Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

Ulumul Qur'an Metodologi Penafsiran Qur'an ; Ridwan, MA

BAB VII: METODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR'AN
A.  Pengertian
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, terdiri dari dua (2) kata, meta, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; dan kata modos¸ yang berarti jalan, perjalanan, cara dan arah. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut sering disebut dengan method, dan dalam bahasa Arab kata tersebut diterjemahkan dengan istilah manhaj atau Thariqah.
Dalam bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara yang teratur, terpikir, baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu Pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang tersistem dan untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.
Dalam penafsiran Al-Qur’an, metode dapat diartikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam upaya menggali dan memahami maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an terdapat dua istilah, yakni Tafsir dan Takwil. Secara etimologis, tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah, Tafsir ialah ilmu yang menjelaskan tentang makna-makna yang terkandung dalam ayat, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.
Secara garis besar Tafsir Al-Qur’an dapat didifinisikan sebagai penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar dalam memahami dari ayat-ayat Al-Qur’an . Dengan demikian menafsirkan Al-Qur’an adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat.
Lebih rinci yang dimaksud dengan metodologi penafsiran dalam hal ini ialah cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara tertentu. Para ulama yang telah melakukan penelitian pada beberapa kitab tafsir Al-Qur’an, sedikitnya telah membagi menjadi empat penafsiran yaitu: Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudu’i.

B.  Macam-macam Metode Penafsiran Al-Qur’an dan Pendekatannya
  1. Metode Ijmali (Global)
Tafsir al-ijmali adalah tafsir ayat Al-Qur’an yang menjelaskannya masih bersifat global. Menurut Al-Farmawi adalah “Penafsiran Al-Qur’an berdasarkan urutan  ayat dengan ringkas dan berbahasa sederhana, sehingga dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang intelek.
Adapun sistematika dalam penulisan tafsir model ini mengikuti susunan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu mufasir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan sebab nuzul ayat melalui penelitian dengan menggunakan hadits yang terkait.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori metode Ijmali adalah seperti, kitab tafsir Al-Qur’an Al Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, Al Tafsir al Wasith terbitan Majina Al-Buhuts Al-Islamiyyat dan Tafsir Al-Jalalain serta tafsir Taj Al-Tafsir karangan Muhammad Utsman Al-Mirqhuni.

a). Ciri-ciri Metode Ijmali
Secara garis besar metode tafsir ini tidak berbeda jauh dengan metode model pendekatan analisis, letak perbedaannya yang menonjol pada aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya itu tampak hingga mendetail, sedangkan metode global tidak uraian penjelasannya lebih ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit.
Mufasirnya langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Selain itu tidak terdapat ruang atau kesempatan untuk menjelaskan secara rinci, namun tafsirannya ringkas dan umum, seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an, walaupun sebenarnya yang kita baca adalah kitab tafsirnya.


b). Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali
Terkait dengan metode ijmali, tafsir dengan model ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antaralain; Praktis dan mudah difahami, bebas dari penafsiran berbelit-belit, akrab dengan bahasa Al-Qur’an dan metode ini sangat membantu bagi mereka yang termasuk pada permulaan dalam mempelajari tafsir, dan mereka yang sibuk dalam mencari kebutuhan untuk hidup. Sedangkan kelemahannya, antaralain; Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial dan tidak utuh, Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.

  1. Metode Tahlili
Tahlili adalah membuka atau mendeskripsikan sesuatu, mengurai, menganalisis, menjelaskan bagian-bagiannya. Artinya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan dengan menerangkan makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir, ia menjelaskan dengan pengertian dan kandungan lafadz, hubungan ayat, hubungan surat, asbabun nuzul,  hadis-hadis yang berhubungan dan pendapat para mufassir terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang  pendidikan dan keahliannya.
Biasanya mufasir dalam menafisirkan dengan motode tahlily ini ayat demi ayat, surah demi surah, semuanya sesuai dengan urutan mushaf dan juga asbabun nuzul ayat yang ditafsirkan. Metode ini dapat diaplikasikan dengan beberapa pendekatan.
a). Pendekatan Bi al-Matsur
Pendekatan Riwayat (matsur) adalah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al-Qur’an, sunah, atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan sunah nabawiyah.
Contoh Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ; Q.S (5) : 1 yang menjelaskan tentang “binatang ternak yang halal”. Kemudian dijelaskan lagi dalam ayat berikutnya, Q.S Al Maidah (5) : 3 tentang “hal-hal yang diharamkan untuk dimakan, termasuk di dalamnya binatang ternak yang haram”.Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Sunah, Q.S Al Baqarah (2) : 238, yang menegaskan tentang shalat Wustha, Rasul menjelaskan pengertian tersebut dengan Shalat Ashar.
b).  Pendekatan bi Al-Ra’yu
Al-Ra’yu keyakinan, qiyas dan ijtihad, dengan akal (ma’qul). Ra’yu di sini adalah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al-Qur’an atau mendalami pengertiannya. Maksud Ra’yu bukanlah menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al-Qurtubi mengatakan; “barangsiapa yang menafsrkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah termasuk orang-orang yang keliru dan tercela”.
Sebagian ulama yang menerima penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan al-Ra’yu tetapi harus memenuhi beberapa syarat dan kaidah yang ketat, yaitu; (1). Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya, (2). Menguasai Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (3). Berakidah yang baik dan benar, (4). Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam dan menguasai imu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.
Contoh dari tafsir ayat Al-Qur’an dengan pendekatan Ra’yu adalah pada Q.S. al Isra : 72) kalau memahami ayat tersebut secara tekstual, tentunya akan terdapt kekeliruan dalam memahaminya. Sebab dalam ayat itu menjelaskan bahwa “Setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam”. Padahal yang dimaksud dengan buta pada ayat tersebut adalah bukanlah “buta mata”, akan tetapi “buta hati”. Hal ini kemudian didukung dengan penjelaasan ayat lainnya. Yakni Q.S. Al Hajj : 46. Pada ayat ini dijelaskan dengan tegas “bukanlah matanya yang buta, akan tetapi yang buta ialah buta hati”.
Kelebihan metode tahlili dengan pendekatannya antara lain, yaitu; Ruang lingkup pembahasan luas, dapat menampung berbagai ide yang ada, apabila kita hendak menginginkan pemahaman dan maksud dari ayat Al-Qur’an yang lebih luas dan mendalam dengan melihat dari beberapa aspek yang ada, tidak ada jalan lain kecuali dengan menggunakan pendekatan ra’yu.
Kelemahannya adalah; Menjadikan petunjuk ayat Al-Qur’an yang ada bersifat parsial, hal ini menimbulkan kesan seakan-akan Al-Qur’an memberikan pedoman tidak utuh dan konsisten  karena adanya perbedaan, akibat dari tidak diperhatikannya ayat-ayat yang mirip, melahirkan penafsiran yang bersifat subyektif, hal ini berakibat banyaknya mufasir yang menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya.
Contoh dari kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ra’yu adalah kitab Hadarik al-Tanzil wa Haqiq al-ta’wil karya Mahmud al-Nasafiy, kitab Anwar al-tanzil wa Asrar al ta’wil karya al-Baidhuwiy dan lain-lainnya.

  1. Metode Maqarin (Komparatif atau Perbandingan)
Maqarin adalah membandingkan antara dua hal, tafsir perbandingan. Artinya menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, atau atara ayat dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.
Metode Maqarin diaplikasikan dengan beberapa teknik, yaitu; (1). Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, (2). Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadits, (3). Membandingkan berbagai pendapat ulama tafasir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Ciri-ciri Metode Maqarin (perbandingan/komparatif), yaitu; Pertama Mengidentifikasi dan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang redaksinya bermiripan, sehingga dapat diketahui mana ayat yang mirip dan mana ayat yang tidak mirip. Kedua Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya bermiripan, memperbincangkan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam suatu redaksi yang sama. Ketiga Menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang berbeda dalam menggunakan kata dan susunan dalam ayat. keempat Memperbandingkan antara berbagai pendapat para mufasir tentang ayat yang dijadikan objek bahasan.
Kelebihan metode maqarin, antara lain; Memberikan wawasan yang luas, membuka diri untuk selalu bersikap toleran, dapat mengetahui berbagai penafsiran, membuat mufasir lebih berhati-hati. Sedangkan kekurangan dari metode maqarin,  yaitu; Tidak cocok untuk pemula, Kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer, menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufasir.

4.    Metode Maudhu’i (Tematik)
Al-Mawdhu’i, artinya topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara semantik. Artinya tafsir ayat Al-Qur’an berdasarkan tema atau topik tertentu. Jadi para mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang berada di tengah-tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri atau dari  yang lain-lain.
Tafsir ayat Al-Qur’an dengan metode ini memiliki dua bentuk, yatu; Pertama Menafsirkan satu surat dalam Al-Qur’an secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan tujuannya yang bersifat umum dan khusus, serta menjelaskan korelasi antara persoalan-persoalan yang beragam dalam surat terebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang utuh.
Kedua Menfasirkan dengan cara menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat dan surat Al-Qur’an yang diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh dari ayat-ayat tersebut untuk menarik petunjuk Al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang akan dibahas.
Langkah yang digunakan dalam aplikasi metode Maudhu’i, yaitu; Pertama  Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul yang sesuai dengan kronologi urutan turunnya ayat tersebut. Kedua Menulusuri latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dihimpun. Ketiga Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama adalah kosa kata yang menjadi pokok permasalahan pada ayat tersebut. Setelah itu ayat tersebut dikaji dari berbagai aspek yang masih berkaitan dengannya seperti bahasa, budaya, sejarah dan munasabat. Keempat Mengkaji pemahaman ayat-ayat dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufasir, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Kelima Mengkaji semua ayat secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar serta didukung oleh fakta-fakta sejarah yang ditemukan.
Kelebihan metode ini, yaitu; Dapat menjawab semua persoalan masyarakat sesuai dengan kondisinya, lebih praktis dan sistematis, sangat dinamis, dan menafsirkannya lebih utuh. Sedangkan kekurangannya, yaitu; memenggal ayat Al-Qur’an, dan membatasi pemahaman ayat.


BAB VIII: HERMENETIKA AL-QUR'AN
Penafsiran Al-Quran dengan pendekatan linguistik, yang biasa digunakan untuk menginterpretasi Injil dengan menganalisis kondisi pengarangnya. Yang paling menarik membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep hermeneutika sebagaimana berkembang di Barat.
Nasr Hamid mengatakan bahwa: "Hermeneutik dalam bahasa Arab adalah takwil. Takwil adalah metode yang sangat-sangat Islami untuk memahami Al-Qur'an. Tidak peduli Anda Sunni, Syiah, atau apa, Anda perlu menginterpretasi Al-Qur'an. Hermeneutik adalah teori untuk menginterpretasi Al-Qur'an." Pada poin ini terjadi konfusi dan kerancuan terjemahan terminologi.
Hermeneutika, mengingat alur pemikirannya di Barat, lebih tepatnya diterjemahkan sebagai: falsafat al-fahm (filsafat pemahaman teks) atau fahmu al-fahmi (memahami pemahaman teks), bukan takwil atau falsafat al-takwil.[1] Sama halnya dengan kekeliruan menerjemahkan sekularisme dengan al-'Almaniyah/al-'Ilmaniyah (yang berkonotasi ilmiah, berlandaskan ilmu dan sains), yang seharusnya lebih tepat dipadankan dengan istilah "al-Huna - al-Aniyah" (kedisinian dan kekinian).
Beda Takwil dengan Hermeneutika, Sebenarnya tidaklah sulit bagi kita, apalagi sekelas Prof. Abu Zayd, untuk membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep Hermeneutika di Barat. Pertama, dari sisi etimologis saja padanan dua kata itu tidak dapat dikatakan sama. Karena orientasi takwil itu adalah penetapan makna, sementara orientasi hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya. Kekeliruan penerjemahan istilah peradaban lain ke dalam kamus peradaban kita, disadari atau tidak, akan dapat merusak konsep istilah keilmuan kita yang telah mapan.  Kedua, dari segi latar belakang historisnya. Sebagaimana maklum, metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Barat-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Al-Qur'an. Tidak ada alternatif pemahaman selain bahwa Al-Qur'an, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari Allah swt. Nabi Muhammad saw menjadi sekadar "Juru bicara ada" (loudspeaker of being). Status otoritatif yang diduduki Al-Qur'an tidak pernah dipertanyakan lagi, yang disebabkan dua hal: pertama Al-Qur'an sendiri dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan ruang untuk spekulasi. Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara kata-katanya dan kata-kata dari Al-Qur'an. Kedua Kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di tangan mereka, huruf, kata, kalimat dan sistematika Al-Qur'an tetap terjaga seperti keadaannya di masa Nabi.
Dua faktor ini, dan ditambah fakta bahwa Al-Qur'an mengandung prinsip-prinsip penafsiran dalam dirinya sendiri, mempersulit tematisasi problem hermeneutis dalam Islam, suatu hal yang di Barat dipaksakan kemunculannya oleh kebutuhan mendesak. Belum ada seorang pemikir Muslim pun yang pernah mengajukan problem ini sebagai tema utama pemikirannya.
Metode Takwil di Tengah Tarikan Humanisme Sekuler-Liberal
Wacana kaum sekuler-liberal dengan semangat mempropagandakan takwil sebagai brand untuk membaca Al-Qur'an di era modern ini. Oleh karena istilah takwil ini adalah istilah yang sering digunakan Al-Qur'an (paling tidak 17 kali) dibanding istilah tafsir (hanya 1 kali), maka dengan mudah dimaknai untuk kepentingan dan target ideologis yang hampir dipraktekkan oleh seluruh sekte-sekte sempalan dalam setiap agama, tak terkecuali Islam, dalam membaca dan menafsir ulang teks-teks kitab suci.
Takwil dalam pandangan kelompok liberal dan sekte sempalan lainnya adalah batu karang kokoh yang akan memecah kesatuan sistem pemikiran Islam yang telah dikonstruksi dengan teliti dan seksama oleh para ulama muslim selama kurun perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban. Dengan mengendarai tumpangan takwil inilah, mereka berupaya untuk melakukan kontribusi penghancuran dan perusakan Islam dari dalam secara mengerikan. Melalui mekanisme takwil itu, teks suci Islam dijebol pemaknaannya dengan cakrawala ijtihad "modern" dengan mengajukan tawaran superioritas realitas hidup manusia yang terus berubah, terutama ke arah keburukan, untuk dibenturkan dengan ajaran ideal normatif dari teks suci, dengan harapan teks dapat dikuasai, dikendalikan dan diarahkan maknanya oleh realitas manusia yang jauh dari idealisasi teks Al-Qur'an dan sunnah nabi.
Modus pemikiran semacam inilah yang telah menyebabkan mereka secara membabi buta membela terminologi takwil dalam konteks penafsiran kitab suci. Takwil yang telah sekian lama ditinggalkan dan dikubur oleh otoritas agama kemudian diangkat dan dihidupkan lagi, serta diposisikan sebagai pihak 'terzalimi' dan 'tertindas' di tengah pertarungan ideologi dan otoritas keagamaan. Meminjam bahasa Nasr Hamid, bahwa selama perjalanan panjang tradisi keilmuan Islam, para ulama Islam melakukan praktik belah bambu; "mengangkat nilai tafsir" dan "menginjak, meremehkan nilai takwil", menerima yang pertama dan kemudian menolak yang kedua dengan stigmatisasi kekufuran dan kesesatan bagi ilmuan yang mempraktekkannya dalam upaya penafsiran kitab suci. (Abu Zayd: Mafhumu al-Nash; Dirasah fi 'Ulumil Qur'an).
Konsep orisinalitas takwil dalam tradisi keilmuan Islam yang telah dikenal baik dan dipraktekan dengan apik selama berabad-abad ini pun telah direduksi dan ditelanjangi dari berbagai batasan dan aturan yang melingkupinya oleh sang kampiun ahli sastra (dan belakangan dipuja pengikutnya sebagai pakar Al-Qur'an!). Konsep itu tidak lagi dimengerti sebagai pengalihan suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan berdasarkan dalil kuat (secara bahasa, adat dan syar'i) , yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih makna. Sehingga menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan antara teks dan pemiliknya, dan antara makna dan segala kemungkinan arti yang diakomodasi oleh dalil yang kuat itu tadi.
Bagi Nasr Hamid dan semisalnya konsep tafsir dalam 'Ulumul Quran klasik tidak cukup untuk memuaskan kepentingan ideologisnya yang lebih berpihak kepada realitas manusia dan hukum-hukum yang disadur dari deklarasi HAM ala Barat. Konsep tafsir yang sudah matang atau "gosong" (meminjam istilah Prof. Amin Abdullah) itu hanya bertujuan untuk menyingkap kehendak pemilik teks dan makna yang dikandungnya. Tentu saja hal ini tidak memuaskan kepentingan ideologis kaum liberal, yang berupaya lebih dari itu untuk mengosongkan teks dari makna dan maksud pemiliknya untuk diisi dengan konsepsi-konsepsi ideologis berlatar HAM dan modernitas ala Barat; tentu dengan mengusung terminologi takwil yang dipraktekkan sewenang-wenang tanpa batasan (hudud) dan aturan (dlawabith).
Pola Kerja Metode Takwil yang Ideal, Penulis setuju dengan pendapat bahwa bahasa teks sebagai sumber tak pernah kering bagi keragaman pembacaan (at-Ta'addud al-Ta'wîlî, meminjam istilah Abu Zayd). Tetapi patut dicurigai pula bahwa bahasa memiliki sifat untuk mengelak (murâwaghah) dan liar jika tidak dibatasi oleh pagar-pagar metodologis. Dengan demikian amat penting untuk membedakan dua tingkatan dalam menentukan sistem penandaan suatu makna (dalâlah). Pertama, tingkatan dalâlah yang bersifat sistemik dan kolektif, melalui prosedur-prosedur penciptaan makna secara leksikal (perkamusan), gramatikal (nahw), filologi (fiqh lughah, balaghah dll), dan Kedua, tingkatan dalâlah yang non sistemik-individual yang memberikan ruang luas untuk proses qiro'ah dan ta'wil. Seorang penafsir dituntut untuk menjaga 'equillibrium' pola pikir individual non sistemik dengan pola kerja sistemik yang kolektif. Tidak boleh pola pikir individual seorang penafsir menodai memori kolektif bagi suatu takwil yang justru dapat menyelamatkannya dari kesesatan. Sebaliknya pola kerja sistemik yang kolektif tetap bisa menyisakan ruang bagi imajinasi individu sang penafsir sesuai dengan tambahan pengetahuan dan kekayaan pengalaman hidupnya.
Pola kerja kolektif dalam proses takwil misalnya terumuskan dengan baik oleh otoritas keilmuan Islam dengan istilah 'dalil' (didukung argumentasi kuat) dan 'la'b' (permainan kata-kata yang terlepas dari dalil maupun ta'wil). "Man yadzhab ila al-ta'wil yaftaqir ila al-dalil", siapa yang mau mentakwil maka ia memerlukan indikator kuat. Rumusan mereka bahwa "Nash memiliki dua macam dalâlah yaitu penandaan lafaz atas maknanya dan penandaan makna yang telah ditunjuk oleh nash atas makna yang lain" ('Abdul Qâhir al-Jurjâni: Dalâ'il al-I'jâz) dan bahwa "Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir", tidak ada harapan sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zahirnya (Al-Zarkâsyi: Al-Burhân fi 'Ulum Al-Qur'ân), mengindikasikan kuatnya memori kesadaran kolektif disamping memperhatikan aspek 'ma'tsur' (sabda dan perilaku Rasul, sebagai penafsir utama) dalam proses pentakwilan. Oleh karena itu dibutuhkan nilai pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam setiap upaya takwil sebagai akibat perimbangan nilai individual dan kolektif.
Sehingga akhirnya, penulis sepakat dengan apa yang dilontarkan Musthafa Nashif (Mas'uliyyat al-Ta'wil: 2004) bahwa kemunculan takwil dalam lingkungan tradisi Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan dan merupakan wujud dari pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah dengan cepat dan pengakuan terhadap kerangka dasar dan otoritas sekaligus.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, (Pekan Bar: Amzah, 2002).
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Terjemah. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media, 2010).
Abdul Aziz bin Fathi As-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al- Qur’an dan As-Sunnah, Jilid I, Terjemah. Abu Ihsan Al-Atsari, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2007).
Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2009).
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an. (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998).
Muhdir Kathim Syanehchi, dkk. Al-Qur’an Buku yang Menyesasatkan dan Buku yang Mencerahkan. (Jakarta: Gugus Press, 2002)
Rosihon Anwar, Ulum Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
Al-Subri Soleh, Terjemah pustaka firdaus, Mabahits fi ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993)





[1] Lihat 'Adil Musthafa: Fahmu al-Fahmi Madkhal ila al-Hermeneuthiqa, Ro'yah for Publishing & Distribution, 2007.

Ulumul Qur'an Makiah, Madaniah, Muhkam, Mutasyabih; Radwan, MA

BAB IV : MAKIAH DAN MADANIAH
A.  Perbedaan Dari Segi Konteks Kalimat
Sebagian besar surat Makiyah mempunyai cara penyampaian yang keras dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas adalah pembangkang lagi sombong dan hal tersebut sangat pantas bagi mereka. Bacalah surat Al-Muddatstsir dan Al-Qamar. Sedangkan sebagian besar surat Madaniyah mempunyai penyampaian lembut dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima dakwah. Bacalah surat Al-Ma’idah!.
Sebagian besar surat Makiyah pendek dan di dalamnya banyak terjadi perdebatan (antara para Rasul dengan kaumnya), karena kebanyakan ditujukan kepada orang-orang yang memusuhi dan menentang, sehingga konteks kalimat yang digunakan disesuaikan dengan keadaan mereka. Baca surat Ath-Thur! Adapun surat Madaniyah kebanyakan panjang dan berisi tentang hukum-hukum tanpa ada perdebatan karena keadaan mereka yang menerima. Baca ayat dain (ayat tentang hutang) pada surat Al-Baqarah (ayat 282).

B.  Perbedaan Dari Segi Tema
  1. Sebagian besar surat Makiyah bertemakan pengokohan tauhid dan aqidah yang benar, khususnya berkaitan dengan tauhid uluhiyah dan penetapan iman kepada Hari Kebangkitan karena kebanyakan yang diajak bicara mengingkari hal itu. Sedangkan sebagian besar ayat Madaniyah berisi perincian ibadah-ibadah dan mu’amalah karena keadaan manusia waktu itu jiwanya telah kokoh dengan tauhid dan aqidah yang benar, sehingga membutuhkan perincian tentang berbagai ibadah dan mu’amalah.
  2. Dalam ayat Madaniyah banyak disebutkan tentang jihad, hukum-hukumnya dan keadaan orang-orang munafiq karena keadaan yang menuntut demikian dimana pada masa tersebut telah disyari’atkan jihad dan mulai bermunculan orang-orang munafiq. Berbeda dengan isi ayat Makiyah.
C.  Keguanaan Mengetahui Surat Madaniyyah dan Makkiyyah
Mengetahui surat Madaniyah dan Makiyah merupakan salah satu bidang ilmu Al-Qur'an yang penting karena di dalamnya terdapat beberapa manfaat.
1. Bukti ketinggian bahasa Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an Allah SWT. mengajak bicara setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun lembut.
2. Tampaknya hikmah pembuatan syari’at ini. Hal tersebut sangat nyata dimana Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai keadaan umat pada masa itu dan kesiapan mereka di dalam menerima dan melaksanakan syari’at yang diturunkan.
3. Pendidikan terhadap para da’i di jalan Allah SWT. dan pengarahan bagi mereka agar mengikuti metode Al-Qur'an dalam tata cara penyampaian dan pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.
4. Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan Makiyah yang keduanya memenuhi syarat -syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniyah tersebut menjadinasikh bagi ayat Makiyah karena ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makiyah.
Hikmah Turunnya Al-Qur'an secara Berangsur-angsur dilihat dari pembagian Al-Qur'an menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur'an dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:
1.    Pengokohan hati Nabi  Saw., berdasarkan firman Allah SWT.: “Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’, demikianlah (yaitu demikianlah Kami turunkan secara berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqaan: 32-33).
2.    Memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal, memahami serta mengamalkan serta mengamalkannya karena Al-Qur'an dibacakan kepada mereka secara bertahap.Berdasarkan firman Allah SWT.: “Dan Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
3.    Memberikan semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan di dalam Al-Qur'an karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat, terlebih lagi ketika mereka sangat membutuhkannya.
4.    Penetapan syari’at secara bertahap sampai kepada tingkatan yang sempurna. Seperti yang terdapat dalam ayat khamar yang mana manusia pada masa itu hidup dengan khamr dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka diperintahkan secara spontan meninggalkannya secara total. Maka untuk pertama kali turunlah firman Allah SWT. yang menerangkan keadaan mereka: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan berupa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’” (QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat ini membentuk kesiapan jiwa-jiwa manusia untuk pada akhirnya mau menerima pengharaman khamr, dimana akal menuntut untuk tidak membiasakan diri dengan sesuatu yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Kemudian yang kedua turun firman Allah SWT.: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43)
Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk untuk membiasakan meninggalkan khamar pada keadaan-keadaan tertentu yaitu waktu shalat. Kemudian tahap ketiga turunlah firman Allah SWT.: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, beribadah kepada berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) arak atau berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. Al-Maa’idah: 90-91).
Dalam ayat di atas terdapat larangan meminum khamar pada semua keadaan, hal itu sempurna setelah melalui tahap pembentukan kesiapan jiwa-jiwa manusia kemudian diperintah untuk membiasakan diri meninggalkan khamar pada keadaan tertentu.

BAB V :  MUHKAM DAN MUTASYABIH
Ayat-ayat yang terkandung dalam Al-qur’an ada kalanya yang berbentuk lafadz, ungkapan dan uslub yang berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang yang membacanya. Ayat-ayat Al-qur’an seperti itu dinamakan muhkam. Di sisi lain, terdapat pula ayat-ayat al-qur’an yang bersifat umum dan samar-samar yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya, sehingga ayat yang seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para mujtahid untuk dapat mengembalikan pada makna yang jelas dan tegas.  maka ayat yang demikian dinamakan mutasyabih.
Muhkam wal mutasyabih merupakan salah satu dari sekian banyak dari diri Al-Qur’an. Artinya muhkam wal mutasyabih merupakan sebuah pembahasan yang berhubungan langsung dengan diri Al-Qur’an secara internal.
Terlepas dari itu semua, jika kita renungkan bersama ternyata dengan adanya ayat-ayat muhkam wal mutasyabih terutama ayat-ayat mutasyaih dapat memunculkan kreaksi-kreaksi, usaha-usaha yang kreaktif dan konsep-konsep baru dalam berbagai cabang ilmu. Untuk lebih jelasnya, maka akan saya uraikan lebih rinci mengenai muhkam wal mutasyabih sesuai pengetahuan dan informasi yang saya peroleh.

A.      Pengertia
Muhkam wal mutasyabih berasal dari bahasa Arab محكم dan  متشابه. Secara etimologis “muhkam” berasal dari “Ihkam”yang menurut Al-Zarqaini mempunyai berbagai konotasi namun mengacu pada satu pengertian yaitu “Al-man’u”yang berarti mencegah. Jika diartikan dengan ayat-ayat Al-qur’an itu disusun secara rapi dan kokoh, sedikitpun tidak ada cela untuk mengkritiknya dari sudut mana pun karena, baik kata-kata penepatannya dalam kalimat maupun susunan-susunan dalam kalimatnya sangat rapi dan kokoh serta tepat dan akurat. Seperti dalam firman Allah Q.S Hud Ayat 1: Artinya :”Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci”.
Maksudnya: diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain.
Kata “mutasyabih”dalam bahasa Indonesia diartikan “mirip” atau “samar-samar”. Juga mengandung berbagai konotasi yang biasanya membawa kapada ketidak pastian atau ragu (iltibas). Kondisi inilah yang dijumpai dalam ayat Al-Qur’an. Sangking miripnya ayat yang satu dengan ayat yang lain. Maka tidak dapat dibedakan antara masing-masing ayat tersebut karena semuanya berbeda pada level yang sama dari segi balaqahnya. Kemukjizatannya, kebenaran informasi yang dibawanya penempatan kata yang akurat dan susunan kalimat yang kokoh, sehingga hal ini pun mampu menimbulkan keraguan bagi yang membacanya. Pengertian lughawi ini terdapat dalam firman Allah surat Al Zumar ayat 23: Artinya: “Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang”.
Berdasarkan pengertian secara lughawi Nampak bahwa kedua istilah diatas saling mendukung (tidak bertentangan). Artinya ayat-ayat al-Qur’an tersebut tersusun dengan rapi dan kokoh hingga tanpak dan terasa sekali pada keseluruhan ayat-ayat nya tanpa kecuali, sehingga pada kesemua ayat ini memiliki daya tarik dan I’jaz yang sama.
Pengertian Menurut Istilah, secara istilah terdapat perbedaan yang sangat tajam diantara keduanya. Hal ini seperti yang difirmankan dalam surat Al- Imron ayat 7 yang artinya:”dialah Allah yang telah menurunkan kepadamu al-kitab (Al-qur’an). Diantara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat: itulah pokok-pokok (isi) Al-Qur’an (Al-kitab). Dan yang lain (Ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan. Maka mereka mengikuti pengertian yang samar-samar dari ayat-ayat yang mutasyabihat itu dengan tujuan untuk menimbulkan fitnah (kegaduhan, mala peteka dan sebagainya) dikalangan umat dan untuk mencari-cari takwilnya;padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka mengatakan kami mempercayai sepenuhnya bahwa semua itu datang dari tuhan kami. Dan hanya yang dapat mengambil pelajaran (dari ayat-ayat mutasyabihat itu) adalah mereka yang berakal.”
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa kedua istilah memang sangat berbeda. Muhkam merupakan sesuatu yang jelas dan terang adalah atau pengertiannya, sementara mutasyabihat adalah sesuatu yang samar-samar dan kabur adalah atau pengertiannya. Dari sinilah timbul berbagai pendapat yang diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut As-Suyuti, muhkam adalah sesuatu yang sudah jelas artinya, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
2. Menurut Imam Ar-Razi muhkam adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat, baik maksud maupun lafadnya, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil dan sulit dipahami.
3. Menurut Mnna’ Al-Qathathan, muhkam adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerluakan keterangan lain, sedangkan mutasyabih  tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.
Dari berbagai penjelaan dan pendapat-pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:Ayat muhkamat adalah ayat yang sudah jelas baik lafadz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya.Sedangan ayat mutasyabih merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas maksudnya, hal ini dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global) dan rincian lebih dalam. Selain bersifat mujmal, ayat-ayat tersebut juga bersifat Mu’awwal sehingga karena sifatnya ini seseorang dapat mengetahui maknanya setelah melakukan pentakwilan.

B.  Pembagian Ayat-Ayat Mutasyabih
Ayat-ayat mutasyabih dapat dikatagorikan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Mutasabih dari segi lafadz, yang dibagi menjadi dua:
a. Kosakata Tunggal مفردات
Kekaburan makna pada suatu kosa kata biasanya disebabkan kata tersebut tidak bias dipakai غريب atau lafadz itu mempunyai banyak konotasi مشترك Contoh I kekaburan arti karena tidak biasa dipakai. Lafadz didalam ayat 31 dari surat Abasa: وفاكهة وابا sahabat utama Rasul yakni Abu Bakar dan ‘Umar tidak dapat menjelaskan maksud kata tersebut.
Contoh II, kekaburan arti disebutkan banyak-banyak konotasi: lafadz يمين yang menunjuk kepada “tangan kanan” atau “kekuatan”, ataupun “sumpah” dalam ayat 93 surat Al-sfakat فراغ عليهم ضربا باليمين . kata يمين dalam ayat tersebut konotasinya tidak jelas. Apakah berarti “tangan kanan” atau “kekuatan”. Keduanya terpakai dalam bahasa Arab. Apabila diartikan kata tersebut dengan tangan “kanan”, maka maksud ayat itu adalah “ Nabi Ibrahim memukul berhala-berhala tersebut dengan tangan kanannya tanpa alat”. Dan apabila diartikan dengan “kekuatan”, maka dapat dipahami bahwa Nabi Ibrahim memukul berhala-berhala tersebut dengan kekuatan penuh, baik dilakukannya dengan tangan kanan langsung atau dengan alat-alat pemukul lainya.
Contoh lain lafal قروء dalam ayat 228 surat Al-Baqarah: Kata قروء dalam bahasa Arab dapat berarti “suci” dan dapat pula berarti “haid” mereka yang memahami lafal قروء dalam pengertian “suci” maka akan menetapkan. Bahwa idah wanita terletak ialah tiga kali suci, sebaliknya mereka yang meyakini kata قروء itu berkonotasi “haid” maka akan mengistinbatkan huku darinya bahwa ialah wanita yang tertalak telah tiga kali haid. Inilah salah satu sebab yang membuat ulama berbeda penetapan hukum.

b. Pola susunan kalimat ترتيب terbagi menjadi dua:
Mutasyabih karena terlalu “padat” nya ungkapan. Misalnya, ayat 3 dari  surat Al-Nisa’: Sepintas tidak jelas maksud ungkapan tersebut, terutama hubungan antara berlaku adil terhadap anak yatim dengan perintah menikahi wanita. Menurut Al-Zarqani perlu diberi penjelasan sebagai berikut :
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”

c. Susunan kata kurang berurutan.
Misal lafadz  قيما dalam ayat  1-2 dari surat Al-kahfi: Dari segi logika pemikiran, kata tersebut seyogyanya ditempatkan setelah lafadz  الكتاب karena afal قيما merupakan “keterangan” sifat yang menjelaskan tentang keadaan الكتاب itu sendiri. Dengan ditempatkan jauh darinya, bahkan masuk pada ayat tersebut. Dari itu bila kata قيما itu didekatkan dengan  الكتاب maka susunanya akan menjadi: Artinya:“segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hambanya Al-Kitab yang lurus, dan tidak pernah ada penyimpangan didalamnya.”
Sementara kekaburan maksud sebuah ungkapan yang dikarenakan terlalu panjang kalimat, sementara makna yang ikandungnya sedikit. Ternyata setelah diamati bersama hal itu tidak mengakibatkan kekaburan makna. Dalam hal ini Al- Zarqoni mengemukakkan contoh Ayat 11 dari As-syura’ : ليس كمثله شي . “tidak ada yang serupa yang mirip dengan Allah sesuatu juapun”. Dan sudut kebebasan semata, barangkali ungkapan  كمثله tersebut memang terasa agak janggal, dan membuat konotasinya menjadi kabur karena ك (adat tasybih)berarti مثل jadi كمثله sama artinya dengan مثل مثله .
Sehingga dengan begitu ungkapan “ليس كمثله شي” itu sama dengan “ليس مثل مثله شي” jadi dari segi kebahasaan ungkapan semacam itu merupakan pemborosan kata. Namun bila direnungkan secara mendalam maka akan dirasakan bahwa ungkapan Al-Qr’an itulah yang tepat. Karena yang dimaksudkan Allah dalam ayat ini adalah menanamkan keyakinan ke dalam hati sanubari umat manusia bahwa jangankan yang serupa dengan-Nya. Bahkan yang serupa dengan yang semisal engan-NYa pun tidak ada. Jadi ayat tersebut emberikan informasi yang sangat tepat dan lebih mendalam tentang kondisi ketuhanan Allah yang dengan sangat jauh  antara Dia dengan makhluk-Nya.

2. Mutasyabih Dari Segi Makna
Terjadi tasyabuh terhadap pengertian yang terkandung oleh suatu ayat, biasanya aat-ayat yang menginformasikan berita-berita ghoib seperti sifat-sifat Tuhan, malaikat, kondisi akherat seumpama surge, neraka, hari kiamat dan sebagainya. Semua itu tidak jelas bagi siapapun belum ada yang mengalaminya, sehingga yang diinformasikan oleh Al-Qur’an tidak bias dibayangkan secara tepat dan actual dalam benak kita.
Contoh-contoh dari pertanyaan diatas antara lain seperti nash-nash yang engimformasikan tentang Tuhan, seperti يد الله فوق ايديهم (الفتاح 10) “Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka.”الرحمن علي الاعرش استوي (طه : 5) (Ar-rahman bersila dfiatas Arasy), dan sebagainya. Pengertian semua itu samar-samar dan semua bagi kita. Tidak ada yang  tahu hakekat yang sebenarnya dibalik ungkapan trsebut. Dari situlah dapat disimpulkan bahwa semua yang diinformasikan tuhan tentang dari –Nya dan All-Qur’an atau adist Nabi dan sebagainya adalah symbol-simbol semu yang tidak diketahui oleh manusia hakikat sebenarnya di balik symbol-simbol tersebut, meskipun Tuhan menyatakan secara tegas :” Dia punya tangan, Dia bersila diatas ‘Arsy dan seterusnya, namun semua keterangan itu tak sama dengan yang ada dalam presepsi manusia. Kondisi inilah yang membuat pengertian ayat-ayat tersebut menjadi kabur bagi kita.

  1. Lafal dan Makna
Menurut Al-roaghib al-Ishfatani, kkaburan yang dilihat dari segi makna dan lafal tersebut dapat dilihat dari lima asek, yaitu kuantitas, kualitas, waktu, tempat dan persyaratan sah atau batalnya perbuatan. Hal ini dilihat dalam surat Al-Baqarah ayat 189 : )dan bukanlah kebaikan itu bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya). Kata Al-zarqani, ungkapan itu sulit sekali dipahami. Dari itu perlu diberi penjelasan, misalnya dengan menambahkan setelah lafal “ ان كنتم محرمين بحج او عمرة”. Dengan demikian ayat itu mengandung pemahaman;” dan bukanlah kebaikan itu bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya jika kamu dalam keadan ihram pada waktu pelaksanaan haji atau umrah. Meskipun telah diberi penjelasan. Namun masih tetap belu rumah. Madar jika ihram membuat pintu (lubang) dibelakang Lalu mereka keluar dari belakang tirai secara sembunyi-sembunyi. Lalu turunlah ayat: Dari gambaran tersebut tampak kepada kita bahwa kekaburan maksud ayat itu terasa dari dua segi lafal dan makna sekaligus.

C. Sikap Ulama Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabih
Para ulama mempunyai beberapa pendapat yang berbeda berhubungan dengan ayat-ayat mutasyabih diatas. Khususnya ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat tuhan benar-benar menjadi kontroveksi dikalagan para ulama. Sedangkan ayat-ayat yang lain, maka tidak terlalu mempersoalkannya.
Apabila ditelusuri pendapat-pendapat ulama berkenaan dengan ayat-ayat mutsayabihat tentang sifat-sifat Tuhan, maka secara garis besarnya terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu:
1)      Menerima tanpa takwil
Mereka yang menerima dan mempercayai begitu saja secara apriori ayat-ayat mutasyabihat ini disebut dengan aliran salaf. Mereka tidak mau mempermasalahkannya, melainkan menyerahkan saja maksudnya kepada Allah. Menurut ulama ini kita sebagai ciptaan Allah tidak perlu mencari-cai takwil tentang ayat-ayat mutasyabih, tetapi kita harus menyerahkan persoalannya kepada Allah semata.
2)      Menerima dengan takwil
Jika ulama salaf tidak memperolehkan pembahasan ayat-ayat mutasyabihat. Mereka mulai sedikit toleran dan berlapang dada dalam menghadapi pemikiran-pemikiran yang tumbuh berkenaan dengan pemahaman ayat-ayat mutasyabihat tersebut. namun sebagian besar mereka masih tetap memegangi pendapat lama yang menolak setiap upaya interpertasi terhadap ayat-ayat mutasyabihat dalam bentuk apapun.
Ulama Khalaf inipun dibagi menjadi dua kelompok, yang pertama dipelopori oleh Abu Al- Hasan al-Asy’ari, yang menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat itu sesuai dengan sifat-sifat yang diterima (dari-Nya)tanpa diketahui maksudnya secara tegas (pasti). Kelompok dua menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat itu sesuai dengan makna tau sifat-sifat yang dimaklumi oleh manusia. Dengan demikian kelompok ini berusaha memalingkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabihat kepada mmakna yang dipahami manusia, tapi pantas dengan keagunggan Allah ditinjau dari segi logika dan agama.
Untuk lebih jelasnya, maka disini akan kami paparkan contoh ayat Al-Qur’an yang menyebutkan sifat-sifat mutasyabihat- Nya seperti:
a) Qs. Thaha ayat 5 yang memiliki arti “(Allah) maha pengasih bersemayam di atas ‘Arasy”.
b) Qs. Al-fajr ayat 2, yang memiliki arti “ Dan datanglah kepada Tuhanmu sedang para malaikat berbaris-baris.
c) Qs. Al-An’am ayat 61 yang memiliki arti “ Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi diatas hamba-hamba-Nya.”
d) Qs. Ar-Rahman ayat 27. Yang memiliki arti “dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu.”
e) Qs. Thaha ayat 39, yang memiliki arti “agar engkau diasuh diatas mata-Ku.”
f) Qs. Al-Fath ayat 10, yang memiliki arti “tangan Allah diatas tangan mereka.”
g) Qs. Ali imon ayat 28, yang artinya “ Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya.”
Itulah beberapa contoh ayat-ayat mutasyabih tentang sifat-sifat tersebut terdapat kata-kata bersemayam, dating diatas, sisi, wajah, mata, tangan, dan diri yang dijanjikan “sifat Allah”. Keadaan tersebut menunjukkan keadaan, tempat dan anggota yang layaknya dipakai bagi makhluk yang misalnya manusia. Karena kata-kata tersebut dibangsakan Allah, maka sulit dipahami akan maksud yang sebenarnya.


Ulumul Qur'an Muhasabah dalam Qur'an ; Ridwan, MA

                                                         7. Muhasabah

Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disuruh memilih di antara dua perkara, niscaya beliau memilih yang lebih mudah di antara keduanya, selama itu tidak dosa. Adapun jika itu adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh dari dosa.” (Muttafaq Alaih)[1]
Demikianlah kebiasaan Nabi jika disuruh memilih di antara dua perkara, beliau pasti memilih yang lebih mudah di antara keduanya. Ini adalah manhaj beliau dalam dakwah dan pengajarannya, beliau tidak ingin mempersulit umatnya. Beliau ingin agar umatnya mudah dan ringan dalam menjalankan syariat agamanya, beliau ingin membuat mereka gembira dan tidak ingin membuat mereka lari ketakutan dari ajaran Islam.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا .
“Mudahkanlah dan jangan kalian mempersulit. Sampaikanlah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari.” (Muttafaq Alaih)[2]

Menurut DR. Yusuf Al-Qaradhawi, memilih yang lebih mudah (taysir) dalam melaksanakan ajaran agama merupakan suatu keharusan, karena hal ini merupakan sesuatu yang dituntut oleh syariat itu sendiri. Bukan dikarenakan tuntutan realitas atau menyesuaikan dengan zaman, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang. Dan, pada dasarnya syariat Islam berdiri di atas prinsip kemudahan dan keringanan, sebagaimana disebutkan dengan sangat jelas dalam ayat-ayat Al-Qur‘an dan Sunnah nabawiyah.[3]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Dia tidak ingin menyulitkanmu.” (Al-Baqarah: 185)

Dalam hadits pertama disebutkan, bahwa beliau memilih yang lebih mudah di antara dua perkara, maksudnya yaitu dalam dua perkara yang sama, bukan dalam dua perkara yang berbeda. Karena hal ini jelas tidak mungkin. Dan jika ada dua perkara yang sama di hadapan beliau, baik dalam urusan dunia ataupun urusan akhirat, maka beliau akan memilih yang lebih mudah dan ringan di antara keduanya, selama hal tersebut tidak mempunyai konsekuensi dosa atau maksiat.

Lebih jelasnya, kita ambil contoh misalnya; memilih antara beribadah dengan memberat-beratkan diri hingga dapat membuat badan sakit dan beribadah dengan porsi yang sedang tetapi intens, maka beliau memilih yang terakhir. Atau jika beliau disuruh memilih antara harus berperang atau berdamai, maka beliau akan memilih berdamai jika memungkinkan. Atau jika disuruh memilih antara berpuasa dalam berjalanan atau berbuka, tentu beliau memilih berbuka. Demikian dan seterusnya.

Terhadap orang yang senang mempersulit dan memberat-beratkan dalam melaksanakan agamanya, baik bagi dirinya ataupun bagi orang lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memperingatkan mereka,
« هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ » . قَالَهَا ثَلاَثًا .
“Hancurlah orang-orang yang suka memberat-beratkan!” Beliau mengatakannya tiga kali.” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud)[4]

Imam An-Nawawi mengatakan, bahwa al-mutanaththi’un di sini, yaitu mereka yang senang mempersulit dan memberat-beratkan diri dalam urusan agama yang tidak semestinya.[5]




[1] Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Manaqib, Bab Shifat An-Nabiy (3296); dan Shahih Muslim, Kitab Al-Fadha‘il, Bab Muba’adatihli Al-Atsam wa Ikhtiyarih min Al-Mubah Ashalah (2327).
[2] Al-Lu‘lu‘ wa Al-Marjan 2/200-201, hadits nomor 1130 dan 1131, dari Mu’adz bin Jabal, Abu Musa Al-Asy’ari, dan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhum.
[3] Taysir Al-Fiqh li Al-Muslim Al-Mu’ashir/DR. Yusuf Al-Qaradhawi/hlm. 9/Maktabah Wahbah – Kairo/cet. I/th. 1999.
[4] Shahih Muslim, Kitab Al-‘Ilm, Bab Halaka Al-Mutanaththi’un (2670).
[5] Riyadh Ash-Shalihin, penjelasan hadits nomor 144.


Ulumul Qur'an Muhkam dan Mutasyabih ; Ridwan, MA

Muhkam dan Mutasyaabih

1.1 Definisi Al-Muhkam dan Mutasyabih
Ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an adakalanya berbentuk lafaz, ungkapan, dan uslup yang berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang yang membacanya. Di samping ayat yang sudah jelas tersebut, ada lagi ayat-ayat yang bersifat umum dan samar-samar yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya sehingga ayat yang seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para mujtahid untuk dapat mengembalikan kepada makna yang jelas dan tegas.
Kelompok ayat pertama, yang telah jelas maksudnya itu disebut al-Muhkam, sedangkan kelompok ayat yang kedua yang masih samar-samar disebut dengan Mutasyabih, kedua macam ayat inilah yang akan menjadi pembahasan pada bagian ini.
Pada sisi lain al-Qaththan mengatakan bahwa al-Qur’an seluruhnya muhkam dan juga mutasyabih. Pendapat ini karena memandamg muhkam dan mutasyabih secara umum. Seluruh al-Qur’an adalah Muhkam, jika kata muhkam itu berarti kokoh, kuat, membedakan antara yang hak dan yang bathil, yang benar dan yang salah. Dan al-Qur’an itu seluruhnya adalah mutasyabih, jika mutasyabih itu berarti kesempurnaan dan kebaikan. Al-Qur’an suatu ayat dengan ayat yang lainnya saling menyempurnakan dan memperbaiki ajaran-ajaran yang salah yang selalu dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

a. Muhkam
Menurut bahasa terambil dari hakamutud daabah wa ahkamat, artinya melarang. Sedangkan menurut istilah terdapat khilafiyah sesama ahli ushul mengenai artinya yaitu:
1. Yang dinamakan Muhkam adalah yang diketahui apa yang dimaksud dengannya. Adakalanya secara zahir atau nyata dan adakalanya dengan takwil atau pengalihan artinya.
2. Yang dinamakan Muhkam adalah apa yang tidak mungkin ditakwilkan, tapi ia hanya satu arah saja.
3. Yang dinamakan Muhkam adalah yang jelas atau terang yang dimaksud dengannya, sehingga ia tidak mungkin dihapuskan.
4. Yang dinamakan Muhkam adalah apa yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan.
5. Yang dinamakan Muhkam ialah sesuatu yang kokoh dan bundar sehingga tidak ada seginya.
b. Mutasyabih
Menurut bahasa adalah berasal dari:
التَشَابُهُ : بشْبِهُ أحدٌ الشَئينِِ
Terjemahannya:
Salah satu dari dua menyerupai yang lainnya.
Ia mengandung pengertian:
Al-musyaarakatu atau kebersamaan, karena ada keserupaan dan bentuknya yang mengakibatkan keraguan. Umpamanya firman Allah Swt mengenai Bani Israil, yaitu:
ÈÉÐÇ …. ãt=nŠøZu$ ?s±t»7tmt #$9ø6t)st )Îb…. •
Terjemahannya:
Sesungguhnya sapi serupa-serupa menurut penglihatan (surat Al-baqarah:70)

Sedangkan menurut istilah ialah:
1. Apa yang bertalian dengan pengaruh ilmu Allah, seperti: assaa’ah atau kehancuran total, keluar binatang-binatang besar dan dajal.
2. Apa yang tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan keterangan yang lainnya.
3. Apa yang memungkinkan pengertian yang tidak satu saja.
4. Apa yang tidak terang, apa yang dimaksud dengan membutuhkan nasakh atau penghapusan.
c. Beberapa pendapat mengenai definisi Al-Muhkam dan Mutasyabih yaitu:
Pertama, Al-Muhkam, apa yang telah diketahui maksudnya. Mutasyabih, terserah kepada Allah ilmunya.
Kedua, Al-Muhkam, apa yang tidak mengandung selain dari satu bentuk. Mutasyabih yaitu yang mengandung beberapa bentuk.
Ketiga, Al-Muhkam, apa yang berdiri dengan sendirinya tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih, yaitu apa yang tidak berdiri dengan sendirinya, memerlukan penjelasan dengan dikembalikan pada yang lainnya.
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh ulama tafsir mengenai Muhkam dan Mutasyabih:
1. Menurut As-Suyuthi, Muhkam adalah sesuatu yang jelas artinya, sedangkan Mutasyabih adalah sebaliknya.
2. Menurut Imam Ar-Razi, Muhkam adalah ayat-ayat dalalah-nya kuat baik maksud maupun lafaznya, sedangkan Mutasyabih adalah ayat-ayat yang di dalamnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil, dan sulit dipahami.
3. Menurut Manna’ Al-Qaththan, Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.
Dari pendapat-pendapat tentang ayat-ayat al-Qur’an yang Muhkamat dan Mutasyabihat di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat Muhkamat adalah ayat yang sudah jelas, baik lafaz maupun maksudnya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya. Ayat yang Muhkamat ini tidak memerlukan takwil karena telah jelas, lain halnya dengan ayat-ayat Mutasyabihat. Ayat Mutasyabihat ini merupakan kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam al-Quran yang masih belum jelas maksudnya, hal itu dikarenakan ayat Mutasyabihat bersifat mujmal (global), dia membutuhkan rincian lebih dalam.
Para ulama dalam menanggapi sifat-sifat Mutasyabihat mempunyai dua mazhab, yang pertama; mazhab salaf, yaitu: mengimani sifat-sifat yang mutasyabihat itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Yang kedua; mazhab khalaf, yaitu: mempertanggungkan (mentakwilkan) lafal yang mustahil zhahirnya kepada makna yang layak dengan zat Allah. Mazhab ini dinisbahkan kepada Imamul Haramain (wafat tahun 478 H) dan segolong ulama mutaakhkhirin.


1.2 Pembagian Ayat-ayat Mutasyabih
Mengenai masalah ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih ini terdapat tiga pendapat:
Pertama, bahwa al-quran seluruhnya adalah muhkam, mengingat firman Allah:
ÈÊÇ ……. äu#ƒt»Gçmç¼ &émô3ÅJyMô .ÏGt»=ë 4….. 

Artinya:
“Suatu kitab yang dijelaskan (ukhimat) ayat-ayatnya”. ( Q.S Hud : 1 )
Kedua, bahwa al-Quran seluruhnya adalah Mutasyabih, mengingat firman Allah:
كِتَاباً مُتَشَافِى
Artinya:
“(yaitu) al-Quran yang Mutasyabih dan berulang-ulang”.

Ketiga dan yang paling kuat: ada yang Muhkam dan ada pula yang Mutasyabih, dengan beralasan kedua ayat tersebut di atas. Sebab, maksud ukhimat ayatuhu dalam ayat tersebut di atas menjelaskan tentang kesempurnaan al-Qur’an dan tidak adanya pertentangan antar ayat-ayatnya. sedangkan maksud Mutasyabih dalam ayat di atas menerangkan segi kesamaannya dalam kebenaran, kebaikan dan kemu’jijatan.
Ayat-ayat yang jelas dan terang maknanya yaitu al-Muhkam, tidak dibahas terlalu jauh, karena bila kita membacanya kita langsung dapat memahami kandungan isinya. Akan tetapi, yang perlu kita bahas lebih jauh lagi adalah ayat-ayat Mutasyabihat agar kita dapat mengetahui persoalannya.
Ayat-ayat Mutasyabih dapat dikategorikan kepada tiga bagian yaitu: pertama Mutasyabih dari segi lafaznya; kedua, Mutasyabih dari segi maknanya; dan yang ketiga, merupakan kombinasi dari keduanya, yaitu Mutasyabih dari segi lafaz dan maknanya sekaligus.
1. Mutasyabih dari segi lafaz
Mutasyabih dari segi lafaz ini dapat pula dibagi dua macam:
a. Yang dikembalikan kepada yang tunggal yang sulit pemaknaannya, seperti
اَلاَْبُ dan يَرْفُوْنَ dan yang dilihat dari segi gandanya lafaz itu dalam pemakaiannya, seperti lafaz اَلْيَدُ dan اَلْعَيْنَ
b. Lafaz yang dikembalikan kepada bilangan susunan kalimatnya, yang seperti ini ada tiga macam:
1) Mutasyabih Karena ringkasan kalimat, seperti firman Allah:
وَاِنْ خِفْتُمْ ألا تُفْسِطُوْا فِيْ الْيَتَامِى
yang dimaksud dengan
اَلْيَتَامِى di sini ada juga mencakup اَلْتَيْمَاتِ
2) Mutasyabih karena luasnya kalimat seperti firman Allah:
لَيْسَ كَمِسْلِهِ شَئٌْ niscaya akan lebih mudah dipahami jika diungkapkan dengan لَيْسَ مِسْلِهِ شَئٌْ
3) Mutasyabih karena susunan kalimatnya seperti firman Allah
أُنْزِلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابِ وَ لَمْ يَجْعَلْ لَهُ عُجُوْجًا قَيِّمًا
akan mudah dipahami bila diungkapkan dengan
أُنْرِلَ عَلَى عَبْدَهِ الْكِتَابِ قَيِّمًا وَ لَمْ يَجْعَلْ لَهُ عُجُوْجًا
2. Mutasyabih dari segi maknanya
Mutasyabih ini adalah menyangkut sifat-sifat Allah, sifat hari kiamat, bagaimana dan kapan terjadinya. Semua sifat yang demikian tidak dapat digambarkan secara kongkrit karena kejadiannya belum pernah dialami oleh siapapun.
3. Mutasyabih dari segi lafaz dan maknanya
Mutasyabih dari segi ini, menurut As-Suyuthi, ada 5 (lima) macam, yaitu:
a. Mutasyabih dari segi kadarnya, seperti lafaz yang umum dan khusus
اِقْتَلُوْ االمُْشْرِ كِيْنَ
b. Mutasyabih dari segi caranya, seperti perintah wajib dan sunah
فَا نْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
c. Mutasyabih dari segi waktu, seperti nasakh dan mansukh
إِتَّقُوْ االلهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
d. Mutasyabih dari segi tempat dan suasana di mana ayat itu diturunkan, misalnya:
وَالرَّاسِخُوْ نَ فِى الْعِلْمِ
e. Mutasyabih dari segi syarat-syarat sehingga suatu amalan itu tergantung dengan ada atau tidaknya syarat yang dibutuhkan. Misalnya: ibadah sholat, dan nikah tidak dapat dilaksanakan jika tidak cukup syaratnya.
Ar-Raqhib membagi ayat-ayat mutasyabih menjadi tiga bagian:
1. Ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikatnya oleh manusia, seperti waktu tibanya hari kiamat.
2. Ayat Mutasyabih yang dapat diketahui oleh manusia dengan menggunakan berbagai sarana terutama kemampuan akal pikiran.
3. Ayat-ayat Mutasyabih yang khusus hanya dapat diketahui maknanya oleh orang-orang yang ilmunya dalam dan tidak dapat diketahui oleh orang-orang selain mereka.

1.3 Makna Muhkam Dan Mutasyabih
a. Makna Muhkam
Al-Qur’an seluruhnya Muhkamah, jika yang dimaksudkan dengan kemuhkamahannya adalah susunan lafaz al-Qur’an dan keindahan nazhamnya, sungguh sangat sempurna, tidak ada sedikit pun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafalnya, maupun dalam segi maknanya. Dengan pengertian inilah, Allah menurunkan al-Qur’an sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya: “sebuah kitab yang telah dikokohkan ayat-ayatnya.”(Q.S. Hud: 1)
b. Makna Mutasyabih
Kita dapat menyatakan, bahwa seluruh al-Qur’an adalah Mutasyabih, jika kita kehendaki dengan kemutasyabihannya, ialah kemutamatsilan (serupa atau sebanding) ayat-ayatnya, baik dalam bidang balagh maupun dalam bidang ijaz dan kesulitan kita memperlihatkan kelebihan sebagian sukunya atau yang lain. Dengan pengertian inilah, Allah menurunkan al-Qur’an seperti yang dilandaskan dengan firman-Nya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu sebuah kitab yang ayat-ayatnya atau serupa, lagi berulang-ulang.”(Q.S. Al Zumar:23)
Yang menyebabkan kita membicarakan Muhkam dan Mutasyabih ialah firman Allah; “Dialah yang telah menurunkan Alkitab (Al-qur’an) kepadamu”. Di antara ayat-ayatnya ada yang Muhkamat. Itulah pokok isi alQur’an. Dan ayat-ayat yang lain yang Mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam bathinnya ada kecenderungan kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang Mutasyabihat dari al-Qur’an itu, untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari jalan mentakwilkannya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Orang yang dalam ilmunya berkata : “Kami beriman dengan Dia, semuanya itu dari sisi Tuhan kami dan tidak dapat mengambil pelajaran dari padanya melainkan orang-orang yang berakal kuat.”(Ali Imran : 7).
Di dalam ayat itu telah dinyatakan bahwasanya Muhkam adalah imbangan Mutasyabih, sebagai orang-orang yang fasikh (mendalam) ilmunya adalah imbangan orang-orang yang ada kesesatan dalam jiwanya. Para ulama telah menjadikan imbangan-imbangan ini sebagai dasar untuk mendefinisikan Muhkam dan Mutasyabih. Maka banyaklah pendapat-pendapat dalam maudu’i ini yang berbagai macam pula.
Namun demikan pada akhirnya mereka menetapkan, bahwasanya yang dikatakan Muhkam adalah yang menunjukkan kepada maknanya dengan terang, sedikit pun tidak ada yang tersembunyi kepadanya. Sedang Mutasyabih ialah yang kosong dari petunjuk yang kuat, yang menunjuk kepada maknanya. Maka masuklah kedalam Muhkam nash dan zhahir. Ke dalam Mutasyabih masuklah: Mujmal, Muawwal, dan Musykil. Karena lafal mujmal memerlukan penjelasan, lafal muawwal tidak menunjukkan kepada sesuatu makna, terkecuali sesudah takwil, sedang musykil, tersembunyi petunjuknya.
Jelasnya adalah pada ayat yang Muhkam, menyebabkan kita tidak perlu membahasnya, karena dengan membacanya, kita telah mengetahui apa maksud yang tersembunyi dari ayat-ayat Mutasyabih itu, menyebabkan kita membahasnya, supaya kita mengetahui dan menjauhinya agar tidak tergolong dalam golongan yang sesat.
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa yang Mutasyabih tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah sendiri dan mereka mengharuskan kita ber-waqaf (berhenti) dalam membaca ayat 7 Q.S., Ali Imran, pada lafaz jalalah.
Adapun orang-orang yang rasikh ilmunya maka mereka hanya mengatakan: “Amanna bihi kulum min indi rabbina: kami beriman kepadanya semuanya itu dari Tuhan kami.”
Abu Hasan Al Asy’ary berpendapat bahwa waqaf dilakukan pada warrasikhuna fi’ilmi. Mereka yang rasikh itu mengetahui takwil Mutasyabih. Pendapat ini telah dijelaskan oleh Abu Ishak Asy Syirazy (wafat tahun 476 H) dan dibelanya.
Asy Syirazy berkata: “tidak ada sesuatu pun dari ayat-ayat al-Qur’an yang Allah sendiri mengetahui maknanya.”
Para ulama mengetahui maksudnya, karena sesungguhnya Allah menyebut firman-Nya ini dalam rangka menguji para ulama. Andai kata mereka tidak mengetahui makna Mutasyabih, bergabunglah mereka dengan orang awam.
Ar-Raghib Al-Ashfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi masalah ini. Beliau membagi Mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahui maknanya kepada tiga bagian:
a. Bagian yang tidak ada jalan mengetahuinya, seperti waktu terjadi kiamat, binatang keluar dari dalam tanah, dan sepertinya.
b. Bagian manusia mengetahui sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafal-lafal ganjil dari hukum-hukum yang sulit/rumit.
c. Bagian yang terletak antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh sebagian orang yang rasikh ilmunya, tidak diketahuinya oleh sebagian yang lain.
Inilah yang diisyaratkan oleh Nabi dengan sabdanya kepada Ibnu Abbas:
الّلهُمَّ فِقْهْهُ فِى الذِّينَ و علِمهُ التَّاويلْ
“Wahai Tuhanku, jadikanlah dia, seorang yang fakih dalam agama dan ajarkanlah takwil kepadanya”.
Pendapat Ar-Raghib ini adalah pendapat yang imbang, tidak ifrath dan tidak tafrith. Zat Allah dan hakikat-hakikat sifat-Nya tidak ada yang mengetahuinya selain dari Allah sendiri.
Dalam pengertian inilah Nabi mengatakan dalam do’anya:
أَنْتَ كَمَا أَثنَيتَ علىَ نفْسكَ لا أَحصى ثَناَءً علَيكَ
Artinya:
“Sebagaimana engkau telah menyanjung diri engkau, aku tidak dapat menghinggakan puji dan sanjung atas diri engkau”.
Mengetahui barang yang gaib adalah di antara hal yang hanya diketahui Allah sendiri.

1.4 Contoh Ayat Mutasyabih yang kembali kepada al-Muhkam
1. Firman Allah Swt:

Terjemahannya:
“Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya (Q.S. Az-Zumar : 53)
Ayat ini termasuk Mutasyabih, karena mengandung dua pengertian yaitu:
a. Allah mengampuni dosa semuanya, bagi yang bertobat.
b. Pengampun dosa, secara keseluruhan
Bagi siapa yang tidak bertobat, maka dikembalikan pada Muhkamah. Adapun yang dikembalikan dari Mutasyabihah kepada al-Muhkamah ialah firman Allah Swt:
Terjemahannya:
“Sesungguhnya Aku (Allah) benar-benar suka mengampuni bagi siapa yang bertobat, beriman dan beramal shaleh”. (Surah Thaahaa: 82)
Dari ayat Muhkamah ini terlihat, bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa semua, bagi siapa yang telah bertobat kepada-Nya, dia beriman dan mengikuti jalan hidayahnya.
2. Ayat Mutasyabih
a. Firman Allah Swt:
Terjemahannya:
“Sesungguhnya KAMI-lah yang telah menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya KAMI ialah penjaganya yang benar-benar”. (Surah Al-Hijr:9)
Ayat ini mengandung dua pengertian, yaitu:
a) Kalimat Inna (KAMI) mengandung pengertian satu yang diagungkan, dan adalah kebenaran.
b) Inna itu untuk jama’ah atau sekumpulan atau banyak.
Pengertian seperti ini adalah bathil. Oleh sebab itu, maka kita harus kembalikan ia kepada ayat Muhkamah.
Ia memungkinkan pula menunjukkan, bahwa Dia (Allah) yang diagungkan satu dan di samping-Nya ada yang lain. Ayat ini dijadikan dalil oleh Nasara sekarang yang berarti tunggal atau ber-trinitas, yaitu bertuhan kepada: (1) Allah, (2) Yesus, dan (3) Roh Kudus.
b. Adapun ayat Mutasyabih yang kita kembalikan kepada Muhkamah, antara lain adalah:
Firman Allah Swt:

Terjemahannya:
“Tuhanmu (kamu banyak) ialah Tuhan yang esa/satu”. (Surah An-Nahl: 22)

Terjemahannya:
“Tidak ada Allah mengangkat anak”. (Surah al-Mu’minuun: 9)

Terjemahannya:
Katakanlah, “Allah ialah Esa. Allah ash-Shamad”.

Ayat-ayat ini termasuk Muhkamat, yang dimaksud dengan Inna itu hanyalah Allah YANG ESA/SATU yang mengagungkan dirinya

1.5 Hikmah diturunkannya Ayat-ayat Mutasyabih
Para ulama menyebutkan beberapa hikmah dari adanya ayat-ayat Mutasyabih di antaranya:
a. Mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya sehingga dengan demikian menambah pahala.
b. Seandainya al-Qur’an seluruhnya Muhkam, niscaya hanya ada satu mazhab, sebab kejelasannya itu akan membatalkan semuat mazhab selainnya, selanjutnya hal ini akan mengakibatkan para penganut mazhab tidak mau menerima dan memanfaatkannya. Tetapi jika mengandung Muhkam dan Mutasyabih. Maka masing-masing dari penganut mazhab itu akan mendapatkan dalil yang menguatkan pendapatnya. Dengan demikian maka semua penganut mazhab memperhatikan dan memikirkannya. Jika mereka terus menggalinya, maka akhirnya ayat-ayat yang Muhkam menjadi penafsir ayat-ayat Mutasyabih.
c. Apabila al-Qur’an mengandung ayat-ayat Mutasyabih, maka untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dan yang lainnya, selanjutnya hal ini memerlukan kepada berbagai-bagai ilmu seperti ilmu bahasa, gramatikal, ma’any, bayan, ushul fiqh, dan lain sebagainya. Seandainya tidak demikian niscaya tidak akan muncul ilmu-ilmu tersebut.
d. Al-Qur’an berisi da’wah, kepada orang-orang tertentu dan umum. Orang-orang awam biasanya tidak menyukai hal-hal yang bersifat abstrak. Karena itu, jika mereka mendengar tentang sesuatu yang “ada” tetapi tidak berwujud fisik dan berbentuk, maka ia akan menyangka bahwa hal itu tidak benar, kemudian ia terjerumus ke dalam ta’thil (peniadaan sifat-sifat Allah). Oleh sebab itu, sebaiknya mereka diajak bicara dengan bahasa yang menunjukkan kepada apa yang sesuai dengan imajinasi dan khayalnya dan dipadukan dengan kebenaran yang bersifat empirik.


BAB II
SKEMA AL-MUHKAM DAN MUTASYABIH

BAB III
KESIMPULAN

Adapun yang dapat penulis simpulkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan memerlukan pentakwilan.
2. Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan baru kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu.
3. Ayat-ayat mutasyabih adalah merupakan salah satu kajian dalam al-qur’an yang para ulama menilainya dengan alasannya masing-masing menjadi dua macam, yaitu pendapat ulama Salaf dan Khalaf.
4. Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an itu Muhkam. Jika maksud Muhkam adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa semua ayat itu adalah Mutasyabih, jika maksud Mutasyabih itu adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal Balaghah dan I’jaznya.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Abu., Ulumul Qur’an, (Pekanbaru : Amzah, 2002).

Abidin, Zainal., Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992).

Mansur, Kahar., Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992).

Nata, Abuddin., Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000).

Quthan, Mana’ul., Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2, (Jakarta : Rineka Cipta, 1995).