan Sriwijaya. Sriwijaya sebagai pusat perdagangan dikunjungi oleh pedagang dari Parsi, Arab dan Cina yang memperdagangkan barang-barang dari negerinya atau negeri yang dilaluinya, sedangkan pedagang Jawa membelinya dan menjual rempah-rempah.

Memasuki abad ke-13, Sriwijaya menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Kekayaan alamnya sudah tidak lagi menghasilkan, kalah dengan hasil kekayaan di Jawa. Untuk menanggulangi ini, Sriwijaya menerapkan bea cukai yang mahal bagi kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhannya, bahkan memaksa agar kapal-kapal asing berlabuh di pelabuhannya.
Tindakan Sriwijaya ini ternyata tidak memberikan keuntungan bagi kerajaannya, justru sebaliknya. Kapal-kapal asing mencoba menghindar untuk berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya.
Kemunduran Sriwijaya diperburuk lagi oleh serangan Kerajaan Singosari dari Jawa melalui ekspedisi Pamalayu. Dengan Pamalayu, supremasi Kerajaan Singosari dapat diletakkan di bekas daerah pengaruh Sriwijaya di Sumatera. Setelah Singosari berkuasa, kemudian muncul Majapahit sebagai kekuatan kerajaan yang memiliki pengaruh yang sangat besar. Kemunculan Majapahit ini semakin memperlemah kedudukan Sriwijaya.
Majapahit pernah tampil sebagai supremasi kekuasaan di wilayah Nusantara, setelah Sriwijaya runtuh. Kejayaan Kerajaan Majapahit dialami pada masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk dengan patihnya yang terkenal yaitu Gajah Mada. Dengan Sumpah Palapanya, Gajah Mada melakukan perluasan wilayah. Majapahit kemudian mengalami kemunduran yang lebih banyak disebabkan oleh adanya konflik internal. Pada tahun 1478, Majapahit mengalami keruntuhannya.
Peradaban Hindu-Buddha sangat berpengaruh pada pembentukan struktur masyarakat di Nusantara. Masyarakat yang Hinduistis merupakan masyarakat dengan struktur yang hierarkis, artinya masyarakat yang mengenal kasta, yaitu kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Hubungan antarkasta ini bersifat vertikal yang sempit, artinya interaksi antar individu hanya terjadi pada kelompok kastanya sendiri.
2. Kondisi Sosial Budaya Indonesia Sebelum Masuknya Islam
Sebelum ditemukannya mesin yang menggerakkan kapal laut, pelayaran kapal-kapal lebih ditentukan oleh arus angin. Sistem angin di kepulauan Nusantara yang dikenal sebagai angin musim (angin muson), memberikan kemungkinan pengembangan jalan pelayaran Barat-Timur pulang balik secara teratur dan berpola tetap. Musim barat dan musim timur sangat menentukan munculnya kota-kota pelabuhan serta pusat-pusat kerajaan sejak aman Sriwijaya sampai akhir Majapahit.
Kehidupan di kota pelabuhan menampakkan suatu kehidupan yang dinamik. Interaksi manusia melalui perdagangan di kota pelabuhan dapat menciptakan unit-unit kehidupan manusia. Interaksi antara unit-unit akan membangun struktur sosial yang dinamik, sehingga akan menampakkan adanya suatu perubahan.
Masyarakat di kota pelabuhan merupakan masyarakat yang urban dan kosmopolit. Terciptalah suatu tatanan masyarakat kota. Interaksi tidak hanya terbatas pada pertukaran barang-barang ekonomi, akan tetapi terjadi pula interaksi budaya antarkelompok masyarakat.
Dengan demikian, kehidupan masyarakat di kota pelabuhan akan menciptakan suatu masyarakat yang terbuka. Dalam masyarakat yang seperti ini, akan memudahkan masuknya unsur budaya dari luar. Apabila unsur budaya itu mampu membangun suatu tatanan kehidupan yang mapan, maka akan menjelma menjadi suatu peradaban.
Sebelum kedatangan Islam di wilayah Nusantara, peradaban yang pernah muncul dan mampu membangun suatu struktur masyarakat yang mapan yaitu Hindu-Buddha. Peradaban Hindu-Buddha sangat berpengaruh pada pembentukan struktur masyarakat di Nusantara. Masyarakat yang dibentuk dalam peradaban ini adalah masyarakat yang memiliki struktur hierarkis.
Dalam masyarakat seperti ini, terdapat lapisan-lapisan sosial yang sangat ketat. Masyarakat terbagi atas kasta yaitu kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Hubungan antarkasta ini bersifat vertikal yang sempit, artinya interaksi antarindividu hanya terjadi pada kelompok kastanya sendiri. Sebagai contoh seorang kasta Ksatria tidak bisa menikah dengan seseorang yang berasal dari Kasta Waisya.
Dalam konsepsi Hindu-Buddha, hubungan antara manusia dan jagad raya bagaikan hubungan kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos. Manusia adalah mikrokosmos dan jagad raya adalah makrokosmos. Menurut kepercayaan ini, manusia senantiasa berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber pada penjuru mata angin, bintang-bintang dan planet-planet.
Tenaga-tenaga ini mungkin menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan atau berakibat kehancuran. Terjadinya kesejahteraan atau kehancuran tergantung pada dapat tidaknya individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat terutama sekali negara, berhasil menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka dengan jagad raya. Keselarasan antara kerajaan dan jagad raya dapat dicapai dengan menyusun kerajaan itu sebagai gambaran sebuah jagad raya dalam bentuk kecil.
Penguasa makrokosmos adalah Dewa, sedangkan penguasa mikrokosmos adalah raja, sehingga lahirlah konsep dewa-raja. Raja adalah wakil dewa di muka bumi. Kedudukan raja dianggap sebagai titisan (inkarnasi) dari dewa atau sebagai keturunan, atau sebagai kedua-duanya, baik sebagai penitisan maupun keturunan dewa.
Raja memiliki kedudukan yang sangat sentral. Hubungan antara raja dengan rakyat membentuk struktur yang patrimonial. Dalam hubungan ini tercipta hubungan kawula dan gusti. Rakyat lebih banyak melakukan kewajibannya. Pemikiran konsep ini tidak memungkinkan adanya suatu bentuk perjanjian sosial (social contract) atau konsep mengenai kewajiban-kewajiban timbal balik antara atasan dan bawahan.
Sejarah Islamisasi di Asia Tenggara
A. PROSES ISLAMISASI
Terdapat tiga hal yang diperdebatkan oleh ulama mengenai datangnya Islam ke Indonesia: waktu datang, penyebar dan daerah asal penyebar.
Azyumardi Azra mengatakan bahwa perkembangan Islam di Asia Tenggara mengalami tiga tahap:
1. Islam disebarkan oleh para pedagang yang berasal dari Arab, India dan Persia di sekitar pelabuhan (terbatas). Pada tahap ini, para ulama yang juga merangkap sebagai pedagang memiliki peran besar dalam penyebaran Islam. Di samping itu, penyebaran Islam dalam tahap ini sangat diwarnai oleh aspek mistik Islam (tasauf). Meskipun demikian, tidak berarti syari’at atau fikih diabaikan sekali. Tahap pertama ini berlangsung hingga Majapahit runtuh (abad XV M).
2. Sejak datang dan berkuasanya Belanda di Indonesia, Inggris di Semenanjung Malaya, dan Spanyol di Pilipina, sampai abad XIX M
3. Tahap Liberalisasi kebijakan pemerintahan kolonial, terutama Belanda di Indonesia. Pada tahap ini, proses Islamisasi di Asia Tenggara sampai bentuknya seperti sekarang ini.
Islamisasi di Asia Tenggara dimulai sejak dunia Islam melakukan hubungan hubungan baik dengan kerajaan- kerajaan di Asia Tenggara. Meskipun masih diperdebatkan. I’Tsing yang pernah berkunjung ke Sriwijaya palembang (671 M) menjelaskan bahwa Sriwijaya sudah menjalin hubungan dengan Khalifah Mu’awiyah Bin Abi Sufyan (661 M) dan khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz (717-720 M). Selanjutnya ia menjelaskan bahwa jalinan hubungan tidak semata menyangkut bidang perdagangan , tetapi juga bidang politik dan diplomatik.
K.N. Sofyan Hasan dan Warkum Sumitro(1994) menyederhanakan perdebatan mengenai kedatangan Islam Nusantara. Menurutnya, sejarawan terbagi menjadi dua kelompok dalam menjelaskan asal-usul Islam di Nusantara. (termasuk Indonesia).
1. Husin Jayadiningrat dan Cristien Snouck Hurgronje (Ahli hukum dari Belanda) berpendapat bahwa Islam datang ke Nusantara pada Abad XIII yang dibawa oleh para da’i dan pedagang dari Persia melalui India. Argumentasinya adalah:
a. Kerajaan Islam yang pertama di Indonesia adalah Samudera Pasai di Aceh Utara (Lhoksemawe). Nama samudera pasai berasal dari kata Persia;[1]
b. Mistik yang diajarkan di Indonesia sama dengan mistik yang al- Hallaj dengan Syekh Siti Jenar;
c. Cara membaca al-Qur’an di Indonesia sama dengan cara menbaca Al-Qur’an di Persia.
2. Hamka dan W.P. Goenevelt berpendapat bahwa Islam datang ke Nusantara langsung dari Arab (Mesir) tidak melalui Persia dan India. Alasannya adalah:
a. Madzhab yang dianut oleh kerajaan Islam Pasai pada waktu itu adalah Madzhab Syafi’i, dan madzhab itu berasal dari Mekkah.
b. Gelar-gelar raja Pasai yang dipakai pada waktu itu adalah gelar raja-raja Mesir.
Pada Tanggal 7 Maret 1963 di Medan diadakan seminar tentang masuknya Islam di Indonesia dengan kesimpulan:
a. Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M langsung dari Arab
b. Daerah pertama yang didatangi Islam adalah Pesisir Sumatera dan Kerajaan Islam pertama adalah Samudera Pasai.
c. Pada awalnya, Islam disebarkan oleh orang asing yang beragama Islam, pada tahap berikutnya, umat Islam Indonesia turut aktif dalam penyebaran Islam.
d. Mubalig (penyebar Islam) merangkap sebagai pedagang.
e. Islamisasi dilakukan dengan cara damai, dan
f. kedatagan Islam mendorong lahirnya peradaban bangsa Indonesia. [2]
B. PERTUMBUHAN LEMBAGA SOSIAL DAN LEMBAGA POLITIK PADA PUSAT-PUSAT PENYEBARAN ISLAM DI ASIA TENGGARA.
Sebelum Islam datang , Indonesia telah berkuasa kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha. Diantaranya, ada kerajaan Bahari terbesar yang menguasai dan mengendalikan pulau-pulau di Nusantara, yaitu Kerajaan Sriwijaya di sekitar Palembang, Sumatera Selatan Singasari, selanjutnya yaitu Majapahit.
Pada abad ke-7, Islam belum menyebar luas secara merata ke seluruh penjuru Nusantara, karena pengaruh agama Budha masih memegang peranan di Kerajaan Sriwijaya, terutama dalam kehidupan Sosial, politik, perekonomian dan kebudayaan. Pada Awal abad ke-13 M, kerajaan ini memasuki masa kemunduran. Dalam kondisi seperti ini, pedagang-pedagang muslim memanfaatkan politiknya dengan mendukung daerah-daerah yang muncul dan menyatakan diri sebagai kerajaan yang bercorak Islam. Mereka tidak hanya membangun perkampungan pedagang yang bersifat ekonomis, tetapi juga membentuk struktur pemerintahan yang dikehendaki.
Sementara itu di kerajaan Majapahit setelah Patih Gajah Mada meninggal dunia (1364 M), dan Hayam Wuruk (1389 M), situasi politik Maajapahit goncang dan terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana. Bersamaan dengan melemahnya Majapahit, Islam di Jawa mendapatkan posisi yang menguntungkan sehingga di bawah bimbingan spiritual Sunan Kudus, Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai keraton pusat.
Uraian di atas menunjukkan bahwa cikal-bakal kekuasaan Islam sudah dirintis sejak abad ke-7 M. Tetapi semuanya tenggelam dalam hegemoni Maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan kerajaan Hindu Jawa, seperti kerajaan Medang, Kediri, Singasari, dan Majapahit di Jawa Timur. Kemudian Islam menempati struktur pemerintahan ketika komunitas muslim sudah kuat yang bersamaan dengan suramnya kondisi politik kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha.
Islam sebagai agama yang memberikan corak kultur bangsa Indonesia dan sebagai kekuatan politik yang menguasai struktur pemerintahan sebelum datangnya Belanda dapat dilihat dari munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini, antara lain di Sumater, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. [3]
1. Islam Sumatera
Ada tiga Kerajan Islam terkenal di Sumatera yang telah memosisikanIslam sebagai agama dan sebagai kekuatan politik yang mewarnai corak sosial budayanya, yaitu Perlak, Pasai, dan Aceh.
Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Sumatera Utara yang berkuasa pada tahun 225-692 M. Dengan Raja pertamanya Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah (225-249 H. / 840-864 M). Hal ini sesuai dengan berita Marcopolo ( pengembara Itali yang tiba di Sumatera) yang menyatakan bahwa pada masa itu (abad ke-8 M), Sumatera terbagi menjadi delapan buah kerajaan yang semuanya menyembah berhala, kecuali sebuah saja, yaitu Perlak yang berpegang pada Islam. Hal ini karena ia selalu didatangi pedagang-pedagang Saracen (muslimin) yang menjadikan penduduk bandar ini memeluk undang-undang Muhammad (undang-undang Islam).
Sistem pemerintahan yang diterapkan oleh kerajaan Islam Perlak pada dasarnya mengikuti sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh Daulah Abbasiyah (750-1258 M), yaitu kepala pemerintahan / kepala badan eksekutif dipegang oleh sultan dengan dibantu olleh beberapa wazir, yaitu Wazir As-Siyasah (bidang politik); Wazir Al-Harb ( bidang keamanan/pertahanan); Wazir Al-Maktabah (bidang administrasi negara);Wazir Al-Iqtishad (bidang ekonomi dan keuangan); dan Wazir Al-Hukkam (bidang kehakiman). Selain itu, sebagai penasihat pemerintah yang bertugas mendampingi sultan dan wazirnya, dibentuk sebuah lembaga yang disebut Majelis Fatwa di bawah pimpinan seorang ulama yang berpangkat Mufti.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa Islam, baik sebagai kekuatan sosial agama maupun sebagai kekuatan sosial-politik, pertama-tama memperlihatkan dirinya di Nusantara ini adalah di Negeri Perlak. Dari negeri inilah, pertama kalinya Islam memancar ke pelosok tanah air Indonesia. Kerajaan Islam Perlak terus hidup merdeka sampai dipersatukannya dengan kerajaan Samudera Pasai pada zaman pemerintahan Sultan Muhammad Malik Ad-Dzahir Ibn Al-Malik Ash-Shaleh (688-1254 H / 1289-1326 M).[4]
Sultan Al-Malikal-Shaleh (1297 M) adalah raja pertama dari kerJN Smudera. Beliau kemudian menikah dengan puteri raja Perlak dan memiliki dua anak. Oleh karena itu, dua kerajaan ini kemudian digabung menjadi kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini bertahan lama sampai ditundukkan oleh Portugis (1521 M).
Para pedagang muslim mengislamkan penduduk urban; sedangkan di daerah pedalaman tetap melanjutkan tradisi lama mereka. Cerita tentang kerajaan ini terdapat dalam sejumlah literatur berdasarkan perjalanan Marco Polo, Ibn Bathuthah, dan Fe-Hien (dari Cina).[5] Kerajaan Samudera pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. Dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada dibawah Pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Ali Mughayatsyah (1514-1530 M) telah banyak berjasa dalam berbagai aspek keislaman.
a. Dalam bidang politik, sultan berupaya menghadang penjajah Portugis Kristiani dengan memprakarsai negara Islam bersatu, yaitu menyatukan tenaga politik Islam di dalam sebuah negara yang kuat dan berdaulat yang diberi nama “Aceh Besar” (1514).
b. Dalam bidang pemerintahan, baginda raja telah meletakkan Islam sebagai asas kenegaraaan, bahkan beliau melarang orang-orang bukan Islam untuk memangku jabatan kenegaraan atau meneruskan jabatannya.
c. Dalam bidang dakwah, dibangun pusat Islam yang megah, dihimpun para ulama dari juru dakwah, serta menyuruh jihad memerangi penyembah berhala dan syirik. Pada masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah (abad ke-16), Aceh dikenal sebagai negara Islam yang perkasa dan menjadi pusat penyebaran Islam yang yang besar di Nusantara.
d. Dalam bidang hukum, syari’at Islam ditegakkan , bahkan raja telah menghukum mati anaknya karena kezaliman dan jinayat (pidana). Dari Pasai dan Aceh, Islam memancar keseluruh pelosok Nusantara yang terjangkau oleh para juru dakwahnya.
2. Islam di Jawa
Ahli-ahli sejarah tampaknya sependapat bahwa penyebar Islam di Jawa adalah para Wali Songo. Mereka tidak hanya berkausa dalam lapangan keagamaan, tetapi juga dalam hal pemerintaha dan politik. Bahkan , sering kali seorang raja seakan-akan baru sah sebagai raja kalau ia sudah diakui dan diberkahi oleh Wali Songo.
Islam telah tersebar di pulau Jawa, paling tidak sejak Malik Ibrahim dan Maulana Ishak yang bergelar Syaikh Awal Al-Islam diutus sebagai juru dakwah oleh Raja Samudera, Sultan Zainal Abidin Bahiyah Syah (1349-1406) ke Gresik.dalam percaturan politik, Islam mulai memosisikan diri ketika melemahnya kekuasaan Majapahit yang memberi peluang kepada penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah pimpinan sunan Ampel, Wali Songo bersepakat untuk mengangkat Raaden Patah sebagai raja pertama kerajaan Islam Demak, Mataram, Cirebon, dan Banten. Dalam mendirikan negara Islam tersebut, peranan Wali Songo sangat besar. Misalnya Sunan Gunung Djati mendirikan kerajaan Mataram yang pengaruhnya sampai ke Makasar, Ambon, dan Ternate.
Disamping kekuatan politik Islam yang memberi konstribusi besar terhadap perkembangannya, Islam juga hidup di masyarakat dapat memberi dorongan kepada penguasa non-muslim untuk memeluknya. J.C. Van Leur menyebutkan bahwa motivasi bupati pantai utara Jawa memeluk Islam bertujuan untuk mempertahankan kedudukannya. Dengan kata lain, para Bupati telah menjadikan agama Islam sebagai Instrumen Politik untuk memperkuat kedudukannya.
Keterangan ini memberikan gambaran kepada kita bahwa agama Islam di Jawa pada masa kerajaan Islam telah menjadi agama rakyat. Para penguasa / bupati pesisir memeluknya karena tanpa ada konversi agama, tampaknya kedudukan mereka tidak dapat dipertahankan.[6]
3. Islam di Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi
Pada awal abad ke-16. Islam masuk ke Kalimantan Selatan, yaitu di kerajaan Daha (banjar) yang beragama Hindu. Berkat bantuan Sultan Demak, Trenggono (1521-1546), Raja Daha dan rekyatnya masuk Islam sehingga berdirilah Islam Banjar, dengan Raja pertamanya Pangeran Samuderayang diberi gelar Pangeran Suryanullah atau Suriansah.
Di Kalimantan Timur (Kutai) pada tahun 1575, yaitu Tunggang Parangan mengislamkan raja Mahkota. Sejak baginda raja masuk Islam, terjadilah proses Islamisasi di Kutai terutama oleh putranya, dan pengganti-penggantinya meneruskan perang ke daerah-daerahnya.
Pada abad ke-10 dan ke-11, di Maluku sudah ramai perniagaan rempah-rempah, terutama ceengkeh dan pala yang dilakukan oleh para pedagang Arab dan Persia. Tentunya, pada saat itu telah terjadi sentuhan pedagang muslim dengan rakyat Maluku yang membentuk komunitas Islam. Dengan derasnya gelombang pedagang muslim dan atas ajaka Datuk Maulana Husain, di Ternate, Raja Gafi Bata menerima Islam dan namanya berganti menjadi Sultan Zaenal Abidin (1465-14860. Di Tidore, datang seorang pendakwah dari tanah Arab yang bernama Syekh Mansur dan atas ajakannya, Raja Tidore yang bernama Kolana masuk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Jamaluddin. Di Ambon Islam datang dari Jawa Timur (Gresik) yang berpusat di kota pelabuhan Hitu pada tahun 1500 M. Disaat Islamisasi berlangsung, Portugis melancarkan Kristenisasi di Ternate pada tahun 1522 M. Namun, usahanya tidak banyak berhasil. Pada masa Sultan Baabullah (1570-1583), benteng pertahanan Portugis di Ambon di taklukkan.
Di Sulawesi, Raja Gowa – Tallo, I Mangarangi Maurobia, atas ajakan Datuk Rianang masuk Islam pada tahun 1605 dengan gelar Sultan Alauddin di Talo raja I Malingkoan Daeng Nyonri Kareng Katangka pada tahun yang sama masuk Islam dengan gelar Sultan Abdullah Awal Islam. Setelah itu, Islam tersebar ke Luwu, Waio(1610); Soppengdan Bone (1611).
Berkenaan dengan proses pembentukan negara atau kerajaan Islam tersebut di atas, menurut Taufik Abdullah, setidak-tidaknya ada tiga pola pembentukan budaya yang tampak dari proses tersebut, yaitu:
1. Pola Samudera Pasai; akhirnya Samudera Pasai berlangsung melalui perubahan dari negara yang segmenter ke negara yang terpusat. Kerajaan ini bukan hanya berhadapan dengan golongan-golongan yang belum di tundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman, tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik serta pertentangan keluarga yang berkepanjangan. Dalam proses perkembangannya menjadi negara terpusat Samudera Pasai juga menjadi pusat pengajaran agama. Reputasinya sebagai pusat agama terus berlanjut walaupun kemudian kedudukan ekonomi dan politiknya menyusut. Dengan pola ini, Samudera Pasai memiliki “kebebasan budaya” untuk memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan yang mencerminkan tentang dirinya.
2. Pola Sulawesi Selatan; pola islamisasi melalui keraton atau pusat kekuasaan. Proses Islamisasi berlangsung dalam suatu struktur negara yang telah memiliki basis legitimasi geneologis. Konversin agama menunjukkan kemampuan raja. Penguasa terhindar dari penghinaan rakyatnya dalam masalah kenegaraan. Pola ini digunakan di Sulawesi Selatan, Maluku, dan Banjarmasin. Islamisasi di daerah ini tidak memberi landasan bagi pembentukan negara. Islam tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru dari organisasi kekuasaan. Konversi agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih dahulu.
3. Pola Jawa; di Jawa Islam mendapatkan suatu sistem politik dan struktur kekuasaan yang telah lama mapan. Ketika kekuasaan raja melemah, para saudagar kaya diberbagai kadipaten di wilayah peisir mendapat peluang besar untuk menjauhkan diri dari kekuasaan raja. Mereka tidak hanya masuk Isla, tetapi juga memasuki pusat-pusat politik independen. Setelah keraton besar goyah, keraton-keraton kecil bersaing menggantikan kedudukannya. Ketika abad ke-14 komunitas muslim sudah besar, bersamaan dengan melemahnya Majapahit, Demak tampil menggantikan kedudukannya. Dengan posisi baru ini, Demak tidak saja menjadi pemegang hegemoni politik, tetapi juga menjadi “jembatan penyeberangan” Islam yang paling penting di Jawa. Tidak seperti pola Samudera Pasai, Islam mendorong pembentukan negara yang supradesa, juga tidak seperti Gowa-Talo, keraton kemudian yang diislamkan, di Jawa, Islam tampil sebagai penantang, untuk kemudian mengambil alih kekuasaan yang ada. Jadi, yang tampil adalah suatu dilema kultural dari orang baru di dalam bangunan politik yang lama.[7]
[1] Dr.H. Jaih Mubarok, M.Ag. 2004. Sejararah Peradaban Islam. Hal:145-146
[2] Dr.H. Jaih Mubarok, M.Ag. 2004. Sejararah Peradaban Islam.Hal:146-147
[3] Dedi Supriyadi, M.Ag.2008. Sejarah Peradaban Islam. Hal:192-193
[4] Ibid. Hal:193-195
[5] Dr.H. Jaih Mubarok, M.Ag. 2004. Sejararah Peradaban Islam.Hal:147
[6] Dedi Supriyadi, M.Ag.2008. Sejarah Peradaban Islam. Hal:196
[7] Dedi Supriyadi, M.Ag.2008. Sejarah Peradaban Islam. Hal:197-199
Terdapat tiga hal yang diperdebatkan oleh ulama mengenai datangnya Islam ke Indonesia: waktu datang, penyebar dan daerah asal penyebar.
Azyumardi Azra mengatakan bahwa perkembangan Islam di Asia Tenggara mengalami tiga tahap:
1. Islam disebarkan oleh para pedagang yang berasal dari Arab, India dan Persia di sekitar pelabuhan (terbatas). Pada tahap ini, para ulama yang juga merangkap sebagai pedagang memiliki peran besar dalam penyebaran Islam. Di samping itu, penyebaran Islam dalam tahap ini sangat diwarnai oleh aspek mistik Islam (tasauf). Meskipun demikian, tidak berarti syari’at atau fikih diabaikan sekali. Tahap pertama ini berlangsung hingga Majapahit runtuh (abad XV M).
2. Sejak datang dan berkuasanya Belanda di Indonesia, Inggris di Semenanjung Malaya, dan Spanyol di Pilipina, sampai abad XIX M
3. Tahap Liberalisasi kebijakan pemerintahan kolonial, terutama Belanda di Indonesia. Pada tahap ini, proses Islamisasi di Asia Tenggara sampai bentuknya seperti sekarang ini.
Islamisasi di Asia Tenggara dimulai sejak dunia Islam melakukan hubungan hubungan baik dengan kerajaan- kerajaan di Asia Tenggara. Meskipun masih diperdebatkan. I’Tsing yang pernah berkunjung ke Sriwijaya palembang (671 M) menjelaskan bahwa Sriwijaya sudah menjalin hubungan dengan Khalifah Mu’awiyah Bin Abi Sufyan (661 M) dan khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz (717-720 M). Selanjutnya ia menjelaskan bahwa jalinan hubungan tidak semata menyangkut bidang perdagangan , tetapi juga bidang politik dan diplomatik.
K.N. Sofyan Hasan dan Warkum Sumitro(1994) menyederhanakan perdebatan mengenai kedatangan Islam Nusantara. Menurutnya, sejarawan terbagi menjadi dua kelompok dalam menjelaskan asal-usul Islam di Nusantara. (termasuk Indonesia).
1. Husin Jayadiningrat dan Cristien Snouck Hurgronje (Ahli hukum dari Belanda) berpendapat bahwa Islam datang ke Nusantara pada Abad XIII yang dibawa oleh para da’i dan pedagang dari Persia melalui India. Argumentasinya adalah:
a. Kerajaan Islam yang pertama di Indonesia adalah Samudera Pasai di Aceh Utara (Lhoksemawe). Nama samudera pasai berasal dari kata Persia;[1]
b. Mistik yang diajarkan di Indonesia sama dengan mistik yang al- Hallaj dengan Syekh Siti Jenar;
c. Cara membaca al-Qur’an di Indonesia sama dengan cara menbaca Al-Qur’an di Persia.
2. Hamka dan W.P. Goenevelt berpendapat bahwa Islam datang ke Nusantara langsung dari Arab (Mesir) tidak melalui Persia dan India. Alasannya adalah:
a. Madzhab yang dianut oleh kerajaan Islam Pasai pada waktu itu adalah Madzhab Syafi’i, dan madzhab itu berasal dari Mekkah.
b. Gelar-gelar raja Pasai yang dipakai pada waktu itu adalah gelar raja-raja Mesir.
Pada Tanggal 7 Maret 1963 di Medan diadakan seminar tentang masuknya Islam di Indonesia dengan kesimpulan:
a. Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M langsung dari Arab
b. Daerah pertama yang didatangi Islam adalah Pesisir Sumatera dan Kerajaan Islam pertama adalah Samudera Pasai.
c. Pada awalnya, Islam disebarkan oleh orang asing yang beragama Islam, pada tahap berikutnya, umat Islam Indonesia turut aktif dalam penyebaran Islam.
d. Mubalig (penyebar Islam) merangkap sebagai pedagang.
e. Islamisasi dilakukan dengan cara damai, dan
f. kedatagan Islam mendorong lahirnya peradaban bangsa Indonesia. [2]
B. PERTUMBUHAN LEMBAGA SOSIAL DAN LEMBAGA POLITIK PADA PUSAT-PUSAT PENYEBARAN ISLAM DI ASIA TENGGARA.
Sebelum Islam datang , Indonesia telah berkuasa kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha. Diantaranya, ada kerajaan Bahari terbesar yang menguasai dan mengendalikan pulau-pulau di Nusantara, yaitu Kerajaan Sriwijaya di sekitar Palembang, Sumatera Selatan Singasari, selanjutnya yaitu Majapahit.
Pada abad ke-7, Islam belum menyebar luas secara merata ke seluruh penjuru Nusantara, karena pengaruh agama Budha masih memegang peranan di Kerajaan Sriwijaya, terutama dalam kehidupan Sosial, politik, perekonomian dan kebudayaan. Pada Awal abad ke-13 M, kerajaan ini memasuki masa kemunduran. Dalam kondisi seperti ini, pedagang-pedagang muslim memanfaatkan politiknya dengan mendukung daerah-daerah yang muncul dan menyatakan diri sebagai kerajaan yang bercorak Islam. Mereka tidak hanya membangun perkampungan pedagang yang bersifat ekonomis, tetapi juga membentuk struktur pemerintahan yang dikehendaki.
Sementara itu di kerajaan Majapahit setelah Patih Gajah Mada meninggal dunia (1364 M), dan Hayam Wuruk (1389 M), situasi politik Maajapahit goncang dan terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana. Bersamaan dengan melemahnya Majapahit, Islam di Jawa mendapatkan posisi yang menguntungkan sehingga di bawah bimbingan spiritual Sunan Kudus, Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai keraton pusat.
Uraian di atas menunjukkan bahwa cikal-bakal kekuasaan Islam sudah dirintis sejak abad ke-7 M. Tetapi semuanya tenggelam dalam hegemoni Maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan kerajaan Hindu Jawa, seperti kerajaan Medang, Kediri, Singasari, dan Majapahit di Jawa Timur. Kemudian Islam menempati struktur pemerintahan ketika komunitas muslim sudah kuat yang bersamaan dengan suramnya kondisi politik kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha.
Islam sebagai agama yang memberikan corak kultur bangsa Indonesia dan sebagai kekuatan politik yang menguasai struktur pemerintahan sebelum datangnya Belanda dapat dilihat dari munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini, antara lain di Sumater, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. [3]
1. Islam Sumatera
Ada tiga Kerajan Islam terkenal di Sumatera yang telah memosisikanIslam sebagai agama dan sebagai kekuatan politik yang mewarnai corak sosial budayanya, yaitu Perlak, Pasai, dan Aceh.
Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Sumatera Utara yang berkuasa pada tahun 225-692 M. Dengan Raja pertamanya Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah (225-249 H. / 840-864 M). Hal ini sesuai dengan berita Marcopolo ( pengembara Itali yang tiba di Sumatera) yang menyatakan bahwa pada masa itu (abad ke-8 M), Sumatera terbagi menjadi delapan buah kerajaan yang semuanya menyembah berhala, kecuali sebuah saja, yaitu Perlak yang berpegang pada Islam. Hal ini karena ia selalu didatangi pedagang-pedagang Saracen (muslimin) yang menjadikan penduduk bandar ini memeluk undang-undang Muhammad (undang-undang Islam).
Sistem pemerintahan yang diterapkan oleh kerajaan Islam Perlak pada dasarnya mengikuti sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh Daulah Abbasiyah (750-1258 M), yaitu kepala pemerintahan / kepala badan eksekutif dipegang oleh sultan dengan dibantu olleh beberapa wazir, yaitu Wazir As-Siyasah (bidang politik); Wazir Al-Harb ( bidang keamanan/pertahanan); Wazir Al-Maktabah (bidang administrasi negara);Wazir Al-Iqtishad (bidang ekonomi dan keuangan); dan Wazir Al-Hukkam (bidang kehakiman). Selain itu, sebagai penasihat pemerintah yang bertugas mendampingi sultan dan wazirnya, dibentuk sebuah lembaga yang disebut Majelis Fatwa di bawah pimpinan seorang ulama yang berpangkat Mufti.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa Islam, baik sebagai kekuatan sosial agama maupun sebagai kekuatan sosial-politik, pertama-tama memperlihatkan dirinya di Nusantara ini adalah di Negeri Perlak. Dari negeri inilah, pertama kalinya Islam memancar ke pelosok tanah air Indonesia. Kerajaan Islam Perlak terus hidup merdeka sampai dipersatukannya dengan kerajaan Samudera Pasai pada zaman pemerintahan Sultan Muhammad Malik Ad-Dzahir Ibn Al-Malik Ash-Shaleh (688-1254 H / 1289-1326 M).[4]
Sultan Al-Malikal-Shaleh (1297 M) adalah raja pertama dari kerJN Smudera. Beliau kemudian menikah dengan puteri raja Perlak dan memiliki dua anak. Oleh karena itu, dua kerajaan ini kemudian digabung menjadi kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini bertahan lama sampai ditundukkan oleh Portugis (1521 M).
Para pedagang muslim mengislamkan penduduk urban; sedangkan di daerah pedalaman tetap melanjutkan tradisi lama mereka. Cerita tentang kerajaan ini terdapat dalam sejumlah literatur berdasarkan perjalanan Marco Polo, Ibn Bathuthah, dan Fe-Hien (dari Cina).[5] Kerajaan Samudera pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. Dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada dibawah Pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Ali Mughayatsyah (1514-1530 M) telah banyak berjasa dalam berbagai aspek keislaman.
a. Dalam bidang politik, sultan berupaya menghadang penjajah Portugis Kristiani dengan memprakarsai negara Islam bersatu, yaitu menyatukan tenaga politik Islam di dalam sebuah negara yang kuat dan berdaulat yang diberi nama “Aceh Besar” (1514).
b. Dalam bidang pemerintahan, baginda raja telah meletakkan Islam sebagai asas kenegaraaan, bahkan beliau melarang orang-orang bukan Islam untuk memangku jabatan kenegaraan atau meneruskan jabatannya.
c. Dalam bidang dakwah, dibangun pusat Islam yang megah, dihimpun para ulama dari juru dakwah, serta menyuruh jihad memerangi penyembah berhala dan syirik. Pada masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah (abad ke-16), Aceh dikenal sebagai negara Islam yang perkasa dan menjadi pusat penyebaran Islam yang yang besar di Nusantara.
d. Dalam bidang hukum, syari’at Islam ditegakkan , bahkan raja telah menghukum mati anaknya karena kezaliman dan jinayat (pidana). Dari Pasai dan Aceh, Islam memancar keseluruh pelosok Nusantara yang terjangkau oleh para juru dakwahnya.
2. Islam di Jawa
Ahli-ahli sejarah tampaknya sependapat bahwa penyebar Islam di Jawa adalah para Wali Songo. Mereka tidak hanya berkausa dalam lapangan keagamaan, tetapi juga dalam hal pemerintaha dan politik. Bahkan , sering kali seorang raja seakan-akan baru sah sebagai raja kalau ia sudah diakui dan diberkahi oleh Wali Songo.
Islam telah tersebar di pulau Jawa, paling tidak sejak Malik Ibrahim dan Maulana Ishak yang bergelar Syaikh Awal Al-Islam diutus sebagai juru dakwah oleh Raja Samudera, Sultan Zainal Abidin Bahiyah Syah (1349-1406) ke Gresik.dalam percaturan politik, Islam mulai memosisikan diri ketika melemahnya kekuasaan Majapahit yang memberi peluang kepada penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah pimpinan sunan Ampel, Wali Songo bersepakat untuk mengangkat Raaden Patah sebagai raja pertama kerajaan Islam Demak, Mataram, Cirebon, dan Banten. Dalam mendirikan negara Islam tersebut, peranan Wali Songo sangat besar. Misalnya Sunan Gunung Djati mendirikan kerajaan Mataram yang pengaruhnya sampai ke Makasar, Ambon, dan Ternate.
Disamping kekuatan politik Islam yang memberi konstribusi besar terhadap perkembangannya, Islam juga hidup di masyarakat dapat memberi dorongan kepada penguasa non-muslim untuk memeluknya. J.C. Van Leur menyebutkan bahwa motivasi bupati pantai utara Jawa memeluk Islam bertujuan untuk mempertahankan kedudukannya. Dengan kata lain, para Bupati telah menjadikan agama Islam sebagai Instrumen Politik untuk memperkuat kedudukannya.
Keterangan ini memberikan gambaran kepada kita bahwa agama Islam di Jawa pada masa kerajaan Islam telah menjadi agama rakyat. Para penguasa / bupati pesisir memeluknya karena tanpa ada konversi agama, tampaknya kedudukan mereka tidak dapat dipertahankan.[6]
3. Islam di Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi
Pada awal abad ke-16. Islam masuk ke Kalimantan Selatan, yaitu di kerajaan Daha (banjar) yang beragama Hindu. Berkat bantuan Sultan Demak, Trenggono (1521-1546), Raja Daha dan rekyatnya masuk Islam sehingga berdirilah Islam Banjar, dengan Raja pertamanya Pangeran Samuderayang diberi gelar Pangeran Suryanullah atau Suriansah.
Di Kalimantan Timur (Kutai) pada tahun 1575, yaitu Tunggang Parangan mengislamkan raja Mahkota. Sejak baginda raja masuk Islam, terjadilah proses Islamisasi di Kutai terutama oleh putranya, dan pengganti-penggantinya meneruskan perang ke daerah-daerahnya.
Pada abad ke-10 dan ke-11, di Maluku sudah ramai perniagaan rempah-rempah, terutama ceengkeh dan pala yang dilakukan oleh para pedagang Arab dan Persia. Tentunya, pada saat itu telah terjadi sentuhan pedagang muslim dengan rakyat Maluku yang membentuk komunitas Islam. Dengan derasnya gelombang pedagang muslim dan atas ajaka Datuk Maulana Husain, di Ternate, Raja Gafi Bata menerima Islam dan namanya berganti menjadi Sultan Zaenal Abidin (1465-14860. Di Tidore, datang seorang pendakwah dari tanah Arab yang bernama Syekh Mansur dan atas ajakannya, Raja Tidore yang bernama Kolana masuk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Jamaluddin. Di Ambon Islam datang dari Jawa Timur (Gresik) yang berpusat di kota pelabuhan Hitu pada tahun 1500 M. Disaat Islamisasi berlangsung, Portugis melancarkan Kristenisasi di Ternate pada tahun 1522 M. Namun, usahanya tidak banyak berhasil. Pada masa Sultan Baabullah (1570-1583), benteng pertahanan Portugis di Ambon di taklukkan.
Di Sulawesi, Raja Gowa – Tallo, I Mangarangi Maurobia, atas ajakan Datuk Rianang masuk Islam pada tahun 1605 dengan gelar Sultan Alauddin di Talo raja I Malingkoan Daeng Nyonri Kareng Katangka pada tahun yang sama masuk Islam dengan gelar Sultan Abdullah Awal Islam. Setelah itu, Islam tersebar ke Luwu, Waio(1610); Soppengdan Bone (1611).
Berkenaan dengan proses pembentukan negara atau kerajaan Islam tersebut di atas, menurut Taufik Abdullah, setidak-tidaknya ada tiga pola pembentukan budaya yang tampak dari proses tersebut, yaitu:
1. Pola Samudera Pasai; akhirnya Samudera Pasai berlangsung melalui perubahan dari negara yang segmenter ke negara yang terpusat. Kerajaan ini bukan hanya berhadapan dengan golongan-golongan yang belum di tundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman, tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik serta pertentangan keluarga yang berkepanjangan. Dalam proses perkembangannya menjadi negara terpusat Samudera Pasai juga menjadi pusat pengajaran agama. Reputasinya sebagai pusat agama terus berlanjut walaupun kemudian kedudukan ekonomi dan politiknya menyusut. Dengan pola ini, Samudera Pasai memiliki “kebebasan budaya” untuk memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan yang mencerminkan tentang dirinya.
2. Pola Sulawesi Selatan; pola islamisasi melalui keraton atau pusat kekuasaan. Proses Islamisasi berlangsung dalam suatu struktur negara yang telah memiliki basis legitimasi geneologis. Konversin agama menunjukkan kemampuan raja. Penguasa terhindar dari penghinaan rakyatnya dalam masalah kenegaraan. Pola ini digunakan di Sulawesi Selatan, Maluku, dan Banjarmasin. Islamisasi di daerah ini tidak memberi landasan bagi pembentukan negara. Islam tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru dari organisasi kekuasaan. Konversi agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih dahulu.
3. Pola Jawa; di Jawa Islam mendapatkan suatu sistem politik dan struktur kekuasaan yang telah lama mapan. Ketika kekuasaan raja melemah, para saudagar kaya diberbagai kadipaten di wilayah peisir mendapat peluang besar untuk menjauhkan diri dari kekuasaan raja. Mereka tidak hanya masuk Isla, tetapi juga memasuki pusat-pusat politik independen. Setelah keraton besar goyah, keraton-keraton kecil bersaing menggantikan kedudukannya. Ketika abad ke-14 komunitas muslim sudah besar, bersamaan dengan melemahnya Majapahit, Demak tampil menggantikan kedudukannya. Dengan posisi baru ini, Demak tidak saja menjadi pemegang hegemoni politik, tetapi juga menjadi “jembatan penyeberangan” Islam yang paling penting di Jawa. Tidak seperti pola Samudera Pasai, Islam mendorong pembentukan negara yang supradesa, juga tidak seperti Gowa-Talo, keraton kemudian yang diislamkan, di Jawa, Islam tampil sebagai penantang, untuk kemudian mengambil alih kekuasaan yang ada. Jadi, yang tampil adalah suatu dilema kultural dari orang baru di dalam bangunan politik yang lama.[7]
[1] Dr.H. Jaih Mubarok, M.Ag. 2004. Sejararah Peradaban Islam. Hal:145-146
[2] Dr.H. Jaih Mubarok, M.Ag. 2004. Sejararah Peradaban Islam.Hal:146-147
[3] Dedi Supriyadi, M.Ag.2008. Sejarah Peradaban Islam. Hal:192-193
[4] Ibid. Hal:193-195
[5] Dr.H. Jaih Mubarok, M.Ag. 2004. Sejararah Peradaban Islam.Hal:147
[6] Dedi Supriyadi, M.Ag.2008. Sejarah Peradaban Islam. Hal:196
[7] Dedi Supriyadi, M.Ag.2008. Sejarah Peradaban Islam. Hal:197-199
Langganan:
Postingan (Atom)