Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

Ulumul Qur'an Esensi Al-Qur'an dan Qur'an Pada Masa Rasul; Ridwan, MA

BAB I : ESENSI AL-QUR'AN DAN WAHYU

Wahyu memiliki bentuk khusus dan berbeda dengan daya khayal atau ilmu biasa, karena pada mulanya hakikat-hakikat ilmu itu secalangsung masuk ke dalam hati dan jiwa Nabi Saw. dan dari sini memancar ke suluruh elemen-elemen quwwah (daya, potensi).
Ketika wahyu turun kepada Nabi Saw., mulanya masuk ke dalam hati mulia Nabi Saw., karena beliau sangat cinta dan tenggelam serta larut di alam gaib. Lantas kemudian dari hati pindah ke pemahaman dan ke telinga Nabi Saw. Dan ini merupakan sebuah tanazzul (turun perlahan-lahan) dari maqam yang tinggi ke maqam yang lebih rendah dan ini juga merupakan karakter manusia-manusia khusus. Berbeda dengan kaum awam, pada mulanya dia mendengar dengan telinga kemudian masuk ke dalam pemahaman dan terakhir masuk ke dalam hatinya. Ahli suluk pun menggunakan metode seperti ini, yaitu mencari ilmu pengetahuan dari maqam paling bawah menuju ke maqam yang lebih tinggi.
Ciri khas lain wahyu adalah Nabi Saw. menyaksikan malaikat dengan hati mulia, sebagaimana yang diisyaratkan ayat Al-Qur'an, yaitu; “Maa kadzaba al fuaadu maa ra’aa”,  "ru’yat al fuaad" di sini dinisbahkan kepada hati dan jiwa maksudnya Rasul menyaksikan malaikat Jibril melalui perantajiwa dan hati. Kalimat-kalimat  seperti "maa yaraa" dan "wa laqad ra’aahu nazlatan ukhra" juga memiliki makna yang sama dengan kata di atas, yaitu penyaksian melalui hati dan qalbu. Demikian pula kata " bashara" dalam kalimat "maa zaagha al basharu" memiliki makna mata hati. (QS. An- Najm : 1-18).
Makna "maa kadzaba al fuaadu maa ra’aa" adalah apa yang disaksikan Nabi Saw. dengan qalbunya merupakan sebuah kebenaran dan bukan kebohongan. Tentunya, penisbahan ru’yat kepada penyaksian melalui fu’aad (hati) sudah biasa dan lumrah, karena manusia, selain memiliki persepsi melalui indelahiriah dan daya pikir serta  kemampuan berimajinasi, juga memiliki persepsi syuhudi yang bukan indelahiriah.

A.      Wahyu dalam Hadits
Abdullah bin Umar berkata: Saya mengutarakan pertanyaan kepada Rasulullah Saw.: "Apakah anda merasakan wahyu itu? Beliau Saw. menjawab: Iya, saya merasakannya sama seperti suagemerincing (bel) lantas saya diam. Setiap kali wahyu datang kepadaku, karena begitu dahsyatnya, saya menginyawa dan ruhku telah melayang."
Dari hadits di atas, dapat dipahami bahwa wahyu itu terjadi kadang dimulai dengan terdengar suayang menyerupai suagemerincing (bel), dan ini merupakan jenis wahyu yang paling berat. Dan kadang dalam bentuk malaikat yang menjelma sesuatu (misalnya menjelma seperti seorang pemuda) dan berbicara.

B.  Bentuk-bentuk Wahyu
Terdapat tiga bentuk wahyu dan percakapan Allah SWT. dengan Nabi Saw., sebagaimana yang diisyaratkan Al-Qur'an: “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Syuura: 51)
1.      Wahyu berbentuk percakapan khafii (tersembunyi) dan tanpa penghubung
Percakapan khafii (tersembunyi) dan tanpa ada perantaantaAllah SWT. dengan Nabi Muhammad Saw. Kata yang mengisyaratkan hal ini pada ayat tersebut adalah kata "illaa wahyan." Percakapan Allah SWT.
2.       Wahyu berbentuk terukur atau terbatasi
Wahyu berbentuk terukur atau terbatasi ini terlihat pada kalimat "min waraai hijaabin" pada ayat di atas. Dan kalimat "auw yursila rasuulan",
Bentuk kedua berbeda dengan bentuk pertama pada kata "illa wahyan" tidak memiliki suatu ukuran dan batasan. Dengan demikian, ia merupakan sebuah percakapan kilat dan khafii (tersembunyi) serta tanpa ada media perantara. Bentuk wahyu seperti ini kadang terjadi ketika –Nabi Saw. – sedang terjaga (terbangun), dan kadang terjadi ketika sedang tertidur.
Dari sebagian hadits dapat dipahami bahwa nubuwwah (kenabian) sebagian nabi adalah bentuknya, yaitu; ilmu, pengetahuan, dan tugas-tugasnya disampaikan dan diwahyukan dengan sangat jelas ke dalam hati mereka ketika mereka sedang dalam keadaan tidur dan mereka panabi itu menyaksikan dan mendengar seluruh hakikat dan kebenaran.
Sebagian dari panabi, pada awal mula kepengutusannya, menerima wahyu dalam bentuk bertahap, sehingga pada nantinya dia sudah siap untuk menerima wahyu dalam bentuk mustaqim (langsung).
Yang dimaksud dengan rasul adalah orang yang didatangi oleh malaikat Jibril As dalam bentuk lahiriah dan menyaksikannya serta bercakap-cakap dengannya. Dan Nabi adalah orang yang diberi wahyu ketika sedang tidur. Seperti yang disaksikan Nabi Ibrahim As dalam tidurnya dan juga yang disaksikan Nabi Muhammad Saw. sebelum bi’tsah  sampai ketika Jibril As datang dari Allah SWT. membawa wahyu untuk beliau Saw. Ketika terjadi integrasi antamaqam kenabian dan risalah kenabian pada dirinya maka Jibril As datang kepada beliau dan berbicakepadanya. Sebagian panabi didatangi malaikat ketika sedang tidur dan berbicaserta bercakap-cakap dengan mereka tanpa menyaksikannya ketika terjaga. Adapun muhaddats adalah orang yang diajak bicadan dikatakan sesuatu (hadits) kepadanya lalu dia mendengar sesuatu tersebut, akan tetapi dia tidak menyaksikan dan melihatnya, baik ketika terjaga maupun ketika sedang tertidur."
Adapun ihwal Nabi Saw., beliau Saw. sebelum bi’tsah kadang bermimpi tentang berbagai macam hakikat dan kebenaran, yang mana kebenarannya sangat jelas dan sempurna.
Aisyah berkata: "Paling pertama dari tahap kenabian Muhammad Saw., ketika Allah SWT. menghendaki kemuliaan dia dan rahmat bagi hamba-hamba-Nya adalah mimpi-mimpi baik dan benar. Beliau Saw. tidak bermimpi kecuali yang dilihat itu adalah seperti cahaya putih di pagi hari yang terang."
Wahyu yang turun kepada Nabi Saw. dimulai dengan calewat mimpi sampai pada saat beliau Saw. siap untuk menyaksikan malaikat Jibril As dan menerima wahyu darinya, karena menyaksikan Jibril As dan mendengarkan suaranya serta menerima wahyu adalah sebuah perkayang sangat sulit dan berat.
Mimpi panabi merupakan sebuah bentuk musyahadah (penyaksian) terhadap berbagai macam hakikat dan kebenaran secajelas dan terang; hal tersebut memiliki kesesuaian dengan realitas luar. Padanya tidak ada jalan bagi khayalan-khayalan dan godaan-godaan setan, karena ketika mereka sedang tidur kalbu dan hatinya selalu terjaga dan sadar, meskipun mata dan telinga mereka sama seperti manusia-manusia lain ketika sedang tidur.
Rasulullah Saw. bersabda: "Mata kami tertutup dibawa tidur, namun hati-hati kami selalu terjaga dalam segala kondisi, kami bisa menyaksikan apa yang ada dibelakang sama seperti kami menyaksikan apa yang ada di depan kami."      

BAB II : AL-QUR'AN PADA MASA RASUL
A.  Pengumpulan Al-Qur'an
Di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar terjadi perang Yamamah yang mengakibatkan  banyak sekali paqurra’/ pahuffazh (penghafal Al-Qur'an) terbunuh. Akibat peristiwa tersebut, Umar bin Khaththab merasa khawatir akan hilangnya sebagian besar ayat-ayat Al-Qur'an akibat wafatnya pahuffazh, maka beliau berpikir tentang pengumpulan Al-Qur'an yang masih ada di lembaran-lembaran.
Zaid bin Tsabit berkata; "Abu Bakar telah mengirim berita kepadaku tentang korban Perang Ahlul Yamamah." Saat itu Umar bin Khaththab berapa di sisinya. Abu Bakar berkata, bahwa Umar telah datang  kepadanya lalu ia berkata: “Sesungguhnya peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan menimpa paqurra’ (pahuffazh). Dan aku merasa khawatir dengan sengitnya peperangan terhadap paqur (sehingga mereka banyak yang terbunuh) di negeri itu. Dengan demikian akan hilanglah sebagian besar Al-Qur'an.”
Abu Bakar berkata kepada Umar: “Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasul Saw.?” Umar menjawab: “Demi Allah ini adalah sesuatu yang baik." Umar selalu mengulang-ulang kepada Abu Bakar hingga Allah memberikan kelapangan pada dada Abu Bakar. Abu Bakar berkata kepada Zaid bin Tsabit, “Engkau laki-laki yang masih muda dan cerdas. Kami sekali-kali tidak pernah memberikan tuduhan atas dirimu, dan engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah Saw. sehingga engkau selalu mengikuti Al-Qur'an, maka kumpulkanlah ia.”
Demi Allah seandainya kalian membebaniku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, maka sungguh hal itu tidaklah lebih berat dari apa yang diperintahkan kepadaku mengenai pengumpulan Al-Qur'an. Zaid bertanya: “Bagaimana kalian melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw?." Umar menjawab bahwa ini adalah sesuatu yang baik. Umar selalu mengulang-ulang perkataannya sampai Allah memberikan kelapangan pada dadaku seperti yang telah diberikan-Nya kepada Umar.
Maka Zaid mulai menyusun Al-Qur'an dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, tulang-tulang, dari batu-batu tipis, serta dari hafalan pasahabat, hingga aku dapatkan akhir surat at-Taubah pada diri Khuzaimah Al-Anshari yang tidak aku temukan dari yang lainnya, yaitu; "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olenya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS. At-Taubah: 128)
Pengumpulan Al-Qur'an yang dilakukan Zaid bin Tsabit ini tidak berdasarkan hafalan pahuffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di hadapan Rasulullah Saw. Lembaran-lembaran Al-Qur'an tersebut tidak diterima, kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di hadapan Rasulullah Saw. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi dua syarat, yaitu; Pertama Harus diperoleh secatertulis dari salah seorang sahabat. Kedua Harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat.
Pengambilan akhir Surat At-Taubah sempat terhenti karena tidak bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat At-Taubah ditulis di hadapan Rasululllah Saw. Kecuali kesaksian Khuzaimah saja. Para sahabat lain pun tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.
Demikianlah, walaupun pasahabat telah hafal seluruh ayat Al-Qur'an, namun mereka tidak hanya mendasarkan pada hafalan mereka saja. Akhirnya, rampung sudah tugas pengumpulan Al-Qur'an yang sangat berat namun sangat mulia ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini bukan pengumpulan Al-Qur'an untuk ditulis dalam satu mushhaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah ditulis di hadapan Rasulullah Saw. ke dalam satu tempat.
Lembaran-lembaran Al-Qur'an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya. Kemudian berada pada Umar bin Al-Khaththab selama hidupnya. Kemudian bersama Ummul Mu`minin Hafshah binti Umar sesuai wasiat Umar.

B.  Penyalinan Al-Qur'an
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca Al-Qur'an. Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca Al-Qur'an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab. Mereka membacanya dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak membaca Al-Qur'an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling mengkafirkan di antara sesama muslim.  Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.
Hudzaifah pun marah, dan berkata: “Penduduk Kufah membaca qiraat Ibnu Mas’ud, sedangkan penduduk Bashrah membaca qiraat Abu Musa. Demi Allah jika aku bertemu dengan Khalifah, sungguh aku akan memintanya untuk menjadikan bacaan tersebut menjadi satu."
Sekitar tahun 25 H, datanglah Huzaifah bin Al-Yaman menghadap Utsman bin Affan di Madinah. Hudzaifah berkata, “Wahai Amirul Mu`minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Al-Kitab (Al-Qur'an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani."
Utsman kemudian mengutus seseorang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran Al-Qur'an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin ke dalam beberapa mushhaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi.
Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran Al-Qur'an itu kepada Utsman. Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam beberapa mushhaf.
Utsman bertanya, “Siapa yang orang yang biasa menulis?” Dijawab, “Penulis Rasulullah Saw. adalah Zaid bin Tsabit.” Utsman bertanya lagi, “Lalu siapa oang yang paling pintar bahasa Arabnya?” Dijawab, “Said bin Al-‘Ash.
Utsman kemudian berkata, “Suruhlah Said untuk mendiktekan dan Zaid untuk menuliskan Al-Qur'an.” Saat proses penyalinan mushhaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami kesulitan, yakni adanya perbedaan pendapat tentang penulisan kata “at-Taabuut."
Seperti diketahui, yang mendiktekannya adalah Said bin Al-Ash dan yang menuliskannya adalah Zaid bin Tsabit. Semua dilakukan di hadapan para sahabat. Ketika Said bin Al-Ash mendiktekan kata at-Taabuut maka Zaid bin Tsabit menuliskannya sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar yaitu at-Taabuuh, karena memang begitulah menurut bahasa mereka dan begitulah mereka menuliskannya. Tetapi anggota tim lain memberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya kata itu tertulis di dalam lembaran-lembaran Al-Qur'an dengan Ta` Maftuhah, dan mereka memperlihatkannya ke Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit memandang perlu untuk menyampaikan hal itu kepada Utsman supaya hatinya menjadi tenang dan semakin teguh.
Utsman lalu memerintahkan mereka agar kata itu ditulis dengan kata seperti dalam lembaran-lembaran Al-Qur'an yaitu dengan Ta` Mahtuhah. Sebab hal itu merupakan bahasa orang-orang Quraisy, lagi pula Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa mereka. Akhirnya ditulislah kata tersebut dengan Ta` Maftuhah.
Demikianlah, mereka tidak berbeda pendapat selain dari perkaitu, karena mereka hanya menyalin tulisan yang sama dengan yang ada pada lembaran-lembaran Al-Qur'an, dan bukan berdasarkan pada ijtihad mereka.
Setelah mereka menyalin lembaran-lembaran tersebut  ke dalam mushhaf, Utsman segera mengembalikannya kepada Hafshah. Utsman kemudian mengirimkan salinan-salinan mushhaf ke seluruh wilayah negeri Islam agar orang-orang tidak berbeda pendapat lagi tentang Al-Qur'an. Jumlah salinan yang telah dicopy sebanyak tujuh buah. Tujuh salinan tersebut dikirimkan masing-masing satu copy ke kota Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan Madinah. Mushhaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushhaf Utsmani.
Utsman kemudian memerintahkan Al-Qur'an yang ditulis oleh sebagian kaum muslimin yang bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang mutawatir tersebut untuk dibakar. Pada masa berikutnya kaum muslimin menyalin mushhaf-mushhaf yang lain dari mushhaf Utsmani tersebut dengan tulisan dan bacaan yang sama hingga sampai kepada kita sekarang.
Adapun pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah, dan kasrah dengan titik yang warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang dipakai pada mushhaf yang terjadi di masa Khalifah Muawiyah dilakukan untuk menghindari kesalahan bacaan bagi papembaca Al-Qur'an yang kurang mengerti tata bahasa Arab. Pada masa Daulah Abbasiyah, tanda syakal ini diganti. Tanda dhamah ditandai dengan dengan wawu kecil di atas huruf, fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf, dan kasrah ditandai dengan ya` kecil di bawah huruf.
Begitu pula pembubuhan tanda titik di bawah dan di atas huruf di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dilakukan untuk membedakan satu huruf dengan huruf lainnya. Dengan demikian, Al-Qur'an yang sampai kepada kita sekarang adalah sama dengan yang telah dituliskan di hadapan Rasulullah Saw. Allah SWT telah menjamin terjaganya Al-Qur'an. Tidak ada orang yang berusaha mengganti satu huruf saja dari Al-Qur'an kecuali hal itu akan terungkap.


Ulumul Qur'an Asbabun Nuzul; Ridwan, MA

BAB III : ASBABUN NUZUL
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun didalam berbagai surah berkenaan dengan satu peristiwa. Asbabun nuzul adakalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau berupa pertanyaan yang disampaikan kepada rasulullah SAW untuk mengetahui hukm suatu masalah, sehingga Qur’an pun turun sesudah terjadi peristiwa atau pertanyaan tersebut. Asbabun nuzul mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Al-Qur’an diturunkan untuk memahamipetunjuk kepada manusia kearah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimana kepada allah SWT dan risalah-Nya, sebagian besar qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah SWT.

A.      Pengertian Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul didefinisikan “sebagai suatu hal yang karenanya al-qur’an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”, asbabun nuzul membahas kasus-kasus yang menjadi turunnya beberapa ayat al-qur’an, macam-macamnya, sight (redaksi-redaksinya), tarjih riwayat-riwayatnya dan faedah dalam mempelajarinya.
Untuk menafsirkan qur’an ilmu asbabun nuzul sangat diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri dalam pembahasan dalam bidang ini, yaitu yang terkenal diantaranya ialah Ali bin madani, guru bukhari, al-wahidi , al-ja’bar , yang meringkaskan kitab al-wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu, syikhul islam ibn hajar yang mengarang satu kitab mengenai asbabun nuzul.
Pedoman dasar para ulama’ dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pembaritahuan seorang sahabat mengenai asbabun nuzul, al-wahidi mengatakan: “ tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab, kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya. Mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertian secara bersungguh-sungguh dalam mencarinya ”.
Para ulama’ salaf terdahulu untuk mengemukakan sesuatu mengenai asbabun nuzul mereka amat berhati-hati, tanpa memiliki pengetahuan yang jelas mereka tidak berani untuk menafsirkan suatu ayat yang telah diturunkan. Muhammad bin sirin mengatakan: ketika aku tanyakan kepada ‘ubaidah mengetahui satu ayat qur’an, dijawab: bertaqwalah kapada allah dan berkatalah yang benar. Orang-oarang yang mengetahui mengenai apa qur’an itu diturunkan telah meninggal.
Maksudnya: para sahabat, apabila seorang ulama semacam ibn sirin, yang termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan bahwa seseorang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul. Oleh sebab itu yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul.
Al-wahidi telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul, bahkan dia (Al-wahidi) menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan: “ sekarang, setiap orang suka mangada-ada dan berbuat dusta; ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat ”.
B.  Pedoman mengetahui asbabun nuzul
Aisyah pernah mendengar ketika khaulah binti sa’labah mempertanyakan suatu hal kepada nabi bahwasannya dia dikenakan zihar. Oleh suaminya aus bin samit katanya: “ Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan zihar kepadaku”. Ya allah sesunguhnya aku mengadu kepadamu, aisyah berkata: tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini; sesungguhnya allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni aus bin samit.
“Hal ini tidak berarti sebagai acuan bagi setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat”, karena tidak semua ayat qur’an diturunkan sebab timbul suatu peristiwa dalam kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat qur’an yang diturunkan sebagai permulaan tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban islam dan syariat allah dalam kehidupan pribadi dan social.
Definisi asbabun nuzul yang dikemukakan pada pembagian ayat-ayat al-qur’an terhadap dua kelompok: Pertama, kelompok yang turun tanpa sebab, dan kedua, adalah kelompok yang turun dengan sebab tertentu. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tidak semua ayat menyangkut keimanan, kewajiban dari syariat agama turun tanpa asbabun nuzul.
Sahabat ali ibn mas’ud dan lainnya, tentu tidak satu ayatpun diturunkan kecuali salah seorang mereka mengetahui tentang apa ayat itu diturunkan seharusnya tidak dipahami melalui beberapa kemungkinan; Pertama, dengan pernyataan itu mereka bermaksud mengungkapkan betapa kuatnya perhatian mereka terhadap al-qur’an dan mengikuti setiap keadaan yang berhubungan dengannya. Kedua, mereka berbaik sangka dengan segala apa yang mereka dengar dan saksikan pada masa rasulullah dan mengizinkan agar orang mengambil apa yang mereka ketahui sehingga tidak akan lenyap dengan berakhirnya hidup mereka, bagaimanapun suatu hal yang logis bahwa tidak mungkin semua asbabun nuzul dari semua ayat yang mempunyai sebab al-nuzul bisa mereka saksikan. Ketiga, para periwayat menambah dalam periwatnya dan membangsakannya kepada sahabat.
Intensitas para sahabat mempunyai semangat yang tinggi untuk mengikuti perjalanan turunnya wahyu, mereka bukan saja berupaya menghafal ayat-ayat al-qur’an dan hal-hal yang berhubungan serta mereka juga melestarikan sunah nabi, sejalan dengan itu al-hakim menjelaskan dalam ilmu hadist bahwa seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-qu’an diturunkan tentang suatu (kejadian) maka hadist itu dipandang hadist musnad, Ibnu al-shalah dan lainnya juga sejalan dengan pandangan ini.
Asbabun Nuzul dengan hadist mursal, yaitu hadist yang gugur dari sanadnya seoarng sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in, maka riwayat ini tidak diterima kecuali sanadnya shahih dan mengambil tafsirnya dari para sahabat, seperti mujahid, hikmah dan said bin jubair. para ulama menetapkan bahwa tidak ada jalan untuk mengetahui asbabun nuzul kecuali melalui riwayat yang shahih. Mereka tidak dapat menerima hasil nalar dan ijtihad dalam masalah ini, namun tampaknya pandangan mereka tidak selamanya berlaku secara mutlak, tidak jarang pandangan terhadap riwayat-riwayat asbabun nuzul bagi ayat tertentu berbeda-beda yang kadang-kadang memerlukan Tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat) untuk melakukan tarjih diperlukan analisis dan ijtihad.

C.  Macam-Macam Asbabun Nuzul
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun nuzul dapat dibagi kepada ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu) dan ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu). sebab turun ayat disebut ta’addud karena wahid atau tunggal bila riwayatnya hanya satu, sebaliknya apabila satu ayat atau sekelompok ayat yang turun disebut ta’addud al-nazil.
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat-ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat ini harus diteliti dan dianalisis, permasalahannya ada empat bentuk: Pertama, salah satu dari keduanya shahih dan lainnya tidak. Kedua, keduanya shahih akan tetapi salah satunya mempunyai penguat (Murajjih) dan lainnya tidak. Ketiga, keduanya shahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat (Murajjih). Akan tetapi, keduanya dapat diambil sekaligus. Keempat, keduanya shahih, tidak mempunyai penguat (Murajjih) dan tidak mungkin mengambil keduanya sekaligus.



D.  Pengetahuan Tentang Asbabun Nuzul
Perlunya mengetahui asbabun nuzul, al-wahidi berkata:” tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat al-qur’an tanpa mangetahui kisahnya dan sebab turunnya ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami makna al-qur’an”. Ibnu taimiyah berkata: mengetahui sebab turun ayat membantu untuk memahami ayat al-qur’an. Sebab pengetahuan tentang “sebab” akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat).
Namum sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak semua al-qur’an harus mempunyai sebab turun, ayat-ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak semuanya harus diketahui sehingga, tanpa mengetahuinya ayat tersebut bisa dipahami, ahmad adil kamal menjelaskan bahwa turunnya ayat-ayat al-qur’an melalui tiga cara:
1. Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada nabi.
2. Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan.
3. Ketiga ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua kelompok, yaitu; 1). Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui (hukum) karena asbabun nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru. 2). Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, (ayat yang menyangkut kisah dalam al-qur’an).
Kebanyakan ayat-ayat kisah turun tanpa sebab yang khusus, namun ini tidak benar bahwa semua ayat-ayat kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya, bagaimanpun sebagian kisah al-qur’an tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab turunnya.

E.  Faedah Asbabun Nuzul
1. Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan allah secara khusus mensyari’atkan agama-Nya melalui al-qur’an.
2. Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya.
3. Dapat menolak dugaan adanya Hasr (pembatasan).
4. Dapat mengkhususkan (Takhsis) hokum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
5. Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hokum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya (yang mengkhususkannya).
6. Diketahui ayat tertetu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang tidak bersalah.
7. Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.



ULUMUL QUR'AN Esensi Wahyu Qur'an ; Ridwan, MA

1.   Esensi Al-Qur’an dan Wahyu 
Bila ada seorang lagi melontarkan suatu kata tertentu, maka kita akan melihatnya sedang menggerakan lisannya dengan memakai alat lain yaitu mulut. Gerakan ini dinamakan kata yang terucap(kalam lafdzy), begitu juga kata yang dilontarkan. Terkadang kita juga merangkai kata namun tidak diwujudkan dengan bentuk di atas. merangkai kata ini dinamakan kata hati(kalam al-Nafsi), begitu juga rangkaian katanya.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa kalam itu dibagi menjadi dua bagian.pertama, Kalam Lafdzy. Kedua, Kalam Nafsy. Dua pembagian kalam ini terdapat pada dzat yang hadist(Makhluq) dan yang Qadim(khaliq). Namun apakah kalamnya makhluq sama dengan kalamnya khaliq?. Dan apakah al-Quran yang kitabaca sekarang makluq?.
Al-Qur’an menurut bahasa adalah Masdar yang searti dengan lafadz Qira’ah(membaca) kemudian dijadikan nama bagi kalam yang ditutrunkan ke Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang dikatakan oleh imam al-Lihyani dan kebanyakan ulama. Ada juga yang mengatakan sifat dari lafadz Qar’i dengan arti kumpul, ada juga yang mengatakan bahwa Qur’an itu diambil dari lafadz Qara’in dan Qarana. Namun pendapat ini tidak terlalu tepat, karena terdapat unsur pemaksaan dan dan tidak mengikuti kaidah pengambilan kata(isytiqaq).

Al-Qur’an juga punya nama lain yaitu al-Furqan meninjau eksistensinya sebagai kalam yang dapat memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Dan al-Qura’an sama al-Furqan ini adalah dua nama bagi kalamu al-Allah yang termasyhur. Sementara nama-nama lain, seperti al-Kitab, al-Dzikri dan al-Tanzil DLL semuanya merujuk pada keduanya, sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama Tafsir. Sebenarnya masih banyak nama-nama al-Qur’an selain yang penulis sebutkan di atas, bahkan ada sebagian ulama yang ketelaluan dalam menamainya sampai lebih dari Sembilan puluh nama, sebagaimana yang disebutkan oleh pengarang kita al-Tibyan.
Sementara difinisi al-Qur’an menurut istilah adalah sifat Qadim yang berhubungan dengan kalimat al-Hukmiyah atau dengan kata lain adalah firman Allah yang tidak memakai huruf dan suara. Difinisi ini adalah difinisi ulama Tauhid(Mutakallimin). Sementara Ulama ushul Fiqih mendifiniskannya sebagai lafadz yang diturunkan kepada Nabi dari awal surat al-fatihah sampai ahir surat an-Nas. Ada juga yang mendifinisikannya sebagai lukisan yang ada disetiap lembar Mushaf yang kita kenal sekarang. Difinisi-difinisi di atas tidak ada yang bertentangan karena tinjaunnya adalah pembahasan yang berkaitan dengan setiap apa yang ditekuni para ulama(takhasshus).[1] Mutakallimin membahas tentang sifat Allah dan yang menafikan keberadaan al-Qur’an sebagai makhluk sementara ulama Ushul Fiqih membahas penetapan dalil sebuah hukum(istidlal) yang hubungannya dengan lafadz.
a.    Jibril dan Wahyu
Banyak sekali nash-nash al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah berbicara terhadap para malaikat tanpa pelantara apapun, sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 30, al-Anfal ayat 13, al-Dzariyat ayat 4 dan al-Nazi’at ayat 5. Diriwayatkan dari Nuwas Bin Sam’an bahwa rasulullah berkata: ”Bila Allah menghendaki suatu perkara, maka Allah akan berbicara. Semua langit dan seisinya merasa ketakutan, akhirnya mereka semua bersujud pada Allah dan tidak ada yang berani mengangkat kepalanya kecuali Malaikat Jibril. Kemudian Allah menyampaikan padanya perkara yang dikehendaki tersebut dan Jibrilpun menerimanya secara langsung(sima’an). Setelah itu Jibril berjalan mengelilingi langit dan setiap dia ketemu Malaikat dia ditanya perihal firman Allah tadi Jibrilpun menjawabnya, kemudian para malaikat itu berkata bahwa semua yang disampaikan Jibril adalah apa yang disampaikan Allah.”.
Terkait dengan al-Qur’an sebagai Wahyu ada tiga pendapat. Pertama, Jibril menerimanya secara langsung dari Allah(sima’an). Kedua, Jibril menghafalnya dari Lauhi al-Mahfudz. Ketiga, Allah mewahyukan secara makna, sementara lafadzya dari Jibril atau dari Muhammad SAW. Pendapat ketiga ini jelas batilnya meninjau al-Qur’an itu sendiri, karena di sana ada hadit Qudsi yang kebanyakan ulama’ sepakat sebagai wahyu dari Allah namun secara makna sementara lafadzya dari Rasul sendiri.

b.         Wahyu dan Rasulullah
Yang dimaksud wahyu di sini al-Qur’an dan hadis Nabi baik hadis Qudsi atau bukan, namun penulis lebih memfokuskan pada al-Qur’an sebagai kajian di sini. Ada dua model Rasulullah menerima wahyu dari Allah. Pertama, langsung dari Allah. Kedua, melalui pelantaraan malaikat. Wahyu yang secara langsung ini terkadang berbentuk sebuah mimpi nyata dan kalam ilahi dari di belakang layar(wara’a hijab) seperti wahyu yang turun pada Rasulullah di malam Isra’ dan Mi’raj. Pelentara yang disebutkan di sini bisa berbentuk kekuatan suara yang terkadang berupa kepakan sayap malaikat atau deringan bel(shalshalatu al-Jarras) sebagai tanda, sehingga Rasul bisa bersiap-siap menerima wahyu tersebut. Terkadang Malaikat Jibril mendatangi Rasul secara langsung dengan bentuk manusia, sebagaimana dalam hadis yang menjelaskan tentang Iman, Islam dan Ihsan.
c.        Al-Qur’an Dan Firman Allah
Bicara tentang firman Allah berarti berbicara tentang difinisi-difinisi di atas, yaitu kalam yang Qadim yang tidak menggunakan suara dan huruf, lukisan yang ada disetiap lembar Mushaf yang kita kenal sekarang, atau lafadz yang diturunkan pada Rasulullah dari awal surat al-Fatihah sampai akhir al-Nas yang juga kita kenal dengan Mushaf di masa sekarang. Dua difinisi ini sama-sama dikatakan al-Qur’an. Namun yang kedua hanya bukti dari firman Allah tersebut(dilalah yang ditunjukannya sama dengan dilalah kalamullah yang Qadim) bukan firman Allah itu sendiri, karena karena firman Allah itu Qadim sementara bukti(al-Qur’an yang kita kenal sekarang) itu baru(baru). Namun walaupun begitu bukti tadi tetap dikatakan al-Quran dan bukan makhluk karena mengindikasikan firman yang Qadim sebagaimana yang disebutkan imam Sanusi dalam kitabnya”Hasyiyatu al-Sanusi”.[2] Diriwayatkan bahwa Siti Aisyah pernah berkata”Lukisan yang berada di setiap lemabar atau Mushaf yang kita kenal sekarang adalah firman Allah(kalamullah) dengan artian diciptkan oleh Allah(makluqun lahu) bukan manusia”. Karena itu tidak ada alasan bagi kita untuk mengatkan al-Qur’an itu makluk lebih-lebih kalau harus meremehkannya sebagaimana kejadian yang pernah dilakukan oleh sebagian dosen di Surabaya di IAIN Surabaya. Untuk lebih membuktikan kemulyaan al-Qur’an tersebut ada pertanyaan dari penulis yang bisa kita renungkan sendiri”Apa yang kita rasakan bila kita punya karangan atau mengatakan sesuatu kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan, kemudian tulisan diremehkan oleh seseorang dengan diinjaknya atau dengan model peremehan yang lain?”. ini adalah bukti keterkaitan al-Qur’an yang kita kenal sekarang dengan kalamullah al-Qadim tersebut.
Untuk lebih membuktikan lagi keberadaan al-Qur’an sebagai kalamullah dan murni dari Allah secara lafadz dan makna adalah apa yang riwayatkan imam Suyuti dari imam Juwaini bahwa beliau membagi firman Allah menjadi dua bagian. Pertam, Allah memerintah malaikat Jibril untuk menyampaikan sesuatu pada Nabi seraya berkata”Hai Jibril katakana pada Nabi” sesungguhnya Allah memerintahkan ini dan itu”. Kemudian Jibril memahami apa yang diperintahkan Allah dan menyampaikannya pada Nabi, namun bukan dengan redaksi yang dari Allh tersebut. Kedua, perintah Allah pada malaikat Jibril”Hai Jibril Bacakanlah pada Nabi kitab ini kemudian Jibril turun pada Nabi untuk menyampaikan perintah tadi tanpa merubah redaksi yang disampaikan Allah padanya. Setelah itu imam Suyuti mengatakan bahwa al-Qur’an termasuk bagian yang kedua sementara bagian yang pertama adalah hadis Rasul, karena itu boleh meriwayatkan hadis secara makna(al-Riwayah bi al-Ma’na).
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa al-Qur’an itu bisa dikatakan pada al-qur’an yang kita kenal sekarang(al-Alfadz al-Musyarrafah) dan firman Allah yang Qadim, namun kita tetap tidak boleh mengatakan al-Qur’an(al-Alfadz al-Musyarrafah) adalah hadis karena al-Qur’an tersebut mengindikasikan keberadaan firman Allah yang Qadim, sehingga sebagai kesimpulan kita juga tidak bisa mengatakan kalau al-Qur’an itu makluq.[3]
Esensi Wahyu
Menurut bahasa (lughah), kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy yang memiliki beberapa arti, di antaranya; suara, tulisan isyarat, bisikan, paham dan juga api. Ttp ada juga yang mengartikan bisikan  yang tersembunyi dan cepat. Dengan demikian, pengertian wahyu secara etimologis  adalah penyampaian sabda tuhan kepada manusia piihan-nya tanpa diketahui orang lain , agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai pegangan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Pengertian Wahyu Secara Terminologis adalah pemberitahuan Allah swt kepada hambanya yang terpilih mengenai segala sesuatu yang ia kehendaki untuk dikemukakannya, baik berupa petunjuk atau ilmu, namun penyampaiannya secara rahasia dan tersembunyi serta tidak terjadi pada manusia biasa. Sedang wahyu Allah kepada para nabi-Nya secara syar’i  definisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi. Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu almuha (yang diwahyukan). Ustad Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalatut Tauhid adalah pengetahuan yang didapati oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahawa pengetahuan itu datang dari Allah, melalui perantara ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang menjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama sekali. Beza antara wahyu dengan ilham adalah bahawa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih, dan senang.
Definisi di atas adalah definisi wahyu dengan pengertian masdar. Bahagian awal definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau kasyaf, tetapi pembezaannya dengan ilham di akhir definisi meniadakan hal ini. Sebagaimana pengakuan al-Qur’an bahwa wahyu merupakan sebuah hakikat dan kebenaran dan dalam beberapa ayat al-Qur’an hal tersebut dinisbahkan kepada Nabi saw. Akan tetapi, al-Qur’an, dalam menjelaskan esensi wahyu, hanya sekedar mengisyaratkan saja dan tidak memaparkan sedetail mungkin. Al-Qur’an menyatakan: “Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (Qs. asy-Syu’araa’ ayat 192-194).
[1] Panitia gerakan pengajar, Unifersitas al-Azhar, Mabahits Fi Ulumi al-Qur’an, hal. 10-11
[2] . Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyatu al-Sanu Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyatu al-Sanusi, hal, 23
[3] Abi al-Hasan Ali Bin Hisyam Al-Kailani, Syarhu Kifayatu al-Awam, Hal, 56

Ulumul Qur'an I'jaz Qur'an dan Rasmul Qur'an; Ridwan, MA

BAB V: 'IJAZ
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?. Kitab suci Al-Qur'an penuh keistimewaan dan merupakan mu’jizat yang diberikan kepada nabi Muhammad Saw. Nabi Akhir Zaman yang pada beliau telah sempurna agama ini dan menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk menjalani kehidupan. Kita sering merasa memahami Al-Qur'an bukanlah hal yang mudah, apalagi bahasanya yang memang berbeda dengan bahasa Indonesia, tetapi itulah keindahannya, ketika kita tilawah kita sedang berusaha untuk berdialog dengan Allah SWT.
Jika kita amati ayat diatas, ternyata ayat tersebut didalam surat Al Qamar diulang sebanyak 4 kali yaitu pada ayat 17, 22, 32, dan 40. Hal tersebut sebagai bukti bahwa Allah menjanjikan kemudahan bagi kita untuk mempelajari Al-Qur'an, baik dalam mempermudah pembacaan maupun memahami pengertian yang penuh ibarat dan tamsil (membuat pemisalan perumpamaan), serta untuk kita jadikan pelajaran dan direnungkan.
Ibarat komunikasi, jika salah dialek saja maka orang yang sedang berkomunikasi dengan kita bisa tidak paham apa maksud kita, salah arti atau yang lebih fatal bisa salah makna. Al-Qur'an langsung diturunkan sebagai firman Allah SWT.
Saat tilawah adalah saat kita berkomunikasi dengan Allah. Agar komunikasi berjalan dua arah, perlu kita perbaiki bacaan kita, mulai dari makharijul (cara keluar) huruf dan penggunaan tajwid yang benar.
Sekali lagi mari kita dalami makna ayat di atas, bahwa tak ada kesukaran ketika kita memang sungguh-sungguh memahaminya. Dan ayat tersebut terbukti pada kemudahan dari keunikan yang ada pada Al-Qur'an cetakan Timur Tengah atau sering disebut Al-Qur'an Utsmani atau Al-Qur'an Madinah.
Al-Qur'an Madinah merupakan Al-Qur'an standar yang dipakai di seluruh dunia. Pada Al-Qur'an tersebut, kita dibantu untuk tidak perlu hafal huruf dalam hukum tajwid seperti ikhfa, ’idgham dan idzhar. Karena terdapat beberapa tanda yang mempermudah kita dalam membacanya.
Pada Al-Qur'an Madinah, hukum idzhar dimana dibaca jelas dan tidak ghunnah (mendengung) ditandai dengan nun mati yang diatasnya ada tanda sukun, kemudian untuk fat-ha-tain dan kasrah-tain kalau diperhatikan bentuk garisnya sejajar, sementara itu untuk dhammah bentuknya seperti angka enam sembilan.
Bacaan Idzhar
Berbeda dengan ikhfa’ dibaca samar antara idgham dan idzhar disertai ghunnah, sehingga pada Al-Qur'an Madinah ditandai dengan nun mati yang tidak ada tanda sukun diatasnya dan tanda fat-ha-tain serta kasrah-tain jika diperhatikan tidak sejajar bentuknya, sementara itu untuk dhammah bentuknya seperti angka sembilan-sembilan.
Bacaan Ikhfa'
Sementara untuk idgham yang dibagi dua: idgham sempurna dan tidak sempurna juga memiliki ciri khas tertentu pada Al-Qur'an Madinah. Idgham sempurna adalah memasukkan huruf setelahnya dengan sempurna sehingga huruf pertama hilang makhraj dan sifatnya, dan idgham tidak sempurna adalah memasukkan huruf pertama dimana masih ada sifatnya.
Idgham sempurna ditandai dengan tanda seperti ikhfa’ tetapi setelah tanda baca bertemu huruf yang ber-tasydid. Sedangkan yang tidak sempurna hurufnya tidak ber-tasydid setelah tanda baca.
Bacaan Idgham

Belajar hukum tajwid memang fardhu kifayah, tetapi hukum praktiknya adalah fardhu ‘ain. Di setiap lantunan ayat Al-Qur'an yang kita baca, ada do’a pengharapan, ada peringatan, dan ada hikmah yang perlu dipelajari dan direnungkan. Oleh karena itu, tak ada alasan untuk merasa sulit, tetapi kesungguhan yang diperlukan. Janji Allah yang mempermudah kita dalam mempelajarinya terbukti dari tanda-tanda yang unik yang membuat kita mudah untuk membacanya.
Ibnu `Abbas berkata: “Andaikata Allah tidak memudahkan Al-Qur'an bagi lidah manusia, niscaya tidak seorang pun dari manusia yang dapat berbicara dengan pembicaraan Allah.”
Untuk mengenal Al-Qur'an dengan lebih dekat melalui menghafalnya, maka diperlukan perbaikkan bacaan yang tiada henti, selain itu tak lupa untuk mengajarkan kembali apa yang sudah dipelajari. Belajar makharijul (cara keluar) huruf hijaiyah sesuai haqnya memang sulit, tetapi kesulitan itu akan berakhir pada kemudahan kita membacanya dengan sempurna seperti bacaan Rasulullah shalallahu alaihi was salam.
Ibadah adalah cinta dan kesungguhan. Jadi, jangan pernah lelah untuk meletakkan kata-kata itu dalam hati kita dan menjadikannya pelecut ibadah dan amal. Sesungguhnya, Al-Qur'an itu mudah untuk dipelajari.

BAB VI: RASMUL QUR'AN

Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah suatu pertanda diangkatnya Baginda sebagai seorang Nabi sekaligus Rasul yang mengemban amanat untuk mentablighkan tekstual dan kontekstual wahyu-wahyu tersebut kepada umat. Diharapkan umat yang bergelimang dengan dekadensi moral dan politheisme kembali ke jalan yang benar, menjadi manusia yang tidak diperbudak oleh kejumudan (stagnansi) berpikir. Baginda menginginkan kaum Quraisy menuju jalan kecerdasan dan kesempurnaan.
Setiap kali wahyu diturunkan oleh Jibril kepada Nabi maka Baginda segera mengajarkannya kepada para sahabat. Dari proses inilah kemudian muncul penulisan dan pembukuan Al-Qur'an sehingga setiap muslim di mana pun ia berada dapat memiliki dan mempelajarinya. Al-Qur'an yang ada di tangan kita sekarang bukan sekedar sebuah Kitab Suci akan tetapi bukti sejarah kecerdasan seeorang Nabi yang Ummy, kepedulian terhadap generasi dan regenerasi muslim berkualitas qur’any, dan kepekaan akan kondisi masa depan.
Bagaimana proses itu terjadi dan apa-apa saja motif yang mendorong penulisan dan pembukuan Al-Qur'an serta siapa saja tokoh-tokoh sahabat atau tabi’in yang terlibat dalam menghantarkan Al-Qur'an ke tengah peradaban dunia yang bersumber darinya. Bagaimana peran Al-Qur'an dalam merubah paradigma lama kaum Quraisy dalam sastera, sehingga ribuan bait syair yang mereka hafal berganti menjadi ribuan ayat-ayat Kalam Suci Sang Maha Suci. Bukan sekedar itu, bahkan mindsite mereka mengalami brain washing secara serta merta baik mereka sadari ataupun tidak karena Al-Qur'an memang sebuah Kitab Suci yang sempurna dan penyempurna Kitab Suci-Kitab Suci terdahulu.

A.  Pada Masa Rasululah
Pada masa Rasulullah masih hidup Al-Qur'an dipelihara sedemikia rupa, sehingga cara yang paling terkenal untuk memelihara Al-Qur'an adalah dengan menghafal dan menulisnya. Rasulullah di masa hidupnya menyampaikan wahyu kepada para sahabat dan memerintahkan agar sahabat menghafalnya dengan baik. Apa yang diperintahkan oleh Rasulullah dapat dilaksanakan dengan baik pula oleh para sahabat.
Al-Qur'an yang turun secara berangsur-angsur baik di Mekah maupun di Madinah sangat memudahkan dokumentasi yang dilakukan para sahabat. Al-Qur'an tidak turun sekaligus seperti proses pembelian di toko akan tetapi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pada waktu itu.
Seperti yang diriwayatkan Ibnu Abbas : “Al-Qur'an diturunkan secara terpisah (perayat atau beberapa ayat) tidak persurah, maka yang diturunkan di Mekah kami tetapkan di Mekah walaupun penyempurnaannya di Madinah. Demikian juga yang diturunkan di Madinah, bahwasanya Al-Qur'an itu dipisah antara satu surah dengan surah yang lain, apabila turun Bismillahirrahmanirrahim maka mereka (para sahabat) mengetahui bahwa surah yang pertama sudah selesai dan dimulai dengan surah yang lain”.
1.                     Penulis Wahyu
Selain dari cara menghafal, Rasulullah memerintahkan agar para sahabat yang pandai menulis segera menuliskan ayat-ayat Al-Qur'an yang telah dihafal oleh mereka. Di antara sahabat yang diperintahkan untuk menulis ayat-ayat Al-Qur'an adalah: 1). 4 sahabat terkemuka, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali, 2). Muawiyah bin Abu Sofyan, 3). Zaid bin Tsabit, 4). Ubay bin Ka’ab, dan 5). Khalid bin Walid.
Mengenai para penulis Alqur’an yang disebut dengan istilah kuttab, Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i tidak menyebutkan 8 orang seperti yang dikemukakan oleh Abu Anwar, akan tetapi menurut mereka berdua bahwa para penulis wahyu itu ada 18 orang, yaitu; 1). Abu Bakar As-Siddiq, 2). Umar bin Khattab, 3). Usman bin Affan, 4). Ali bin Abi Thalib, 5). Ubay bin Ka’ab bin Qais, 6). Zaid bin Tsabit, 7). Zubair bin Awwam, 8). Muawiyah bin Abu Sofyan, 9). Arqom bin Maslamah, 10). Muhammad bin Maslamah, 11. Abban bin Sa’id bin ‘Ash, 12. Khalid bin Sa’id bin ‘Ash, 13. Tsabit bin Qais, 14. Hanzalah bin Rabi’, 15. Khalid bin Walid, 16. Abdullah bin Arqam, 17. Al-A’la bin Utbah, dan 18. Syurahbil bin Hasanah.
Tetapi menurut Al-Hafizh Abu Qosim di dalam bukunya Tarikh Damsyiq bahwa para kuttab berjumlah 23 orang. Selain yang 18 orang yaitu: Abdullah bin Zaid bin Abdu Robbih, Mughiroh bin Syu’bah, As-Sijil, dan Arqom bin Abil Arqom.
2.    Metode dan Sarana Penulisan
Setiap kali Nabi menerima wahyu maka Baginda membacakan wahyu tersebut di hadapan para sahabat lalu diperintahkan kepada para kuttab untuk menulisnya dan kemudian menyerahkannya kepada Nabi untuk disimpan. Sehingga Al-Qur'an benar-benar terjaga dan terpelihara walaupun Bangsa Arab pada masa itu terkenal dengan kemampuan menghafal data dalam jumlah yang banyak.
Tulisan yang ditulis oleh para penulis wahyu itu disimpan di rumah Rasul. Di samping itu mereka juga menulis untuk mereka sendiri. Di saat Rasul masih hidup Al-Qur'an belum dikumpulkan di dalam satu mushaf (buku yang berjilid).
Kondisi Bangsa Arab pada zaman Nabi belum begitu maju di bidang percetakan dan perusahaan kertas seperti di negeri Persia dan Romawi, maka alternatif yang kondisional adalah dengan menggunakan media yang ada di sekitar mereka seperti pelepah kurma, kepingan batu, kulit kayu, kulit dan tulang hewan, dan sebagainya.
Adapun tulisan Arab itu mula-mula diciptakan orang di Yaman, sebenarnya hurufnya sudah didapat dan dipakai orang sejak dari zaman dahulu kala, semasa Himyar memerintah di sana, konon kabarnya tatkala Al-Munzir mendirikan kerajaan di Hirah, tulisan Arab itu telah diajarkan dan dipelajari orang. Menurut Ridho orang-orang Arab belajar tulisan dari orang-orang Thaif yang dipelajari dari seorang laki-laki suku Hirah dan orang-orang Hirah mempelajarinya dari orang-orang Anbar. Huruf itu terpakai sampai kepada masa Sayyidina Umar memerintah di Kufah. Inilah sebabnya maka tulisan Arab itu dinamakan Huruf Kufi.
Tulisan yang dipakai pada masa Nabi Muhammad SAW adalah tulisan Kufi itu juga, dan yang membawa tulisan itu ke tanah Hijaz ialah Karb bin Umayyah, dan dengan demikian catatan-catatan ayat Al-Qur'an dalam masa Rasulullah dilakukan dengan tulisan itu.

3.    Guru Al-Qur'an dan Sarana Belajar
Al-Qur'an tidak sekedar ditulis oleh para sahabat akan tetapi lebih dari itu senantiasa dipelajari dengan seksama, apalagi Nabi ada di tengah-tengah mereka sehingga menjadi rujukan utama dalam pemahaman kontekstual Al-Qur'an. Karena pemahaman Al-Qur'an secara tekstual saja tidak cukup untuk menjalani roda kehidupan di dunia ini.
Sangat diperlukan pendalaman dan penggalian terhadap kontekstual Al-Qur'an yang bahasanya tidak sekedar tersurat bahkan banyak sekali yang tersirat, oleh karena itu pembelajaran Al-Qur'an sudah berlangsung sejak zaman Nabi. Pemahaman yang salah tidak sekedar merusak diri pribadi bahkan menodai kemurnian syariat dan menyesatkan orang lain.
Metodologi pembelajaran pada zaman Nabi menurut Prof. Dr. H. Syamsul Nizar, M.Ag ada dua macam, pertama rumah Arqam bin Arqam dan kuttab. Kuttab adalah istilah tulis baca dan istilah kuttab juga berarti penulis wahyu, biasanya Nabi mendiktekan dan para sahabat menulis ayat yang didiktekan Nabi.
Maka pembelajaran Al-Qur'an sangat digalakkan oleh Nabi terutama kepada para muallaf. Belajar Al-Qur'an sangat didorong oleh Nabi sebagaimana diceritakan oleh Ubadah bin Shamit: “Apabila ada seorang yang hijrah (masuk Islam) Nabi menyerahkannya kepada salah seorang di antara kami untuk mengajarkannya. Di Mesjid Nabawi sering terdengar kegaduhan dalam membaca Al-Qur'an, sehingga Rasul memerintahkan kepada mereka agar jangan saling mengganggu”.
Di antara para sahabat yang terkenal sebagai guru mengajar Al-Qur'an kepada sesamanya dan kepada para tabi’in adalah: 1). Usman bin Affan,
2). Ali bin Abi Thalib, 3). Ubay bin Ka’ab, 4). Zaid bin Tsabit, 5). Ibnu Mas’ud, 6). Abu Darda’, dan 7). Abu Musa al-Asy’ari.

4.    Motivasi menghafal Al-Qur'an
Di samping motivasi belajar Al-Qur'an, Nabi juga senantiasa menganjurkan para sahabat untuk menghafalnya, apalagi Bangsa Arab terkenal dengan kemampuan menghafal dan daya ingat yang luar biasa. Tak heran kalau banyak di antara sahabat yang hafal Al-Qur'an 30 juz.
Motivasi itu bukan hanya dari Nabi tetapi juga dari diri mereka sendiri begitu mereka mendengar untaian-untaian Kalam Ilahy yang dibacakan Nabi. Bahasa Al-Qur'an melemahkan bait-bait syair Mu’allaqotul Asy’ar yang mereka hafal, tanpa terasa akal pikiran mereka meninggalkan syair bait demi bait dan menggantikannya dengan menghafal Al-Qur'an ayat demi ayat.
Di antara sahabat-sahabat terkemuka yang menghafal Alqur’an menurut hadits yang diriwayatkan Bukhari adalah: 1). Abdullah bin Mas’ud, 2). Salim bin Mu’aqil, dia adalah Maula Abu Huzaifah, 3). Mu’az bin Jabal, 4). Ubay bin Ka’ab, 5). Zaid bin Tsabit, 6). Abu zaid bin Sukun, dan 7). Abu Darda’.
Menurut sumber Hadits Bukhari, bahwa tujuh orang tersebutlah yang bertanggung jawab mengumpulkan Al-Qur'an menurut apa yang mereka hafal itu, dan yang dihafalnya itu dikembalikan kepada Rasulullah. Jadi, melalui sanad-sanad mereka inilah Al-Qur'an sampai kepada kita seperti yang ada sekarang ini.
Berbeda dengan Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, menurut mereka berdua bahwa di antara para sahabat yang hafal Al-Qur'an keseluruhannya adalah sebagai berikut: 1). Abu Bakar As-Siddiq, 2). Umar bin Khattab, 3). Usman bin Affan, 4). Ali bin Abi Thalib, 5). Talhah, 6). Sa’ad, 7). Hudzaifah, 8). Salim, 9). Abu Hurairah, 10). Abdullah bin Mas’ud, 11). Abdullah bin Umar, 12). Abdullah bin Abbas, 13). Amr bin Ash, 14). Abdullah bin Amar bin Ash, 15). Muawiyah bin Abu Sofyan, 16). Ibnu Zubair, 17). Abdullah bin Saib, dan 18). ‘Aisyah Ummul Mukminin, 19). Hafshah Ummul Mukminin, 20). Ummu Salamah Ummul Mukminin, 21). Ubay bin Ka’ab bin Qais, 22). Mu’adz bin Jabal
23). Zaid bin Tsabit, 24. Abu Darda’, 25. Abu Zaid (Qais bin Sakan), 26. Majma’ bin Jariyah (Haritsah), 27. Anas bin Malik, 28. Ubadah bin Shamit
29. Fudhalah bin Ubaid, 30. Maslamah bin Khalid, 31. Qais bin Shasha’ah, 32. Tamim Ad-Dari, 33. Salamah bin Makhlad, 34. Abu Musa Al-Asy’ari
35. Uqbah bin Amir, dan 36. Ummu Faraqah binti abdullah bin Harits.

B. Pada masa Khalifah Abu Bakar
1. Kondisi Al-Qur'an
Pada masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar As-Siddiq masih tersimpan dengan rapi di dalam dada para sahabat yang hafal dan juga tertulis pada pelepah-pelepah kurma, batu-batu tipis, kulit-kulit kayu dan tulang-tulang hewan. Apa yang dihafal oleh para sahabat sesuai dengan hafalan Nabi, apa yang tertulis sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Nabi ketika membacakan wahyu di depan para sahabat.
Kondisi istimewa ini sangat rawan dengan penurunan kualitas sebab daya hafal dan pemahaman generasi berikutnya tidaklah seistimewa generasi pertama ditambah lagi dengan mulai terjadi pembangkangan agama sebagai sinyalir melemahnya keimanan terhadap Al-Qur'an. Ada yang mengaku dirinya adalah nabi, ada pula yang dengan sengaja meruntuhkan Rukun Islam.

1.      Gagasan Pengumpulan Al-Qur'an Menjadi Mushaf
Demoralitas kaum munafikin sangat mengganggu ketentraman beragama pada masa Abu Bakar dan berpengaruh pada keimanan kaum muslimin yang lainnya. Musailamah Al-Kadzab mengaku dirinya nabi dan bukan sekedar mengaku tetapi mempengaruhi akidah kaum muslimin Bani Hanifah dari penduduk Yamamah.
Dampak negatif dari pengakuan Musailamah adalah kemurtadan dan pembangkangan dalam membayar zakat. Dari karena itu Abu Bakar mengambil inisiatif prepentif agar akidah dapat dikembalikan dan dimurnikan seperti sedia kala. Disiapkanlah pasukan perang di bawah komando militer Khalid bin Walid berangkat menuju Yamamah. Perang Yamamah ini banyak menelan korban dari pihak kaum muslimin, setidaknya gugur sekitar 70 penghafal Al-Qur'an.
Hal ini menggusarkan pikiran Umar bin Khattab khawatir lenyapnya Al-Qur'an dari muka bumi ini sebagai akibat dari gugurnya para penghafal Al-Qur'an dalam peperangan. Maka timbullah gagasan menghimpun Al-Qur'an menjadi satu mushaf dan gagasan cemerlang ini disetujui oleh Abu Bakar. Segeralah gagasan dilaksanakan dengan menyurati Zaid bin Tsabit sebagai penulis wahyu.
Ketika Abu Bakar mendengar jawaban yang memuaskan dari Zaid ia berkata: “Kamu adalah pemuda yang bijaksana, saya tidak meragukan kamu, kamu adalah penulis wahyu Rasulullah, maka telitilah Al-Qur'an itu dan kumpulkanlah”. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menjaga kelestarian Al-Qur'an setelah syahidnya beberapa orang penghafal Al-Qur'an di perang Yamamah. Umarlah yang mengusulkan pertama kali penghimpunan Al-Qur'an ini. Sejak itulah Al-Qur'an dikumpulkan dalam satu mushaf. Inilah untuk pertama kalinya Al-Qur'an dihimpun.
2.      Pedoman Penyalinan Kembali Al-Qur'an
Kepanititan diketuai oleh Zaid bin Tsabit yang telah ditunjuk oleh Abu Bakar dengan anggota Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Usman bin Affan. Sebagai pengawas adalah Abu Bakar sendiri, Umar bin Khattab dan para tokoh sahabat lainnya.
Kapabalitas Zaid memang tidak diragukan lagi dan hal itu terbukti dengan temuannya ketika mengumpulkan Al-Qur'an. Didapati ada ayat yang tidak tertulis dalam kepingan-kepingan dan ayat itu Zaid dapati ada pada seorang anshor yaitu Abu Huzaimah.
Adapun acuan yang menjadi pedoman penulisan adalah: 1). Penulisan berdasarkan kepada sumber tulisan Al-Qur'an yang pernah ditulis pada masa Rasul yang tersimpan di kediaman Rasul Saw. 2). Penulisan berdasarkan kepada sumber hafalan para sahabat penghafal Al-Qur'an. Adapun Al-Qur'an dalam bentuk mushaf disimpan pada Abu Bakar sehingga dia wafat, kemudian disimpan pada Umar bin Khattab hinggga dia wafat, kemudian disimpan pada Hafsah binti Umar.
Selain Al-Mushaf yang disimpan di rumah Abu Bakar masih ada mushaf-mushaf lain yang berada di tangan penulis masing-masing seperti Mushaf Ibnu Mas’ud, Mushaf Abu Musa Al-Asy’ari, Mushaf Miqdad bin Aswad, Mushaf Ubay bin Ka’ab dan lain-lain. Masing-masing mushaf itu dipakai di negeri-negeri dalam wilayah Islam seperti Kufah, Basrah, Damaskus dan Syam.

C. Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
1. Kondisi Al-Qur'an
Tersebarnya Al-Qur'an di beberapa negeri ternyata berdampak negatif terhadap persatuan umat Islam karena masing-masing daerah memiliki karakter bahasa dan dialek yang berbeda. Hal ini memicu egosentris masing-masing pemegang mushaf di daerah dengan menyangka bahwa riwayat qira’at merekalah yang paling benar dan lebih baik dari qira’at yang lain. Ironisnya adalah timbul konflik antara murid-murid yang belajar Al-Qur'an dari guru yang berbeda. Tak menghiraukan Al-Qur'an lagi dan tak menghormati guru (sahabat) yang mengajar di antara mereka saling mengkafirkan yang lain.
  1. Gagasan Pengumpulan Al-Qur'an Menjadi Mushaf
Terjadi perbedaan cara membaca (qira’at) di beberapa negara Islam. Maka, Usman menyatukannya dalam satu bacaan yang sering dibaca Rasulullah. Dia satukan Al-Qur'an dalam satu mushaf dengan bacaan tadi dan memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain. Ras Utsmani merupakan bacaan kaum muslimin hingga masa kini.
Prilaku menyimpang dan terlalu gampang mengklaim kafir terhadap sesama muslim itu akhirnya didengar oleh Usman bin Affan. Berita tersebut merisaukan Usman dan menjejaskan persatuan umat. Menyikapi berita itu dia berpidato di hadapan kaum muslimin: “Kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dari ku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Salah seorang sahabat yang sangat prihatin melihat prilaku kaum muslimin ini adalah Huzaifah. Dia sangat menyayangkan sikap kaum muslimin yang semakin hari semakin hebat perselisihan tentang qira’at. Maka serta dia mengusulkan kepada Usman agar mengatasi permasalahan dan menghentikan perselisihan qira’at.
Ketika terjadi perselisihan tentang Al-Qur'an seyogyanya tidak menghukum sendiri akan tetapi merujuk kepada orang yang ahli. Sebaiknya adalah menghindari terjadinya perselisihan tersebut. Menurut As-Sayyid Nada hendaknya seseorang membubarkan diri jika terjadi pereselisihan tentang Al-Qur'an sebagaimana dianjurkannya manusia berkumpul untuk membaca Al-Qur'an. Jika terjadi perselisihan di antara mereka tentang Al-Qur'an, lafazh-lafazh, hukum-hukumnya, atau yang selainnya dan perselisishan itu berlarut-larut hingga dikhawatirkan akan membawa akibat-akibat buruk, hendaknya mereka membubarkan diri. Sebab, dikhawatirkan syaitan akan menjadikan mereka bercerai-berai.
Ditunjuklah beberapa orang sahabat untuk menjadi tim penulis wahyu setelah melalui penelitian. Mereka yang terpilih adalah orang yang paling tulisannya dan paling menguasai Bahasa Arab yaitu Zaid bin Tsabit Sang Penulis Wahyu sejak zaman Rasul dan Sa’id bin Ash yang dialek Arabnya sangat mirip dengan Rasul. Mereka berdua dibantu oleh Abdullah bin Zubair.
  1. Pedoman Penyalinan Kembali Al-Qur'an
Di samping itu Usman juga mengadakan penelitian terhadap shuhuf yang telah sempurna pengumpulannya pada zaman Abu Bakar dan Umar. Shuhuf yang disimpan Hafsah itulah yang mewarnai Mushaf pertama yang dijadikan sebagai pegangan. Dwi tunggal penulis wahyu itu selalu sependapat dan tidak pernah berselisih pendapat dalam melaksanakan tugas kecuali pada satu tempat dan itupun segera mereka atasi dengan mengambil qiro’ah Zaid bin Tsabit sebagai pedoman dengan alasan Zaid adalah penulis wahyu.
Manakala penulisan selesai pekerjaan selanjutnya adalah menggandakan mushaf untuk didistribusikan ke negeri-negeri Islam dan menyita semua mushaf yang ada pada masyarakat kecuali beberapa mushaf yang ditulis oleh sahabat kenamaan seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab.
  1. Keistimewaan Mushaf Utsmani
Beberapa keistimewaan Mushaf Usmani yaitu: 1). Mushaf ini ditulis berdasarkan kepada riwayat yang mutawatir bukan riwayat ahad, 2). Mushaf ini meninggalkan ayat yang dinasakh bacaannya, 3). Tertib susunannya (ayat dan surat) sesuai dengan tertib ayat dan surat yang dikenal sekarang ini, 4). Penulisannya berdasarkan cara yang dapat menghimpun segi bacaan yang berbeda-beda dan huruf-hurufnya sesuai dengan diturunkannya Al-Qur'an tujuh huruf, 5). Menjauhkan segala sesuatu yang bukan Al-Qur'an, seperti tafsiran yang ditulis oleh sebagian orang (sahabat) dalam mushaf pribadinya.
Keistimewaan mushaf ini mengistimewakan Utsman sebagai pelopor atau orang yang pertama menghimpun Al-Qur'an dalam satu tulisan dan qira’at.

A.  Penyempurnaan Mushaf Utsmani
Setidaknya ada tiga fase penyempurnaan tulisan Al-Qur'an. Penyempurnaan dilakukan karena banyaknya orang non-Arab yang masuk Islam dimana dialek mereka berbeda dengan dialek Arab yang asli. Maka lahirlah gagasan untuk mempermudah bacaan Al-Qur'an sebagai upaya menghindari terjadinya kecacatan atau kecederaan dalam bacaan. Tiga fase itu adalah sebagai berikut:
1. Mu’awiyah bin Abu sofyan menugaskan Abul Aswad Ad-Dualy untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
2. Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al-Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya (baa dengan satu titik di bawah, taa dengan dua titik di atas, tsaa dengan tiga titik di atas). Pada masa itu Al-Hajjaj minta bantuan kepada Nashir bin
3. Peletakkan baris atau tanda baca (i’rab) seperti: dhammah, fathah, kasrah dan sukun, mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al-Farahidy.
Tidak hanya sampai di situ upaya penyempurnaan tulisan Al-Qur'an, pemberian tanda-tanda ayat, tanda-tanda waqaf, pangkal surah, nama surah, tempat turunnya, dan bilangan ayatnya. Upaya ini terjadi pada masa Al-Makmun.
Adapun fase-fase percetakkan Al-Qur'an agar jumlah Al-Qur'an yang beredar di tengah masyarakat setidaknya memadai dan mencukupi kebutuhan kaum muslimin juga mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Kalau pada mulanya Al-Qur'an digandakan secara manual lalu disebarkan tetapi sangat terbatas, maka proses percetakkan bertujuan agar jumlah oplahnya banyak.
Fase-fase percetakan Al-Qur'an adalah: 1). Dicetak di Venesia (Bunduqiyah) pada tahun 1530 M. Masa ini mengalami intimidasi dari gereja, 2). Dicetak di Hamburg pada tahun 1694 M oleh Hinkelman, 3). Dicetak di Padone pada tahun 1698 M oleh Marocci, 4). Dicetak secara Islami di Saint Petersbaurg Rusia pada tahun 1873 M oleh Maulaya Usman, 5). Dicetak di Qazan, 6). Dicetak di Iran sebanyak dua kali, 7). Dicetak di Taheran pada tahun 1828 M, 8). Dicetak di Tibriz pada tahun 1833 M, 9). Dicetak oleh Flugel di Leipzig pada tahun 1834.


Ulumul Qur'an Makki dan Madani ; Ridwan, MA

Ayat-Ayat Makiyah dan Madaniyah
Al-Qur’an turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur dalam jangka waktu dua puluh tiga tahun dan sebagian besar diterima oleh Rasulshallallaahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
Oleh karena itu, para ulama rahimahumullaahu membagi Al-Qur’an menjadi dua:
1. Al-Makiyah: ayat yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelumhijrah ke Madinah.
2. Al-Madaniyah: ayat yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamsetelah hijrah ke Madinah.
Berdasarkan hal tersebut maka firman Allah ‘Azza wa Jalla:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (Al-Maa’idah: 3), termasuk ayat Madaniyah walaupun turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallampada haji wada’ di Arafah.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: Sungguh kami mengetahui hari dan tempat turunnya ayat tersebut kepada Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam yaitu saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di Arafah pada hari Jum’at.
Perbedaan Surat Makiyah dan Madaniyah dari Sisi Konteks Kalimat dan Tema
Perbedaan dari segi konteks kalimat:
- Sebagian besar surat Makiyah mempunyai cara penyampaian yang keras dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas adalah pembangkang lagi sombong dan hal tersebut sangat pantas bagi mereka. Bacalah surat Al-Muddatstsir dan Al-Qamar. Sedangkan sebagian besar surat Madaniyah mempunyai penyampaian lembut dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima dakwah. Bacalah surat Al-Ma’idah!
- Sebagian besar surat Makiyah pendek dan di dalamnya banyak terjadi perdebatan (antara para Rasul dengan kaumnya), karena kebanyakan ditujukan kepada orang-orang yang memusuhi dan menentang, sehingga konteks kalimat yang digunakan disesuaikan dengan keadaan mereka. Baca surat Ath-Thur! Adapun surat Madaniyah kebanyakan panjang dan berisi tentang hukum-hukum tanpa ada perdebatan karena keadaan mereka yang menerima. Baca ayat dain (ayat tentang hutang) pada surat Al-Baqarah (ayat 282).
Perbedaan dari segi tema:
Sebagian besar surat Makiyah bertemakan pengokohan tauhid dan aqidah yang benar, khususnya berkaitan dengan tauhid uluhiyah dan penetapan iman kepada Hari Kebangkitan karena kebanyakan yang diajak bicara mengingkari hal itu. Sedangkan sebagian besar ayat Madaniyah berisi perincian ibadah-ibadah dan mu’amalah karena keadaan manusia waktu itu jiwanya telah kokoh dengan tauhid dan aqidah yang benar, sehingga membutuhkan perincian tentang berbagai ibadah dan mu’amalah.
Dalam ayat Madaniyah banyak disebutkan tentang jihad, hukum-hukumnya dan keadaan orang-orang munafiq karena keadaan yang menuntut demikian dimana pada masa tersebut telah disyari’atkan jihad dan mulai bermunculan orang-orang munafiq. Berbeda dengan isi ayat Makiyah.
Beberapa Faedah Mengetahui Surat Madaniyyah dan Makkiyyah
Mengetahui surat Madaniyah dan Makiyah merupakan salah satu bidang ilmu Al-Qur’an yang penting karena di dalamnya terdapat beberapa manfaat:
Bukti ketinggian bahasa Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an Allah ‘Azza wa Jalla mengajak bicara setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun lembut.
Tampaknya hikmah pembuatan syari’at ini. Hal tersebut sangat nyata dimana Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai keadaan umat pada masa itu dan kesiapan mereka di dalam menerima dan melaksanakan syari’at yang diturunkan.
Pendidikan terhadap para da’i di jalan Allah ‘Azza wa Jalla dan pengarahan bagi mereka agar mengikuti metode Al-Qur’an dalam tata cara penyampaian dan pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.
Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan Makiyah yang keduanya memenuhi syarat -syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniyah tersebut menjadinasikh bagi ayat Makiyah karena ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makiyah.
Hikmah Turunnya Al-Qur’an secara Berangsur-angsur
Telah jelas dari pembagian Al-Qur’an menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur’an dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:
1. Pengokohan hati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيْلاً. وَلاَ يَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيْرًا
“Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’, demikianlah (yaitu demikianlah Kami turunkan secara berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqaan: 32-33)
2. Memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal, memahami serta mengamalkan serta mengamalkannya karena Al-Qur’an dibacakan kepada mereka secara bertahap.Berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
3. Memberikan semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan di dalam Al-Qur’an karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat, terlebih lagi ketika mereka sangat membutuhkannya.
Seperti dalam ayat-ayat Ifk dan Li’an.
4. Penetapan syari’at secara bertahap sampai kepada tingkatan yang sempurna.
Seperti yang terdapat dalam ayat khamar yang mana manusia pada masa itu hidup dengan khamr dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka diperintahkan secara spontan meninggalkannya secara total.
Maka untuk pertama kali turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla yang menerangkan keadaan mereka:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيْهِمَا إِثْمٌ كَبِيْرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan berupa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’” (QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat ini membentuk kesiapan jiwa-jiwa manusia untuk pada akhirnya mau menerima pengharaman khamr, dimana akal menuntut untuk tidak membiasakan diri dengan sesuatu yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya.
Kemudian yang kedua turun firman Allah ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا لاَ تَقْرَبُوا الصَّلَوةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُوْلُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43)
Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk untuk membiasakan meninggalkan khamar pada keadaan-keadaan tertentu yaitu waktu shalat.
Kemudian tahap ketiga turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. إِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلَوةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ. وَأَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُوْلِنَا الْبَلاَغُ الْمُبِيْنُ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, beribadah kepada berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) arak atau berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. Al-Maa’idah: 90-91)
Dalam ayat di atas terdapat larangan meminum khamar pada semua keadaan, hal itu sempurna setelah melalui tahap pembentukan kesiapan jiwa-jiwa manusia kemudian diperintah untuk membiasakan diri meninggalkan khamar pada keadaan tertentu.

(Dinukil dari أصول في التفسير karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, edisi Indonesia: Bagaimana Kita Memahami Al-Qur’an, penerjemah: Muhammad Qawwam, LC., Abu Luqman, penerbit: Cahaya Tauhid Press Malang, cet. ke-1 Muharram 1427H/Pebruari 2006M, hal. 33-38, untuk http://almuslimah.co.nr)